Menakar Konstitusionalitas Presidential Threshold
loading...
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen HTN dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII
DI ANTARA antara sekian banyak objek pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan pengujian atas konstitusionalitas presidential threshold (PT) merupakan satu di antara atau bahkan mungkin satu-satunya pasal yang paling sering digugat.
Sekalipun MK telah berkali-kali pula mengeluarkan putusan menolak dan/atau tidak dapat menerima permohonan, namun hal ini tidak menyurutkan keinginan sebagian besar masyarakat untuk terus mempersoalkan kebijakan PT ini setiap menjelang pemilu.
Terbukti, saat ini sudah ada puluhan masyarakat dengan beragam latar belakang profesi, kembali mengajukan permohonan kepada MK agar berkenan untuk membatalkan PT sebagai syarat pencapresan.
Jika dicermati secara seksama, semua putusan MK terdahulu yang menolak pengujian PT berlandas pada satu argumen yaitu kebijakan ini tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 sehingga hal ini tidak ada sangkut paut dengan persoalan konstitusionalitas tetapi semata-mata merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang (UU). Dengan kata lain, kebijakan ini “suka-suka” Pemerintah dan DPR.
Sekilas argumen MK tersebut dapat diterima secara nalar nomatif-legalistik karena memang tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang hal ini. Namun yang harus diingat adalah tugas hakim MK bukan hanya sekadar membaca UUD 1945 secara tekstual, tetapi lebih dari itu harus juga menggali makna dan ruh dari tiap-tiap pasal yang ada di dalamnya.
Jika MK hanya sekadar memutus dengan kaca mata kuda berdasarkan pemaknaan normatif-legalistik, maka hampir pasti akan banyak tatanan ketatanegaraan yang tidak terdapat aturannya dalam UUD. Sebab konstitusi sebagai hukum tertinggi, sifat pengaturan normanya memang bersifat umum-abstrak, tidak rigid, dan tidak mengatur hal yang bersifat teknis operasional. Konstitusi hanya berisi muatan filosofis, kerangka dasar dan prinsip-prinsip pokok bernegara dengan tujuan agar keberadaannya bersifat lentur sehingga senantiasa dapat dikontekstualisasi dalam arus perubahan zaman. Dengan karakternya yang seperti ini, konstitusi akan dapat dijamin daya tahannya dan tidak terbelakang, ketinggalan zaman, serta senantiasa mampu menjawab semua persoalan ketatanegaraan. Bagaimanapun, teks konstitusi bersifat statis, sementara kehidupan masyarakat berjalan dinamis.
Konstitusionalitas Presidential Threshold
Berdasar argumen bahwa konstitusi hanya berisi pengaturan hal-hal pokok kenegaraan yang bersifat fundamental, maka menentukan konstitusionalitas PT tidak boleh hanya semata-mata membaca UUD secara gramatikal-tekstual. Hakim konstitusi harus mampu menggali nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung di dalamnya.
Jika dicermati secara seksama, ada beberapa hal yang menjadi landasan dilakukannya perubahan pengaturan pemilu presiden (pilpres) dalam UUD hasil amendemen. Dua di antaranya adalah keinginan untuk mendemokratiskan pelaksanaan pilpres dan memperkuat sistem pemerintahan presidensil.
Karena itu, seluruh peraturan turunannya yang akan mengatur ketentuan lebih lanjut tentang pilpres, tidak boleh mencederai dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip presidensialisme dan pemilu yang demokratis tersebut.
Dalam konteks ini, penting diajukan pertanyaan: Sudahkah kebijakan PT ini selaras dengan keinginan memperkuat sistem pemerintahan presidensil dan upaya meningkatkan derajat demokartisasi pelaksanaan pilpres?
Salah satu perbedaan fundamental sistem presidensil dan parlementer adalah terkait hubungan eksekutif dan legislatif. Pada sistem parlementer, eksekutif adalah bagian dari legislatif di mana perdana menteri sebagai kepala eksekutif dipilih oleh parlemen. Karenanya, dalam sistem ini pemilu hanya dilakukan sekali yaitu untuk memilih anggota legislatif. Partai pemenang pemilu legislatif (pileg), secara otomatis akan menguasai eksekutif.
