Effendi Gazali Sebut Presidential Threshold 20% Hilang Kalau Oligarki Pecah Kongsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali berharap bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menjadi lembaga independen. Ini penting khususnya dalam pengujian presidential threshold atau ambang batas pencapresan 20 persen dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
“Tapi saya masih berharap bahwa mahkamah konstitusi itu masih tetap independen dalam pelaksanaan judicial review menguji Undang-Undang Pemilu terhadap Undang-Undang Dasar,” kata Effendi menanggapi hasil survei Trust Indonesia terkait elektabilitas calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024 di Hotel Doubletree, Jakarta, Senin (31/1/2022).
Menurut Effendi, berdasarkan pengalaman berbagai negara di dunia, perubahan terhadap UU yang diuji di DPR maupun di MK bisa dilakukan jika terjadi dua hal. Pertama, faktor teleologi atau studi filosofis dan kedua kalau oligarki pecah kongsi.
“Yang pertama teleologi, jadi pendekatan akan bahwa setiap peristiwa dan tujuan itu mengandung hal-hal yang baik yang disadari pada waktunya; dan yang kedua kalau oligarki pecah kongsi. Dalam arti yang luas itu baru bisa terjadi perubahan baik diuji di DPR maupun di Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Terkait Partai NasDem, PAN dan PPP yang tidak lolos parliamentary threshold, Effendi enggan menanggapi karena bukan tupoksinya. Yang jelas, ia beranggapan bahwa penentuan calon presiden nanti yang akan menjadi menentukan elektabilitas parpol. Karena, 2024 ini harus dicalonkan presiden yang baru mengingat Presiden Jokowi sudah dua periode.
Namun, kata dia, apakah nantinya lahir Sebuah UU yang berhasil diperjuangkan di MK. Yang pasti, proses di MK sangat lama dan panjang. Saat dirinya bersama sejumlah tokoh menguji materi mengenai keserentakan pileg dan pilpres, ia mengajukan gugatan 10 Januari 2013, menurut Mahfud MD yang kala itu Ketua MK keputusannya sudah diperoleh pada Maret 2013, tapi baru diumumkan 24 Januari 2014, sehingga MK memutuskan Pemilu serentak tidak bisa dilakukan di 2014 tapi di 2019.
“Kalau saja misalnya gugatan pemilu tanpa presidential berjalan seperti sepanjang itu, maka semua pengandaian kita dengan elektabilitas dalam arti kesediaan pemilih untuk memilih tokoh tertentu kalau pemilu dilaksanakan pada saat ini, sambil nanti nunggu konvensi atau sudah mendapat tiket, itu bisa menjadi sia-sia,” pungkas Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo ini.
“Tapi saya masih berharap bahwa mahkamah konstitusi itu masih tetap independen dalam pelaksanaan judicial review menguji Undang-Undang Pemilu terhadap Undang-Undang Dasar,” kata Effendi menanggapi hasil survei Trust Indonesia terkait elektabilitas calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024 di Hotel Doubletree, Jakarta, Senin (31/1/2022).
Menurut Effendi, berdasarkan pengalaman berbagai negara di dunia, perubahan terhadap UU yang diuji di DPR maupun di MK bisa dilakukan jika terjadi dua hal. Pertama, faktor teleologi atau studi filosofis dan kedua kalau oligarki pecah kongsi.
“Yang pertama teleologi, jadi pendekatan akan bahwa setiap peristiwa dan tujuan itu mengandung hal-hal yang baik yang disadari pada waktunya; dan yang kedua kalau oligarki pecah kongsi. Dalam arti yang luas itu baru bisa terjadi perubahan baik diuji di DPR maupun di Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Terkait Partai NasDem, PAN dan PPP yang tidak lolos parliamentary threshold, Effendi enggan menanggapi karena bukan tupoksinya. Yang jelas, ia beranggapan bahwa penentuan calon presiden nanti yang akan menjadi menentukan elektabilitas parpol. Karena, 2024 ini harus dicalonkan presiden yang baru mengingat Presiden Jokowi sudah dua periode.
Namun, kata dia, apakah nantinya lahir Sebuah UU yang berhasil diperjuangkan di MK. Yang pasti, proses di MK sangat lama dan panjang. Saat dirinya bersama sejumlah tokoh menguji materi mengenai keserentakan pileg dan pilpres, ia mengajukan gugatan 10 Januari 2013, menurut Mahfud MD yang kala itu Ketua MK keputusannya sudah diperoleh pada Maret 2013, tapi baru diumumkan 24 Januari 2014, sehingga MK memutuskan Pemilu serentak tidak bisa dilakukan di 2014 tapi di 2019.
“Kalau saja misalnya gugatan pemilu tanpa presidential berjalan seperti sepanjang itu, maka semua pengandaian kita dengan elektabilitas dalam arti kesediaan pemilih untuk memilih tokoh tertentu kalau pemilu dilaksanakan pada saat ini, sambil nanti nunggu konvensi atau sudah mendapat tiket, itu bisa menjadi sia-sia,” pungkas Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo ini.
(muh)