Tabularasa Pancasila
loading...
A
A
A
Janu Wijayanto
Alumnus Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia,
Sekretaris Rumah Falsafah Nusantara
Perkembangan dunia yang serba cepat menyisakan problem terhadap kemampuan manusia sebagai anak zaman untuk beradaptasi. Yang bertahan dari setiap perubahan baik evolusi maupun perubahan yang revolusioner dari alam sebagaimana pandangan naturalis semacam Charles Darwin adalah mereka yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi.
Dalam pandangan ini terdapat beberapa poin penting seperti kemampuan alamiah manusia untuk bisa bertahan, manusia dan alam saling mempengaruhi, peran penting dari lingkungan dan pengalaman, dan utamanya manusia memiliki kemampuan pertahanan alami terhadap perubahan karena adanya kemampuan beradaptasinya.
Kemampuan beradaptasi menjadi faktor penting baik dalam mengelola perubahan yang evolutif maupun perubahan yang sangat cepat dan menjungkirbalikkan nilai dan tatanan lama sebagaimana perubahan revolusioner. Tentu tidak menjadikan suatu keberatan besar apabila dinyatakan bahwa manusia dan masyarakat atau suatu bangsa memiliki dasar rasa yang cenderung responsif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dibanding rasa yang cenderung ingin bertahan pada kemandegan. Keinginan bertahan justru mendorong gerak untuk merespon ketidakpastian dari perkembangan dan perubahan.
Dimensi pembahasan terkait keberlangsungan hidup manusia maupun bangsa dalam menyikapi cepatnya perubahan zaman atau akibat semakin naiknya tuntutan hidup manusia (rising demand) zaman ini penting sekali untuk dikelola secara sadar dalam ruang-ruang diskursus, pemberitaan media, organisasi masyarakat, partai politik maupun pemangku kepentingan negara dan non negara. Terutama sebagai upaya sadar manusia dan bangsa atau dunia untuk bisa berdaya atas keadaan yang berubah dengan serba cepat ketimbang sekedar bingung dan tergelincir pada kemudahan mengkambing hitamkan pihak lain tanpa mengambil bagian dari solusi atas problem bersama.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara kebutuhan adaptasi sudah menjadi semacam kebutuhan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih dalam rangka mencari alternatif dan kedaruratan untuk bertahan dan berdaya atas perubahan zaman yang serba cepat dengan banyak kompleksitas persoalan dan ketidakpastian masa depan yang melingkupinya.
Dibutuhkan pendekatan yang melibatkan semacam kemampuan menilai yang tinggi, seni mengelola masyarakat, kapasitas menangkap pola-pola perubahan baik dalam dimensi sosial, politik, kultural, ekonomi, ideologi, pertahanan maupun keamanan manusia dan bangsa. Semacam suatu kolaborasi yang melibatkan unsur citarasa seni, kebijaksanaan, kerja budaya, kedalaman pemikiran, spiritualitas juga visi progresif untuk dapat menangkap jiwa zaman yang ada.
Dalam konteks respons manusia sebagai warga bangsa dan warga negara bahkan warga dunia, dibutuhkan semacam sikap batin dan laku kembali ke kondisi kertas kosong. Dalam artian kembali kepada kepribadian manusia dan bangsa atau masyarakat Indonesia, kembali kepada pijakan sejarah awal mula, kembali kepada tujuan etisnya manusia hidup, serta kembali kepada pemenuhan cita-cita semula yang menjadi amanah pokok bangsa dan negara Indonesia.
Adalah Pancasila itu sendiri yang sejak mula kelahirannya mengandung amanah bernegara, jejak historis, sekaligus mengandung tujuan dan cita-cita otentik bangsa Indonesia. Untuk mengenalinya orisinalitasnya kembali atau untuk dapat menghidmatinya kembali Pancasila perlulah kiranya kita kembali ke awal sebagaimana kertas kosong atau semacam tabula rasa.
Tabularasa
Tabularasa berasal dari bahasa Latin yang bermakna kertas kosong. Istilah tabularasa di sini tidak dalam pengertian teori yang lebih jauh melainkan sekadar meminjam istilah untuk mencoba diterapkan dalam upaya menangkap pesan terkait Pancasila yang sejak mulanya oleh Bung Karno dinyatakan bukan sebagai pemikirannya, melainkan digali dari pengalaman dan sejarah panjang Bangsa Indonesia yang juga sekaligus dinyatakan sebagai ilham maupun semacam “inspirasi ilahi”.
