Wawancara Khusus Kepala BRIN Laksana Tri Handoko: Swasta Harus Terlibat dalam Penelitian
loading...
A
A
A
Perjalanan Badan Riset dan Inovasi Nasiona l (BRIN) baru saja dimulai. Sejak dibentuk April lalu oleh Presiden Joko Widodo , perlahan sejumlah lembaga riset pemerintah yang sebelumnya memiliki nama dan institusi sendiri, kini sudah melebur dan terintegrasi dalam satu wadah.
baca juga: KORAN SINDO Raih Penghargaan Media Massa Cetak Terbaik Pendukung Riset dan Inovasi 2021
Tugas yang diemban tentunya tidak mudah. Membangun ekosistem hingga mendorong banyak swasta berperan memajukan riset di Indonesia adalah target kerja yang penuh dengan tantangan.Ada dua problem fundamental di bidang riset di Indonesia. Pertama, dominasi pemerintah terlalu besar. 80% masih pemerintah dan 20% swasta. Kedua, dominasi besar pemerintah itu terpencar di mana-mana.
Butuh waktu, konsistensi, dan kolaborasi. BRIN tengah berupaya membuka akses dan menjadi jembatan agar semua pihak, institusi, perusahaan, masyarakat, hingga generasi muda juga aktif terlibat dalam membangun iklim riset di Tanah Air menjadi lebih maju. Berikut petikan wawancara khusus KORAN SINDO dengan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.
baca juga: Trijaya FM Raih Penghargaan Media Radio Terbaik dari BRIN
BRIN mengintegrasikan 5 entitas. 4 LPNK (LIPI, LAPAN, BATAN, BPPT) dan 1 Kemristek/ BRINtermasukmengkoordinirlembaga riset di seluruh Indonesia. Sebenarnya apa target besar dari transformasi ini?
Kami diamanatkan untuk mengintegrasikan semua unit riset pemerintah. Kita sudah mengintegrasi secara struktural lima entitas besar eksKemenristeksejak 1 September 2021 dengan total pegawai ada 11.500 orang. Saat ini kami sedangberprosesuntuk unit riset di kementerian/lembaga lain.
Pemimpin Redaksi KORAN SINDO Pung Purwanto (kanan) bersama sejumlah
pemimpin redaksi dari media lainnya menerima penghargaan dari BRIN
sebagai Media Massa Terbaik Pendukung Riset dan Inovasi 2021
dalam Webinar Akhir Tahun dan Penganugerahan Jurnalis dan Media BRIN 2021,
yang berlangsung secara hybrid, pada Rabu (15/12/2021). foto/hendri irawan
Kemarin, 16 Desember, kami sudah terima 2.436 ASN bersama dengan TKN. Mereka akan berpindah dengan cutoffmulai 1 Januari 2022. Sisanya sekitar 1.000an pegawai menyusul mulai 1 Februari 2022.Peralihan ini mencakup empat hal. Pertama, pengalihan program riset dan inovasi. Kedua, pengalihan SDM. Ketiga, pengalihan anggaran program, SDM, dan lainnya.Keempat,pengalihan aset. Adapun kelima entitas yang sudah bergabung, otomatis sudah beralih 1 September. Sisanya, hari inisampaiRabu depan sedang dibahas antar Sekjen untuk pengalihan aset.
baca juga: Megawati Ungkap Alasan Jokowi Pilih Dirinya Jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN
Target besarnya BRIN berangkat dari problem fundamental di bidang riset di Indonesia itu ada dua. Pertama, dominasi pemerintah terlalu besar. Padahal kalau praktiknya di global, pemerintah itu hanya 20% dan sisanya swasta 80%. Tetapi kalau di Indonesia itu terbalik, 80% masih pemerintah dan 20% swasta. Di Malaysia saja, pemerintah tinggal 25%, sedangkan 75% sudah swasta.Problem kedua adalah dominasi besar pemerintah itu terpencar di mana-mana sehinggacriticalmass dari sumber daya riset itu sangat rendah, seperti SDM, infrastruktur, dan anggaran yang rendah. Itu menyebabkan setiap unit tidak bisa berkompetisi.