Kebalikannya, pada sistem presidensil, eksekutif bukan merupakan bagian dari parlemen. Anggota legislatif dan presiden dipilih dalam pemilu yang berbeda sehingga hasil pileg tidak memiliki keterkaitan dengan hasil pilpres. Sangat mungkin, pemenang pileg dan pilpres, adalah dua partai yang berbeda. Dengan demikian, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang disangkut pautkan dengan hasil pileg sebagaimana terkandung dalam kebijakan PT, adalah bertentangan dengan prinsip presidensialisme.
Karena dalam sistem parlementer eksekutif ditunjuk oleh parlemen, maka secara otomatis melekat pula kewenangan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri kapan saja. Sebab itu, partai-partai perlu berkoalisi untuk membangun kekuatan mayoritas di parlemen agar stabilitas pemerintahan bisa tetap terjaga. Dengan demikian, koalisi adalah syarat wajib dalam sistem parlementer yang multipartai.
Pada sistem presidensil, presiden sekalipun berasal dari partai minoritas, hampir tidak mungkin bisa dijatuhkan oleh parlemen kecuali dalam keadaan luar biasa yaitu jika presiden dan/atau wapres melakukan pelanggaran hukum. Mekanisme dan prosedur pembuktiannyapun sangat rumit karena harus dilakukan di MK. Karenanya, koalisi bukan merupakan kewajiban dan keharusan.
Sehubungan dengan hal tersebut, PT jelas merupakan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip presidensialisme karena partai kemudian dipaksa dan diwajibkan untuk membangun koalisi dalam pencapresan.
Dalam hal penyusunan kabinet, syarat utama dan paling penting menjadi anggota kabinet dalam sistem parlementer adalah mendapatkan dukungan politik dari parlemen. Karena itu dapat dikatakan bahwa sekalipun dalam sistem parlementer kedudukan menteri bersifat sentral karena kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang dikomandani oleh seorang perdana menteri, pertimbangan politis dalam pengangkatan menteri lebih dominan daripada pertimbangan aspek profesionalisme.
Sedangkan pada sistem presidensil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebab hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan seorang menteri ada di tangan presiden. Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dengan demikian, nuansa pekerjaan para menteri dalam sistem presidensil bersifat lebih profesional dan tidak politis.
Sebab itu, dalam menetapkan kriteria seorang menteri, presiden selayaknya mengutamakan aspek kapabilitas dan integritas kepemimpinan daripada menegdepankan persyaratan dukungan politis karena dalam sistem pemerintahan presidensil lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet (kabinet profesional).
Diakui atau tidak, kebijakan PT yang kemudian melahirkan kewajiban bagi partai untuk berkoalisi, telah menjadi hambatan besar bagi presiden terpilih untuk membentuk kabinet profesional. Penentuan menteri seringkali bukan atas pertimbangan kompetensi, tetapi lebih banyak berdasar pada politik transaksional-pragmatis jangka pendek.
Selain merusak tatanan sistem presidensil, kebijakan PT juga telah menurunkan derajat demokratisasi pelaksanaan pilpres. Hal ini misalnya terlihat dari semakin terbatasnya jumlah calon sehingga pilpres tidak lagi berlangsung secara kompetitif. Padahal salah satu ciri pemilu yang demokratis adalah diikuti oleh calon yang beragam sehingga memungkin pemilih untuk mendapatkan alternatif pilihan.
Lebih dari itu, PT tidak hanya menyebabkan kadar kompetisi dalam pemilu menjadi berkurang, tetapi juga telah merusak tatanan demokratisasi internal parpol sebab rekrutmen capres/cawapres tidak berlangsung secara demokratis dan terbuka sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemilu dan UU Parpol, tetapi sepenuhnya dihegemoni oleh kekuasaan para elite dan ketua umum parpol.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak negatif dari kebijakan PT terhadap keberlangsungan demokratisasi penyelenggaraan pilpres dan penguatan sistem presidensil, maka tidak ada salahnya jika MK melakukan ijtihad baru dengan menghapuskan ketentuan PT yang keberadaannya jelas-jelas bertentangan dengan ruh konstitusi.
Semua ini tentu hanya mungkin terwujud jika hakim konstitusi tidak membaca UUD 1945 hanya sekadar gramatikal-tekstual tetapi lebih jauh yaitu menyelami makna tersurat maupun tersirat yang terkandung di dalamnya.
