Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia yang Tak Bisa Dikuasai Komunis
loading...
A
A
A
"Jadi, boleh dikatakan, organ intelijen lah yang pertama mengembangkan secara riil beroperasi ke seluruh Indonesia," kata Lubis.
Masih di tahun yang sama, Lubis juga membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC) pada akhir 1945 yang berada di bawah BI. Lubis membentuk PMC karena telah terlibat dalam rencana Jepang untuk membangun kelompok-kelompok bawah tanah di sejumlah wilayah di Jawa sebagai kekuatan gerilya untuk melawan Sekutu jika mereka mendarat. Dia aktif di Cibarusa. Dia juga dilaporkan merekrut penjahat dari penjara Nusakambangan.
Lubis sering mengunjungi teman-temannya bekas tentara Jepang yang memihak Republik. Terutama Ichiki Tatsuo yang dia kenal ketika menjalani pendidikan Peta. Lubis meminta mereka membuat buku pedoman pengajaran strategi perang gerilya dalam bahasa Indonesia.
"Buku tentang taktik perang gerilya itu kami kerjakan di Sarangan. Kami menulis dua buku, satu tugas dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta, yang kedua tentang taktik khusus perang gerilya permintaan Zulkifi Lubis. Semua yang menulis bahasa Indonesia Ichiki Sensei. Bukunya langsung diserahkan kepada Zulkifli Lubis. Selanjutnya kami sama sekali tidak tahu," kata Rahmat Shigeru Ono, dalam memoarnya "Mereka yang Terlupakan".
Namun, Sepak terjang Lubis ternyata tak disukai oleh orang-orang komunis. "Dia tidak dipercaya oleh Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Jakarta dan ditangkap oleh mereka tetapi kemudian dibebaskan," tulis Robert Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries.
Dibentuk pada September 1945, API adalah sekumpulan pemuda-pemuda komunis di Menteng 31, yang dipimpin Wikana, Chairul Saleh, dan DN Aidit. Tak hanya oleh kalangan komunis, sejumlah perwira militer juga tak senang dengan gerakan Lubis dan PMC-nya yang dianggap tak terkendali.
AH Nasution, Komandan Divisi III Tentara Keamanan Rakyat (TKR) perubahan dari BKR di Priangan menyebut salah satu sumber kesulitan di Jawa Barat adalah persoalan PMC, yang secara vertikal melakukan kegiatan penyelidikan, persiapan perlawanan rakyat, dan lain-lain.
"Kepala stasiun kereta api di Padalarang ditembak mati oleh seorang anggota PMC, yang bermarkas di Yogya, langsung dibawahi Pak Dirman (Jenderal Soedirman). Maka terpaksalah instansi-instansi PMC ditindak. Semua badan penyelidik yang beroperasi langsung di bawah komando Markas Besar atau Kementerian Pertahanan di Yogya, berangsur-angsur kena penertiban oleh divisi saya," kata Nasution dalam "Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda".
Penasihat Agung Militer Pemerintah Republik Indonesia, dr Moestopo sekali waktu mengambil inisiatif enemui Presiden Soekarno untuk membicarakan masalah intelijen. Moestopo kemudian disusul Lubis, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Dalam pertemuan tersebut, Soekarno memberikan restu untuk membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) pada 7 Mei 1046, sebagai payung satuan-satuan intelijen yang bergerak di bawah para komandan lapangan di seluruh Jawa. Sebagai bagian dari Brani, dibentuk Field Preperation (FP) di daerah-daerah. Brani dan FP langsung berada di bawah Presiden Soekarno.
Masih di tahun yang sama, Lubis juga membentuk Penyelidik Militer Chusus (PMC) pada akhir 1945 yang berada di bawah BI. Lubis membentuk PMC karena telah terlibat dalam rencana Jepang untuk membangun kelompok-kelompok bawah tanah di sejumlah wilayah di Jawa sebagai kekuatan gerilya untuk melawan Sekutu jika mereka mendarat. Dia aktif di Cibarusa. Dia juga dilaporkan merekrut penjahat dari penjara Nusakambangan.
Lubis sering mengunjungi teman-temannya bekas tentara Jepang yang memihak Republik. Terutama Ichiki Tatsuo yang dia kenal ketika menjalani pendidikan Peta. Lubis meminta mereka membuat buku pedoman pengajaran strategi perang gerilya dalam bahasa Indonesia.
"Buku tentang taktik perang gerilya itu kami kerjakan di Sarangan. Kami menulis dua buku, satu tugas dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta, yang kedua tentang taktik khusus perang gerilya permintaan Zulkifi Lubis. Semua yang menulis bahasa Indonesia Ichiki Sensei. Bukunya langsung diserahkan kepada Zulkifli Lubis. Selanjutnya kami sama sekali tidak tahu," kata Rahmat Shigeru Ono, dalam memoarnya "Mereka yang Terlupakan".
Namun, Sepak terjang Lubis ternyata tak disukai oleh orang-orang komunis. "Dia tidak dipercaya oleh Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Jakarta dan ditangkap oleh mereka tetapi kemudian dibebaskan," tulis Robert Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries.
Dibentuk pada September 1945, API adalah sekumpulan pemuda-pemuda komunis di Menteng 31, yang dipimpin Wikana, Chairul Saleh, dan DN Aidit. Tak hanya oleh kalangan komunis, sejumlah perwira militer juga tak senang dengan gerakan Lubis dan PMC-nya yang dianggap tak terkendali.
AH Nasution, Komandan Divisi III Tentara Keamanan Rakyat (TKR) perubahan dari BKR di Priangan menyebut salah satu sumber kesulitan di Jawa Barat adalah persoalan PMC, yang secara vertikal melakukan kegiatan penyelidikan, persiapan perlawanan rakyat, dan lain-lain.
"Kepala stasiun kereta api di Padalarang ditembak mati oleh seorang anggota PMC, yang bermarkas di Yogya, langsung dibawahi Pak Dirman (Jenderal Soedirman). Maka terpaksalah instansi-instansi PMC ditindak. Semua badan penyelidik yang beroperasi langsung di bawah komando Markas Besar atau Kementerian Pertahanan di Yogya, berangsur-angsur kena penertiban oleh divisi saya," kata Nasution dalam "Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda".
Penasihat Agung Militer Pemerintah Republik Indonesia, dr Moestopo sekali waktu mengambil inisiatif enemui Presiden Soekarno untuk membicarakan masalah intelijen. Moestopo kemudian disusul Lubis, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Dalam pertemuan tersebut, Soekarno memberikan restu untuk membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) pada 7 Mei 1046, sebagai payung satuan-satuan intelijen yang bergerak di bawah para komandan lapangan di seluruh Jawa. Sebagai bagian dari Brani, dibentuk Field Preperation (FP) di daerah-daerah. Brani dan FP langsung berada di bawah Presiden Soekarno.