Padahal riset itu harus kompetisi global. Makanya ini yang kita gabungkan sehingga sumber daya pemerintah itu untuk bisa memilikicriticalmassyang besar. Jadi kami di sini bukan mengkoordinasi. Kalau koordinasi saja, itu sama seperti dahulu.
Dengan adanya sumber daya riset yang besar ini, kita bisa memfasilitasi swasta untuk bisa segera masuk ke riset. Selama ini swasta susah masuk ke riset karena biayanya mahal (highcost) dan risikonya tinggi (highrisk).
baca juga: Mengenal Tugas dan Fungsi BRIN
Riset itu biasanya 80% gagal. Tidak mungkin swasta kita yang skala ekonominya banyak yang masih kecil itu langsung melakukanproductdevelopmentberbasis riset.Jadi, itulah yang akan kami lakukan. Pemerintah harus hadir. Kita akan membuka semua SDM dan infrastruktur yang sudah kita konsolidasi, untuk dipakai ramai-ramai oleh swasta. Jadi minimal dianggakperluinvestsehingga bisa sesegera mungkin bisa masuk ke aktivitasproductdevelopmentberbasis riset. Itu adalah kunci untuk meningkatkan nilai tambah, biarnggakcuma jualan mentah.
Karena risetnya mahal dan risiko tinggi, silakan pakai infrastruktur, periset kita untuk mengembangkan bersama-sama. Kita juga sudah siapkan model bisnisnya. Jadi kalau gagal,yanggakapa-apa. Tapi kalau berhasil, kita akan minta lisensi. Jadi negara juganggak terus rugi. Kita akan minta lisensi minimal 60%, royaltinya dikembalikan ke negara.
Apakah swasta ini sudah ada yang berminat?
Sudah mulai ya, tapi kurang banyak. Kita sudah mengonsolidasi semua sumber daya. Insya Allah, kami besok akan melansir semua skema pendanaan dan fasilitas yang terkait dengan riset. BRIN itu ada untuk memfasilitasi semua pihak di Indonesia supaya bisa masuk ke ranah riset dengan mudah. Semua skema fasilitasi dan pendanaan yang akan kita lansir, segera bisa dimanfaatkan. Itu terbuka untuk periset BRIN, akademisi di kampus, pelaku UMKM, usaha besar, dan lain-lainnya.
baca juga: Di Dubai, BRIN Pamerkan Satelit hingga Pesawat Tanpa Awak
Menurut pandangan Bapak, model pengembangan penelitian di Indonesia meniru seperti negara mana?
Kita tidak meniru negara lain. Karena problem kita itu spesifik. Makanya kita siapkan semuanya, nanti silakan pakai. Asalkan kalau berhasil, kita lisensi. Itu saja syaratnya,simpledan tidak ribet. Secara BtoB itu lebihclear. Sebaliknya, kita juga tidakngasihduit ke swasta sama sekali. Uang mengalir ke swasta tidak boleh. Yang kami berikan itu berupa infrastruktur dan perisetnya. Karena yang mahal ya dua itu. Kalau riset sih sebenarnya murah ya.
Adanya integrasi lembaga riset ini, apakah semua pegawainya pindah ke kantor BRIN?
Secara fisik, mereka menjadi ASN BRIN. Kalau kantornya, sebagian besar tetap. Asetnya pindah ke BRIN, cuma ganti instansi. Kalau pengelolaan manajemen, langsung jadi ‘satu komando’.
Seperti apa nantinya perubahan sebelum dan setelah adanya BRIN ini?
Kalau sebelumnya, swasta mau masuk ke riset kan harus berjuang sendiri. Kalau sebelumnyananyake LIPI ya bisa saja, tapi kemampuan LIPI untuk memfasilitasi kan rendah. Sebagai contoh, tidak banyak obat yang berasal dari bahan alam di Indonesia. Padahal banyak yang melakukan riset itu banyak, dunia kampus dan lainnya. Kandidatnya mungkin bisa ratusan, tetapi tidak pernah sampai jadi obat. Untuk jadi obat itu perlu proses pengujian, tidak cukup hanya di lab. Proses pengujian itu sangat berisiko karena umumnya kurang dari 10% yang berhasil bahwa obat itu punya khasiat.
baca juga: Catat! BRIN Gelar Pameran Kendaraan Listrik 24 November Mendatang
Pengujian inilah yang mahal dan berisiko makanya industringgaksanggup masuk karena skala ekonomi industri farmasi kita belum terlalu besar kalau dibandingkan global. Apalagi kalau lembaga riset dan kampus,nggakmungkin sanggup. Bahkan, LIPI pun pada saat itu mencoba paling sanggup sekitar tiga formula. Kalau tiga formula dan cuma 10% yang berhasil, artinya nol.
