Menakar Konstitusionalitas Presidential Threshold

Rabu, 19 Januari 2022 - 12:31 WIB
loading...
A A A
Dalam konteks ini, penting diajukan pertanyaan: Sudahkah kebijakan PT ini selaras dengan keinginan memperkuat sistem pemerintahan presidensil dan upaya meningkatkan derajat demokartisasi pelaksanaan pilpres?

Salah satu perbedaan fundamental sistem presidensil dan parlementer adalah terkait hubungan eksekutif dan legislatif. Pada sistem parlementer, eksekutif adalah bagian dari legislatif di mana perdana menteri sebagai kepala eksekutif dipilih oleh parlemen. Karenanya, dalam sistem ini pemilu hanya dilakukan sekali yaitu untuk memilih anggota legislatif. Partai pemenang pemilu legislatif (pileg), secara otomatis akan menguasai eksekutif.

Kebalikannya, pada sistem presidensil, eksekutif bukan merupakan bagian dari parlemen. Anggota legislatif dan presiden dipilih dalam pemilu yang berbeda sehingga hasil pileg tidak memiliki keterkaitan dengan hasil pilpres. Sangat mungkin, pemenang pileg dan pilpres, adalah dua partai yang berbeda. Dengan demikian, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang disangkut pautkan dengan hasil pileg sebagaimana terkandung dalam kebijakan PT, adalah bertentangan dengan prinsip presidensialisme.

Karena dalam sistem parlementer eksekutif ditunjuk oleh parlemen, maka secara otomatis melekat pula kewenangan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri kapan saja. Sebab itu, partai-partai perlu berkoalisi untuk membangun kekuatan mayoritas di parlemen agar stabilitas pemerintahan bisa tetap terjaga. Dengan demikian, koalisi adalah syarat wajib dalam sistem parlementer yang multipartai.

Pada sistem presidensil, presiden sekalipun berasal dari partai minoritas, hampir tidak mungkin bisa dijatuhkan oleh parlemen kecuali dalam keadaan luar biasa yaitu jika presiden dan/atau wapres melakukan pelanggaran hukum. Mekanisme dan prosedur pembuktiannyapun sangat rumit karena harus dilakukan di MK. Karenanya, koalisi bukan merupakan kewajiban dan keharusan.

Sehubungan dengan hal tersebut, PT jelas merupakan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip presidensialisme karena partai kemudian dipaksa dan diwajibkan untuk membangun koalisi dalam pencapresan.

Dalam hal penyusunan kabinet, syarat utama dan paling penting menjadi anggota kabinet dalam sistem parlementer adalah mendapatkan dukungan politik dari parlemen. Karena itu dapat dikatakan bahwa sekalipun dalam sistem parlementer kedudukan menteri bersifat sentral karena kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang dikomandani oleh seorang perdana menteri, pertimbangan politis dalam pengangkatan menteri lebih dominan daripada pertimbangan aspek profesionalisme.

Sedangkan pada sistem presidensil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebab hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan seorang menteri ada di tangan presiden. Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dengan demikian, nuansa pekerjaan para menteri dalam sistem presidensil bersifat lebih profesional dan tidak politis.

Sebab itu, dalam menetapkan kriteria seorang menteri, presiden selayaknya mengutamakan aspek kapabilitas dan integritas kepemimpinan daripada menegdepankan persyaratan dukungan politis karena dalam sistem pemerintahan presidensil lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet (kabinet profesional).

Diakui atau tidak, kebijakan PT yang kemudian melahirkan kewajiban bagi partai untuk berkoalisi, telah menjadi hambatan besar bagi presiden terpilih untuk membentuk kabinet profesional. Penentuan menteri seringkali bukan atas pertimbangan kompetensi, tetapi lebih banyak berdasar pada politik transaksional-pragmatis jangka pendek.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0862 seconds (0.1#10.140)