Tabularasa Pancasila

Senin, 21 Februari 2022 - 09:30 WIB
loading...
Tabularasa Pancasila
Janu Wijayanto. FOTO/Dok SINDO
A A A
Janu Wijayanto
Alumnus Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia,
Sekretaris Rumah Falsafah Nusantara

Perkembangan dunia yang serba cepat menyisakan problem terhadap kemampuan manusia sebagai anak zaman untuk beradaptasi. Yang bertahan dari setiap perubahan baik evolusi maupun perubahan yang revolusioner dari alam sebagaimana pandangan naturalis semacam Charles Darwin adalah mereka yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi.

Dalam pandangan ini terdapat beberapa poin penting seperti kemampuan alamiah manusia untuk bisa bertahan, manusia dan alam saling mempengaruhi, peran penting dari lingkungan dan pengalaman, dan utamanya manusia memiliki kemampuan pertahanan alami terhadap perubahan karena adanya kemampuan beradaptasinya.

Kemampuan beradaptasi menjadi faktor penting baik dalam mengelola perubahan yang evolutif maupun perubahan yang sangat cepat dan menjungkirbalikkan nilai dan tatanan lama sebagaimana perubahan revolusioner. Tentu tidak menjadikan suatu keberatan besar apabila dinyatakan bahwa manusia dan masyarakat atau suatu bangsa memiliki dasar rasa yang cenderung responsif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dibanding rasa yang cenderung ingin bertahan pada kemandegan. Keinginan bertahan justru mendorong gerak untuk merespon ketidakpastian dari perkembangan dan perubahan.

Dimensi pembahasan terkait keberlangsungan hidup manusia maupun bangsa dalam menyikapi cepatnya perubahan zaman atau akibat semakin naiknya tuntutan hidup manusia (rising demand) zaman ini penting sekali untuk dikelola secara sadar dalam ruang-ruang diskursus, pemberitaan media, organisasi masyarakat, partai politik maupun pemangku kepentingan negara dan non negara. Terutama sebagai upaya sadar manusia dan bangsa atau dunia untuk bisa berdaya atas keadaan yang berubah dengan serba cepat ketimbang sekedar bingung dan tergelincir pada kemudahan mengkambing hitamkan pihak lain tanpa mengambil bagian dari solusi atas problem bersama.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara kebutuhan adaptasi sudah menjadi semacam kebutuhan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih dalam rangka mencari alternatif dan kedaruratan untuk bertahan dan berdaya atas perubahan zaman yang serba cepat dengan banyak kompleksitas persoalan dan ketidakpastian masa depan yang melingkupinya.

Dibutuhkan pendekatan yang melibatkan semacam kemampuan menilai yang tinggi, seni mengelola masyarakat, kapasitas menangkap pola-pola perubahan baik dalam dimensi sosial, politik, kultural, ekonomi, ideologi, pertahanan maupun keamanan manusia dan bangsa. Semacam suatu kolaborasi yang melibatkan unsur citarasa seni, kebijaksanaan, kerja budaya, kedalaman pemikiran, spiritualitas juga visi progresif untuk dapat menangkap jiwa zaman yang ada.

Dalam konteks respons manusia sebagai warga bangsa dan warga negara bahkan warga dunia, dibutuhkan semacam sikap batin dan laku kembali ke kondisi kertas kosong. Dalam artian kembali kepada kepribadian manusia dan bangsa atau masyarakat Indonesia, kembali kepada pijakan sejarah awal mula, kembali kepada tujuan etisnya manusia hidup, serta kembali kepada pemenuhan cita-cita semula yang menjadi amanah pokok bangsa dan negara Indonesia.

Adalah Pancasila itu sendiri yang sejak mula kelahirannya mengandung amanah bernegara, jejak historis, sekaligus mengandung tujuan dan cita-cita otentik bangsa Indonesia. Untuk mengenalinya orisinalitasnya kembali atau untuk dapat menghidmatinya kembali Pancasila perlulah kiranya kita kembali ke awal sebagaimana kertas kosong atau semacam tabula rasa.