BRIN memberikan sebanyak 800 spesimen dari 82 jenis tumbuhan langka dan hampir
punah kepada masyarakat di Kabupaten Bogor
pada program BRIN Peduli Lingkungan. foto/Dok BRIN
Dengan adanya BRIN, paling depan bisa langsung menyediakan anggaran hingga 40 formula. Sehingga kalaukalau10%, 3-4 formula jadi. Lisensi balik, 60% setor ke negara. Jadi, negaranggakrugi-rugi amat. Itu tidak mungkin kita lakukan kalau tidak konsolidasi sumber daya yang sebetulnya sudah dimiliki. Dulukepencar-kepencarmakanyanggakjadi apa-apa semua.
Ketertarikan itu berapa lama hingga nantinya 80% dari swasta dan pemerintah 20%?
Bayangan saya, itu bisa terjadi dalam lima tahun kalau kita konsisten melakukan fasilitasi ini. Swasta pasti ramai langsung masuk. Karena mereka itu sangat mendambakanproductdevelopmentberbasis riset. Karena mereka juga kompetisi banget dan itu bisa dimenangkan kalau produknya ada diferensiasi. Itu hanya mungkin dengan riset. Diferensiasi tidak cukup hanya ganti warna, tapi harus ada sesuatu yang signifikan. Kalaunggak, konsumennggakmau beli.
baca juga: Jokowi Lantik Dewan Pengarah BRIN, PDIP: Riset dan Teknologi Harus Digerakkan Ideologi
Swasta mana saja yang sudah berminat?
Kalau itu banyak. Misalnya, fasilitas uji klinis. Semua perusahaan farmasi ikut, mau besar atau kecil. Karena perusahaan besar sajanggaksanggup menanggung risiko. Untuk 40 formula itu saja, perlu minimal Rp300 miliar dalam setahun.
Sektor mana yang berpotensi sangat besar untuk dimanfaatkan dari BRIN?
Sektor yang paling besar dan jadi target utama kami adalah barang konsumsi termasuk kesehatan. Misalnya, obat, imunomodulator, vaksin (hewan, manusia). Selain itu, sektor pangan, elektronik. Elektronik jaman sekarang juga sama, kita harus terus mengembangkan produknya meskipun komponen bisa impor dari mana-mana. Kalau sektor elektronik, biaya R&D-nyabiasanya jauh lebih rendah. Tapi kalau sektor kesehatan, ituhighriskdan mahal.
Bagaimana BRIN beradaptasi di era transformasi digital saat ini?
Digital sudah pasti. Tapi kan digital itu macam-macam, mulai darigame, animasi, aplikasi. Biayaproductdevelopmentdigital itu murah. Yang mahal itu membangun infrastrukturnya. Misalnya, kami membuka sebagian fasilitas komputasi yang tersisa untuk dipakai adik-adik untuk pengembangan animasi,gamedan sebagainya. Kalau bicaragame, kita menyediakanassetstore, di dalamnya itu ada karakter-karakter. Kita buat karakter, artefak dari lokal dan itu kita digitalkan.