Alumnus Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia,
Sekretaris Rumah Falsafah Nusantara
Perkembangan dunia yang serba cepat menyisakan problem terhadap kemampuan manusia sebagai anak zaman untuk beradaptasi. Yang bertahan dari setiap perubahan baik evolusi maupun perubahan yang revolusioner dari alam sebagaimana pandangan naturalis semacam Charles Darwin adalah mereka yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi.
Dalam pandangan ini terdapat beberapa poin penting seperti kemampuan alamiah manusia untuk bisa bertahan, manusia dan alam saling mempengaruhi, peran penting dari lingkungan dan pengalaman, dan utamanya manusia memiliki kemampuan pertahanan alami terhadap perubahan karena adanya kemampuan beradaptasinya.
Kemampuan beradaptasi menjadi faktor penting baik dalam mengelola perubahan yang evolutif maupun perubahan yang sangat cepat dan menjungkirbalikkan nilai dan tatanan lama sebagaimana perubahan revolusioner. Tentu tidak menjadikan suatu keberatan besar apabila dinyatakan bahwa manusia dan masyarakat atau suatu bangsa memiliki dasar rasa yang cenderung responsif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dibanding rasa yang cenderung ingin bertahan pada kemandegan. Keinginan bertahan justru mendorong gerak untuk merespon ketidakpastian dari perkembangan dan perubahan.
Dimensi pembahasan terkait keberlangsungan hidup manusia maupun bangsa dalam menyikapi cepatnya perubahan zaman atau akibat semakin naiknya tuntutan hidup manusia (rising demand) zaman ini penting sekali untuk dikelola secara sadar dalam ruang-ruang diskursus, pemberitaan media, organisasi masyarakat, partai politik maupun pemangku kepentingan negara dan non negara. Terutama sebagai upaya sadar manusia dan bangsa atau dunia untuk bisa berdaya atas keadaan yang berubah dengan serba cepat ketimbang sekedar bingung dan tergelincir pada kemudahan mengkambing hitamkan pihak lain tanpa mengambil bagian dari solusi atas problem bersama.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara kebutuhan adaptasi sudah menjadi semacam kebutuhan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih dalam rangka mencari alternatif dan kedaruratan untuk bertahan dan berdaya atas perubahan zaman yang serba cepat dengan banyak kompleksitas persoalan dan ketidakpastian masa depan yang melingkupinya.
Dibutuhkan pendekatan yang melibatkan semacam kemampuan menilai yang tinggi, seni mengelola masyarakat, kapasitas menangkap pola-pola perubahan baik dalam dimensi sosial, politik, kultural, ekonomi, ideologi, pertahanan maupun keamanan manusia dan bangsa. Semacam suatu kolaborasi yang melibatkan unsur citarasa seni, kebijaksanaan, kerja budaya, kedalaman pemikiran, spiritualitas juga visi progresif untuk dapat menangkap jiwa zaman yang ada.
Dalam konteks respons manusia sebagai warga bangsa dan warga negara bahkan warga dunia, dibutuhkan semacam sikap batin dan laku kembali ke kondisi kertas kosong. Dalam artian kembali kepada kepribadian manusia dan bangsa atau masyarakat Indonesia, kembali kepada pijakan sejarah awal mula, kembali kepada tujuan etisnya manusia hidup, serta kembali kepada pemenuhan cita-cita semula yang menjadi amanah pokok bangsa dan negara Indonesia.
Adalah Pancasila itu sendiri yang sejak mula kelahirannya mengandung amanah bernegara, jejak historis, sekaligus mengandung tujuan dan cita-cita otentik bangsa Indonesia. Untuk mengenalinya orisinalitasnya kembali atau untuk dapat menghidmatinya kembali Pancasila perlulah kiranya kita kembali ke awal sebagaimana kertas kosong atau semacam tabula rasa.
Tabularasa
Tabularasa berasal dari bahasa Latin yang bermakna kertas kosong. Istilah tabularasa di sini tidak dalam pengertian teori yang lebih jauh melainkan sekadar meminjam istilah untuk mencoba diterapkan dalam upaya menangkap pesan terkait Pancasila yang sejak mulanya oleh Bung Karno dinyatakan bukan sebagai pemikirannya, melainkan digali dari pengalaman dan sejarah panjang Bangsa Indonesia yang juga sekaligus dinyatakan sebagai ilham maupun semacam “inspirasi ilahi”.