Dosen HTN dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII
DI ANTARA antara sekian banyak objek pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan pengujian atas konstitusionalitas presidential threshold (PT) merupakan satu di antara atau bahkan mungkin satu-satunya pasal yang paling sering digugat.
Sekalipun MK telah berkali-kali pula mengeluarkan putusan menolak dan/atau tidak dapat menerima permohonan, namun hal ini tidak menyurutkan keinginan sebagian besar masyarakat untuk terus mempersoalkan kebijakan PT ini setiap menjelang pemilu.
Terbukti, saat ini sudah ada puluhan masyarakat dengan beragam latar belakang profesi, kembali mengajukan permohonan kepada MK agar berkenan untuk membatalkan PT sebagai syarat pencapresan.
Jika dicermati secara seksama, semua putusan MK terdahulu yang menolak pengujian PT berlandas pada satu argumen yaitu kebijakan ini tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 sehingga hal ini tidak ada sangkut paut dengan persoalan konstitusionalitas tetapi semata-mata merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang (UU). Dengan kata lain, kebijakan ini “suka-suka” Pemerintah dan DPR.
Sekilas argumen MK tersebut dapat diterima secara nalar nomatif-legalistik karena memang tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang hal ini. Namun yang harus diingat adalah tugas hakim MK bukan hanya sekadar membaca UUD 1945 secara tekstual, tetapi lebih dari itu harus juga menggali makna dan ruh dari tiap-tiap pasal yang ada di dalamnya.
Jika MK hanya sekadar memutus dengan kaca mata kuda berdasarkan pemaknaan normatif-legalistik, maka hampir pasti akan banyak tatanan ketatanegaraan yang tidak terdapat aturannya dalam UUD. Sebab konstitusi sebagai hukum tertinggi, sifat pengaturan normanya memang bersifat umum-abstrak, tidak rigid, dan tidak mengatur hal yang bersifat teknis operasional. Konstitusi hanya berisi muatan filosofis, kerangka dasar dan prinsip-prinsip pokok bernegara dengan tujuan agar keberadaannya bersifat lentur sehingga senantiasa dapat dikontekstualisasi dalam arus perubahan zaman. Dengan karakternya yang seperti ini, konstitusi akan dapat dijamin daya tahannya dan tidak terbelakang, ketinggalan zaman, serta senantiasa mampu menjawab semua persoalan ketatanegaraan. Bagaimanapun, teks konstitusi bersifat statis, sementara kehidupan masyarakat berjalan dinamis.
Konstitusionalitas Presidential Threshold
Berdasar argumen bahwa konstitusi hanya berisi pengaturan hal-hal pokok kenegaraan yang bersifat fundamental, maka menentukan konstitusionalitas PT tidak boleh hanya semata-mata membaca UUD secara gramatikal-tekstual. Hakim konstitusi harus mampu menggali nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung di dalamnya.
Jika dicermati secara seksama, ada beberapa hal yang menjadi landasan dilakukannya perubahan pengaturan pemilu presiden (pilpres) dalam UUD hasil amendemen. Dua di antaranya adalah keinginan untuk mendemokratiskan pelaksanaan pilpres dan memperkuat sistem pemerintahan presidensil.
Karena itu, seluruh peraturan turunannya yang akan mengatur ketentuan lebih lanjut tentang pilpres, tidak boleh mencederai dan bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip presidensialisme dan pemilu yang demokratis tersebut.
Dalam konteks ini, penting diajukan pertanyaan: Sudahkah kebijakan PT ini selaras dengan keinginan memperkuat sistem pemerintahan presidensil dan upaya meningkatkan derajat demokartisasi pelaksanaan pilpres?
Salah satu perbedaan fundamental sistem presidensil dan parlementer adalah terkait hubungan eksekutif dan legislatif. Pada sistem parlementer, eksekutif adalah bagian dari legislatif di mana perdana menteri sebagai kepala eksekutif dipilih oleh parlemen. Karenanya, dalam sistem ini pemilu hanya dilakukan sekali yaitu untuk memilih anggota legislatif. Partai pemenang pemilu legislatif (pileg), secara otomatis akan menguasai eksekutif.