baca juga: Rencana Wisata Malam Kebun Raya Bogor Dikritisi, Begini Jawaban BRIN dan Operator
Selain itu, kita juga sediakangameengine. Itu mahal dan harussubscribeke server, biasanya palingdeketitu ke Singapura. Nantinya kita akan sediakan di Indonesia dan kami yangbayarinsubscribeserver-nyasehingga developer lokal bisa membangun sesuatu,nggakkeluar duit. Kalaupun tidak berhasil (develop),nggakada problem. Tapi kalau berhasil, kita minta lisensi.Gituaja. Sehingga risiko kan tidak ada. Sebenarnya, itu yang paling penting, bagaimana kita mengurangi semaksimal mungkin risiko bisnis. Intinya kalau soal digital, sifatnya lebih ke fasilitasi. Kalau yang kesehatan, fokus ke pengujian.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menghadiri Serah Terima SK Pengalihan Pegawai
Tahap 2 yaitu pegawai Kementerian/Lembaga menjadi pegawai di lingkungan BRIN.
foto/dok BRIN
Selama ini pihak yang memanfaatkan riset masih sedikit. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, berapa target nanti jumlah riset setelah adanya BRIN?
Itu berangkat dari asumsi bahwa periset itu menghasilkan teknologi dan kemudian industri menjadi pemakai teknologinya. Padahal, praktik riil di semua negara tidak seperti itu. Riset itu sebenarnya proses yang tidak ada putusnya sampai komersialisasi. Makanya disebut sebagaiproductdevelopment. Itu sebenarnya terjadi sebagai kolaborasi.Jadi bukan saya bikin teknologi, kemudian ada yang beli teknologi dari industri, lalu dia produksi. Tidak begitu. Karena periset itu tidak paham pasar, tidak paham karakter konsumennya. Industringgakpaham betul teknologinya, tapi paham sekali pasar dan karakter konsumennya.
baca juga: Dilebur ke BRIN, Para Peneliti BPPT Diharapkan Tetap Semangat Berinovasi
Prosesproductdevelopmentitu sebenarnya proses kolaborasi, makanya disebutco-development. Basisnya itu lisensi. Mungkin di awal, periset yang mengembangkan. Misalnya, kandidat obat, cari senyawa, punya khasiat sesuatu. Nah, industri tidak hanya melihat aspek itu. Dia juga melihat aspek seberapa mahal proses produksinya. Inilah yang kita fasilitasi industri untuk bisa masuk ke sana. Mengapa kontribusi swasta 80% dan pemerintah 20%? Karena yang mahal itudi bagiantadi. Kalau risetaja, itu murah sebenarnya. Begitu industri masuk, itulah kontribusi industri ke riset. Itu jadi kolaborasi.Jadi bukan istilahnya BRIN menciptakan sekian teknologi, nanti industri akan membeli. Tidak ada sebenarnya begitu. Intinya kolaborasi. Fokus kita itu lebih pada yang jadi.
Bagi mereka yang mengajukan, apakah adakah batasan investasi?
Kalau yang mengajukan itu tidak ada batas investasi. Jadi untuk mengajukan itu hanyapelrubahwa sudah membelanjakan investasi. Misalnya, sebesar Rp1.000 untuk riset. Kalau kemudian diakui, nantinya bisa dapat pengurangan pajak maksimal senilai Rp3.000. Jadi tidak ada batasan. Siapa pun bisa, tidak untuk perusahaan besar saja, pengusaha kecil juga bisa dapat. Justru kalau produk inovatif itu biasanya perusahaan menengah.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Laksana Tri Handoko, meninjau fasilitas
Pusat Kajian dan Kebijakan Penerbangan dan Antariksa di Menteng, Jakarta Pusat,
Jumat (24/09/2021). foto/dok BRIN
Sudah banyak yang mengajukan dan itu lewat OSS. Kalau sampai hari ini yang masuk ke BRIN belum tahu, tapi sudah ada 30 lebih. Untuk insentif pengurangan pajak yang 300% itu kalau sudah sampai produksi dan sudah lisensi. Tapi kalau baru riset saja, hanya bisa dapat 100%. Kalau sudah sampai kekayaan intelektual seperti hak paten, bisa bertambah menjadi 150%. Jadi ada gradual, tingkatannya, tergantung dari progresnya. Itulah insentif fiskal. Sementara, kalau yang dilakukan BRIN itu insentif non fiskal.
baca juga: Peleburan Litbangjirap ke BRIN, Akademisi Anggap Kemunduran Iptek
Jadi, insentif fiskal itu bagus. Harus ada dan penting. Tetapi, sifat insentif fiskal itu orangnya harus melakukan dulu, harus berhasil sampai level tertentu, baru bisa dapat. Kalau yang dilakukan BRIN adalah bagaimana orang baru akan masuk saja, itu sudah dimudahkan. Itu hanya bisa dilakukan oleh institusi yang sifatnya eksekutor (executingagency). Itulah yang menjadi target BRIN. Jadi kita siapkan infrastruktur, periset dan semua gratis selama mau kolaborasi. Kalaunggakmau kolaborasi tidak apa-apa, tapi kitacharge.