Tabularasa
Tabularasa berasal dari bahasa Latin yang bermakna kertas kosong. Istilah tabularasa di sini tidak dalam pengertian teori yang lebih jauh melainkan sekadar meminjam istilah untuk mencoba diterapkan dalam upaya menangkap pesan terkait Pancasila yang sejak mulanya oleh Bung Karno dinyatakan bukan sebagai pemikirannya, melainkan digali dari pengalaman dan sejarah panjang Bangsa Indonesia yang juga sekaligus dinyatakan sebagai ilham maupun semacam “inspirasi ilahi”.

Tabularasa di sini juga dapat dimaknai sebagai upaya mengosongkan diri dalam mencari keotentikan dan obyektivitas dari situasi pertentangan pandangan yang seringkali gampang terjadi jika berkaitan dengan pembahasan mengenai Pancasila di negara kita saat sekarang ini.

Mengapa Bung Karno? Hal ini tentu karena faktanya ia adalah orang yang pertama kali mempidatokan Pancasila sebagaimana yang kemudian hari telah menjadi dasar negara Indonesia. Hal lainnya adalah Proklamator Indonesia hanya Sukarno dan Hatta yang menjadi atas nama dari Bangsa Indonesia dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sebab lainnya tentu membahas Pancasila tidak mungkin dapat dipisah dari keberadaan Proklamasi kemerdekaan. Jelas, Pancasila dipidatokan pertama kali oleh Bung Karno dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan apa dasarnya jika Indonesia merdeka.

Adapun Bung Hatta sebagai proklamator dalam memoarnya berwasiat kepada Guntur Sukarno Putra menyampaikan perihal di antaranya berkaitan Pancasila Dasar Negara dan Bung Karno. “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?” Hatta menyampaikan bahwa kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang.

Mereka langsung membicarakan soal Undang-Undang Dasar. Salah seorang dari anggota panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia yang menjawab pertanyaan itu adalah Bung Karno yang mengucapkan pidatonya pada 1 Juni 1945. Yang berjudul Pancasila, lima sila, yang lamanya kira-kira satu jam.

Mengapa dalam upaya memahami Pancasila penting sekali bagi kita kembali menjadi semacam kertas kosong? Tentu ini untuk memurnikan pemahaman menuju kepada keotentikan dan kejujuran. Pasalnya, sudah barang tentu sulit menjadi jujur tanpa mengosongkan diri.

Sungguh beruntung sekali sesungguhnya kita Bangsa Indonesia karena Bung Karno sejak awal mula mengosongkan diri dalam artian menjauhkan diri dari klaim pribadi dan merasa memiliki ide Pancasila itu sebagai anggitannya atau pikirannya. Bung Karno lebih menyebutnya sebagai ilham yang diturunkan oleh Tuhan. Dalam konteks ini Bung Karno sendiri menempatkan dirinya seakan sebagai kertas kosong yang sekadar menyampaikan ilham dari Tuhan.

Berkaitan dengan itu, menjadi menarik jika kita simak perkataan Sukarno yang begitu puitik ditulis dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams berikut:

“Di malam sebelum aku akan berbicara di Badan Penyelidik, aku pergi ke luar pekarangan rumahku. Seorang diri. Dan aku memandang bintang-bintang di langit. Dan aku kagum pada ciptaan yang sempurna itu. Dan aku meratap pelan-pelan. Kusampaikan kepada Tuhan, aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu. Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku”.

Menilik pada kutipan perkataan Bung Karno tersebut dapatlah kita dipahamkan dan mahfum mengapa Sukarno tidak mengklaim pidatonya tentang Pancasila sebagai pemikirannya. Sukarno telah menjadikan dirinya kertas kosong (tabularasa) sejak permulaanya. Sebuah jalan dan hikmah yang bisa kita petik untuk juga bertabularasa Pancasila mulai saat ini dan seterusnya. Dengan begitu diharapkan Pancasila benar-benar terang sebagai bintang penuntun manusia Indonesia, bangsa dan negara Indonesia bahkan dunia untuk beradaptasi sekaligus tetap setia kepada tujuan etisnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1796 seconds (0.1#10.140)