Kebalikannya, pada sistem presidensil, eksekutif bukan merupakan bagian dari parlemen. Anggota legislatif dan presiden dipilih dalam pemilu yang berbeda sehingga hasil pileg tidak memiliki keterkaitan dengan hasil pilpres. Sangat mungkin, pemenang pileg dan pilpres, adalah dua partai yang berbeda. Dengan demikian, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang disangkut pautkan dengan hasil pileg sebagaimana terkandung dalam kebijakan PT, adalah bertentangan dengan prinsip presidensialisme.
Karena dalam sistem parlementer eksekutif ditunjuk oleh parlemen, maka secara otomatis melekat pula kewenangan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri kapan saja. Sebab itu, partai-partai perlu berkoalisi untuk membangun kekuatan mayoritas di parlemen agar stabilitas pemerintahan bisa tetap terjaga. Dengan demikian, koalisi adalah syarat wajib dalam sistem parlementer yang multipartai.
Pada sistem presidensil, presiden sekalipun berasal dari partai minoritas, hampir tidak mungkin bisa dijatuhkan oleh parlemen kecuali dalam keadaan luar biasa yaitu jika presiden dan/atau wapres melakukan pelanggaran hukum. Mekanisme dan prosedur pembuktiannyapun sangat rumit karena harus dilakukan di MK. Karenanya, koalisi bukan merupakan kewajiban dan keharusan.
Sehubungan dengan hal tersebut, PT jelas merupakan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip presidensialisme karena partai kemudian dipaksa dan diwajibkan untuk membangun koalisi dalam pencapresan.
Dalam hal penyusunan kabinet, syarat utama dan paling penting menjadi anggota kabinet dalam sistem parlementer adalah mendapatkan dukungan politik dari parlemen. Karena itu dapat dikatakan bahwa sekalipun dalam sistem parlementer kedudukan menteri bersifat sentral karena kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang dikomandani oleh seorang perdana menteri, pertimbangan politis dalam pengangkatan menteri lebih dominan daripada pertimbangan aspek profesionalisme.
Sedangkan pada sistem presidensil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebab hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan seorang menteri ada di tangan presiden. Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dengan demikian, nuansa pekerjaan para menteri dalam sistem presidensil bersifat lebih profesional dan tidak politis.
Sebab itu, dalam menetapkan kriteria seorang menteri, presiden selayaknya mengutamakan aspek kapabilitas dan integritas kepemimpinan daripada menegdepankan persyaratan dukungan politis karena dalam sistem pemerintahan presidensil lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet (kabinet profesional).
Diakui atau tidak, kebijakan PT yang kemudian melahirkan kewajiban bagi partai untuk berkoalisi, telah menjadi hambatan besar bagi presiden terpilih untuk membentuk kabinet profesional. Penentuan menteri seringkali bukan atas pertimbangan kompetensi, tetapi lebih banyak berdasar pada politik transaksional-pragmatis jangka pendek.
Selain merusak tatanan sistem presidensil, kebijakan PT juga telah menurunkan derajat demokratisasi pelaksanaan pilpres. Hal ini misalnya terlihat dari semakin terbatasnya jumlah calon sehingga pilpres tidak lagi berlangsung secara kompetitif. Padahal salah satu ciri pemilu yang demokratis adalah diikuti oleh calon yang beragam sehingga memungkin pemilih untuk mendapatkan alternatif pilihan.
Lebih dari itu, PT tidak hanya menyebabkan kadar kompetisi dalam pemilu menjadi berkurang, tetapi juga telah merusak tatanan demokratisasi internal parpol sebab rekrutmen capres/cawapres tidak berlangsung secara demokratis dan terbuka sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemilu dan UU Parpol, tetapi sepenuhnya dihegemoni oleh kekuasaan para elite dan ketua umum parpol.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak negatif dari kebijakan PT terhadap keberlangsungan demokratisasi penyelenggaraan pilpres dan penguatan sistem presidensil, maka tidak ada salahnya jika MK melakukan ijtihad baru dengan menghapuskan ketentuan PT yang keberadaannya jelas-jelas bertentangan dengan ruh konstitusi.
Semua ini tentu hanya mungkin terwujud jika hakim konstitusi tidak membaca UUD 1945 hanya sekadar gramatikal-tekstual tetapi lebih jauh yaitu menyelami makna tersurat maupun tersirat yang terkandung di dalamnya.
(bmm)