Presiden Joko Widodo telah resmi melantik 10 orang Dewan Pengarah BRIN di Istana Negara pada 13 Oktober lalu. Mengapa dewan pengarah BRIN bukan berasal dari para peneliti dan periset dan sebaliknya mereka banyak diisi dari politikus dan teknokrat? Apakah ada tujuan khusus?
BRIN itu satu-satunya lembaga riset pemerintah. Tetapi untuk memperbaiki ekosistem dan mendorong semua pihak sadar, menghargai dan terlibat di aktivitas riset dan inovasi, tentunya perlu dukungan banyak pihak. Bukan dari periset, tapi yang diperlukan adalah dukungan dari luar sektor riset. Entah itu dari sisi politik, industri, pelaku usaha, akademisi, termasuk LSM, komunitas masyarakat, dan lainnya. Itulah cermin dari anggota dewan pengarah kami. Sehingga BRIN betul-betuldi-supportdari mana saja.
baca juga: KORAN SINDO Raih Penghargaan Media Massa Cetak Terbaik Pendukung Riset dan Inovasi 2021
Tugas yang diemban tentunya tidak mudah. Membangun ekosistem hingga mendorong banyak swasta berperan memajukan riset di Indonesia adalah target kerja yang penuh dengan tantangan.Ada dua problem fundamental di bidang riset di Indonesia. Pertama, dominasi pemerintah terlalu besar. 80% masih pemerintah dan 20% swasta. Kedua, dominasi besar pemerintah itu terpencar di mana-mana.
Butuh waktu, konsistensi, dan kolaborasi. BRIN tengah berupaya membuka akses dan menjadi jembatan agar semua pihak, institusi, perusahaan, masyarakat, hingga generasi muda juga aktif terlibat dalam membangun iklim riset di Tanah Air menjadi lebih maju. Berikut petikan wawancara khusus KORAN SINDO dengan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.
baca juga: Trijaya FM Raih Penghargaan Media Radio Terbaik dari BRIN
BRIN mengintegrasikan 5 entitas. 4 LPNK (LIPI, LAPAN, BATAN, BPPT) dan 1 Kemristek/ BRINtermasukmengkoordinirlembaga riset di seluruh Indonesia. Sebenarnya apa target besar dari transformasi ini?
Kami diamanatkan untuk mengintegrasikan semua unit riset pemerintah. Kita sudah mengintegrasi secara struktural lima entitas besar eksKemenristeksejak 1 September 2021 dengan total pegawai ada 11.500 orang. Saat ini kami sedangberprosesuntuk unit riset di kementerian/lembaga lain.
Pemimpin Redaksi KORAN SINDO Pung Purwanto (kanan) bersama sejumlah
pemimpin redaksi dari media lainnya menerima penghargaan dari BRIN
sebagai Media Massa Terbaik Pendukung Riset dan Inovasi 2021
dalam Webinar Akhir Tahun dan Penganugerahan Jurnalis dan Media BRIN 2021,
yang berlangsung secara hybrid, pada Rabu (15/12/2021). foto/hendri irawan
Kemarin, 16 Desember, kami sudah terima 2.436 ASN bersama dengan TKN. Mereka akan berpindah dengan cutoffmulai 1 Januari 2022. Sisanya sekitar 1.000an pegawai menyusul mulai 1 Februari 2022.Peralihan ini mencakup empat hal. Pertama, pengalihan program riset dan inovasi. Kedua, pengalihan SDM. Ketiga, pengalihan anggaran program, SDM, dan lainnya.Keempat,pengalihan aset. Adapun kelima entitas yang sudah bergabung, otomatis sudah beralih 1 September. Sisanya, hari inisampaiRabu depan sedang dibahas antar Sekjen untuk pengalihan aset.
baca juga: Megawati Ungkap Alasan Jokowi Pilih Dirinya Jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN
Target besarnya BRIN berangkat dari problem fundamental di bidang riset di Indonesia itu ada dua. Pertama, dominasi pemerintah terlalu besar. Padahal kalau praktiknya di global, pemerintah itu hanya 20% dan sisanya swasta 80%. Tetapi kalau di Indonesia itu terbalik, 80% masih pemerintah dan 20% swasta. Di Malaysia saja, pemerintah tinggal 25%, sedangkan 75% sudah swasta.Problem kedua adalah dominasi besar pemerintah itu terpencar di mana-mana sehinggacriticalmass dari sumber daya riset itu sangat rendah, seperti SDM, infrastruktur, dan anggaran yang rendah. Itu menyebabkan setiap unit tidak bisa berkompetisi.
Padahal riset itu harus kompetisi global. Makanya ini yang kita gabungkan sehingga sumber daya pemerintah itu untuk bisa memilikicriticalmassyang besar. Jadi kami di sini bukan mengkoordinasi. Kalau koordinasi saja, itu sama seperti dahulu.
Dengan adanya sumber daya riset yang besar ini, kita bisa memfasilitasi swasta untuk bisa segera masuk ke riset. Selama ini swasta susah masuk ke riset karena biayanya mahal (highcost) dan risikonya tinggi (highrisk).
baca juga: Mengenal Tugas dan Fungsi BRIN
Riset itu biasanya 80% gagal. Tidak mungkin swasta kita yang skala ekonominya banyak yang masih kecil itu langsung melakukanproductdevelopmentberbasis riset.Jadi, itulah yang akan kami lakukan. Pemerintah harus hadir. Kita akan membuka semua SDM dan infrastruktur yang sudah kita konsolidasi, untuk dipakai ramai-ramai oleh swasta. Jadi minimal dianggakperluinvestsehingga bisa sesegera mungkin bisa masuk ke aktivitasproductdevelopmentberbasis riset. Itu adalah kunci untuk meningkatkan nilai tambah, biarnggakcuma jualan mentah.
Karena risetnya mahal dan risiko tinggi, silakan pakai infrastruktur, periset kita untuk mengembangkan bersama-sama. Kita juga sudah siapkan model bisnisnya. Jadi kalau gagal,yanggakapa-apa. Tapi kalau berhasil, kita akan minta lisensi. Jadi negara juganggak terus rugi. Kita akan minta lisensi minimal 60%, royaltinya dikembalikan ke negara.
Apakah swasta ini sudah ada yang berminat?
Sudah mulai ya, tapi kurang banyak. Kita sudah mengonsolidasi semua sumber daya. Insya Allah, kami besok akan melansir semua skema pendanaan dan fasilitas yang terkait dengan riset. BRIN itu ada untuk memfasilitasi semua pihak di Indonesia supaya bisa masuk ke ranah riset dengan mudah. Semua skema fasilitasi dan pendanaan yang akan kita lansir, segera bisa dimanfaatkan. Itu terbuka untuk periset BRIN, akademisi di kampus, pelaku UMKM, usaha besar, dan lain-lainnya.
baca juga: Di Dubai, BRIN Pamerkan Satelit hingga Pesawat Tanpa Awak
Menurut pandangan Bapak, model pengembangan penelitian di Indonesia meniru seperti negara mana?
Kita tidak meniru negara lain. Karena problem kita itu spesifik. Makanya kita siapkan semuanya, nanti silakan pakai. Asalkan kalau berhasil, kita lisensi. Itu saja syaratnya,simpledan tidak ribet. Secara BtoB itu lebihclear. Sebaliknya, kita juga tidakngasihduit ke swasta sama sekali. Uang mengalir ke swasta tidak boleh. Yang kami berikan itu berupa infrastruktur dan perisetnya. Karena yang mahal ya dua itu. Kalau riset sih sebenarnya murah ya.
Adanya integrasi lembaga riset ini, apakah semua pegawainya pindah ke kantor BRIN?
Secara fisik, mereka menjadi ASN BRIN. Kalau kantornya, sebagian besar tetap. Asetnya pindah ke BRIN, cuma ganti instansi. Kalau pengelolaan manajemen, langsung jadi ‘satu komando’.
Seperti apa nantinya perubahan sebelum dan setelah adanya BRIN ini?
Kalau sebelumnya, swasta mau masuk ke riset kan harus berjuang sendiri. Kalau sebelumnyananyake LIPI ya bisa saja, tapi kemampuan LIPI untuk memfasilitasi kan rendah. Sebagai contoh, tidak banyak obat yang berasal dari bahan alam di Indonesia. Padahal banyak yang melakukan riset itu banyak, dunia kampus dan lainnya. Kandidatnya mungkin bisa ratusan, tetapi tidak pernah sampai jadi obat. Untuk jadi obat itu perlu proses pengujian, tidak cukup hanya di lab. Proses pengujian itu sangat berisiko karena umumnya kurang dari 10% yang berhasil bahwa obat itu punya khasiat.
baca juga: Catat! BRIN Gelar Pameran Kendaraan Listrik 24 November Mendatang
Pengujian inilah yang mahal dan berisiko makanya industringgaksanggup masuk karena skala ekonomi industri farmasi kita belum terlalu besar kalau dibandingkan global. Apalagi kalau lembaga riset dan kampus,nggakmungkin sanggup. Bahkan, LIPI pun pada saat itu mencoba paling sanggup sekitar tiga formula. Kalau tiga formula dan cuma 10% yang berhasil, artinya nol.
BRIN memberikan sebanyak 800 spesimen dari 82 jenis tumbuhan langka dan hampir
punah kepada masyarakat di Kabupaten Bogor
pada program BRIN Peduli Lingkungan. foto/Dok BRIN
Dengan adanya BRIN, paling depan bisa langsung menyediakan anggaran hingga 40 formula. Sehingga kalaukalau10%, 3-4 formula jadi. Lisensi balik, 60% setor ke negara. Jadi, negaranggakrugi-rugi amat. Itu tidak mungkin kita lakukan kalau tidak konsolidasi sumber daya yang sebetulnya sudah dimiliki. Dulukepencar-kepencarmakanyanggakjadi apa-apa semua.
Ketertarikan itu berapa lama hingga nantinya 80% dari swasta dan pemerintah 20%?
Bayangan saya, itu bisa terjadi dalam lima tahun kalau kita konsisten melakukan fasilitasi ini. Swasta pasti ramai langsung masuk. Karena mereka itu sangat mendambakanproductdevelopmentberbasis riset. Karena mereka juga kompetisi banget dan itu bisa dimenangkan kalau produknya ada diferensiasi. Itu hanya mungkin dengan riset. Diferensiasi tidak cukup hanya ganti warna, tapi harus ada sesuatu yang signifikan. Kalaunggak, konsumennggakmau beli.
baca juga: Jokowi Lantik Dewan Pengarah BRIN, PDIP: Riset dan Teknologi Harus Digerakkan Ideologi
Swasta mana saja yang sudah berminat?
Kalau itu banyak. Misalnya, fasilitas uji klinis. Semua perusahaan farmasi ikut, mau besar atau kecil. Karena perusahaan besar sajanggaksanggup menanggung risiko. Untuk 40 formula itu saja, perlu minimal Rp300 miliar dalam setahun.
Sektor mana yang berpotensi sangat besar untuk dimanfaatkan dari BRIN?
Sektor yang paling besar dan jadi target utama kami adalah barang konsumsi termasuk kesehatan. Misalnya, obat, imunomodulator, vaksin (hewan, manusia). Selain itu, sektor pangan, elektronik. Elektronik jaman sekarang juga sama, kita harus terus mengembangkan produknya meskipun komponen bisa impor dari mana-mana. Kalau sektor elektronik, biaya R&D-nyabiasanya jauh lebih rendah. Tapi kalau sektor kesehatan, ituhighriskdan mahal.
Bagaimana BRIN beradaptasi di era transformasi digital saat ini?
Digital sudah pasti. Tapi kan digital itu macam-macam, mulai darigame, animasi, aplikasi. Biayaproductdevelopmentdigital itu murah. Yang mahal itu membangun infrastrukturnya. Misalnya, kami membuka sebagian fasilitas komputasi yang tersisa untuk dipakai adik-adik untuk pengembangan animasi,gamedan sebagainya. Kalau bicaragame, kita menyediakanassetstore, di dalamnya itu ada karakter-karakter. Kita buat karakter, artefak dari lokal dan itu kita digitalkan.
baca juga: Rencana Wisata Malam Kebun Raya Bogor Dikritisi, Begini Jawaban BRIN dan Operator
Selain itu, kita juga sediakangameengine. Itu mahal dan harussubscribeke server, biasanya palingdeketitu ke Singapura. Nantinya kita akan sediakan di Indonesia dan kami yangbayarinsubscribeserver-nyasehingga developer lokal bisa membangun sesuatu,nggakkeluar duit. Kalaupun tidak berhasil (develop),nggakada problem. Tapi kalau berhasil, kita minta lisensi.Gituaja. Sehingga risiko kan tidak ada. Sebenarnya, itu yang paling penting, bagaimana kita mengurangi semaksimal mungkin risiko bisnis. Intinya kalau soal digital, sifatnya lebih ke fasilitasi. Kalau yang kesehatan, fokus ke pengujian.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menghadiri Serah Terima SK Pengalihan Pegawai
Tahap 2 yaitu pegawai Kementerian/Lembaga menjadi pegawai di lingkungan BRIN.
foto/dok BRIN
Selama ini pihak yang memanfaatkan riset masih sedikit. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, berapa target nanti jumlah riset setelah adanya BRIN?
Itu berangkat dari asumsi bahwa periset itu menghasilkan teknologi dan kemudian industri menjadi pemakai teknologinya. Padahal, praktik riil di semua negara tidak seperti itu. Riset itu sebenarnya proses yang tidak ada putusnya sampai komersialisasi. Makanya disebut sebagaiproductdevelopment. Itu sebenarnya terjadi sebagai kolaborasi.Jadi bukan saya bikin teknologi, kemudian ada yang beli teknologi dari industri, lalu dia produksi. Tidak begitu. Karena periset itu tidak paham pasar, tidak paham karakter konsumennya. Industringgakpaham betul teknologinya, tapi paham sekali pasar dan karakter konsumennya.
baca juga: Dilebur ke BRIN, Para Peneliti BPPT Diharapkan Tetap Semangat Berinovasi
Prosesproductdevelopmentitu sebenarnya proses kolaborasi, makanya disebutco-development. Basisnya itu lisensi. Mungkin di awal, periset yang mengembangkan. Misalnya, kandidat obat, cari senyawa, punya khasiat sesuatu. Nah, industri tidak hanya melihat aspek itu. Dia juga melihat aspek seberapa mahal proses produksinya. Inilah yang kita fasilitasi industri untuk bisa masuk ke sana. Mengapa kontribusi swasta 80% dan pemerintah 20%? Karena yang mahal itudi bagiantadi. Kalau risetaja, itu murah sebenarnya. Begitu industri masuk, itulah kontribusi industri ke riset. Itu jadi kolaborasi.Jadi bukan istilahnya BRIN menciptakan sekian teknologi, nanti industri akan membeli. Tidak ada sebenarnya begitu. Intinya kolaborasi. Fokus kita itu lebih pada yang jadi.
Bagi mereka yang mengajukan, apakah adakah batasan investasi?
Kalau yang mengajukan itu tidak ada batas investasi. Jadi untuk mengajukan itu hanyapelrubahwa sudah membelanjakan investasi. Misalnya, sebesar Rp1.000 untuk riset. Kalau kemudian diakui, nantinya bisa dapat pengurangan pajak maksimal senilai Rp3.000. Jadi tidak ada batasan. Siapa pun bisa, tidak untuk perusahaan besar saja, pengusaha kecil juga bisa dapat. Justru kalau produk inovatif itu biasanya perusahaan menengah.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Laksana Tri Handoko, meninjau fasilitas
Pusat Kajian dan Kebijakan Penerbangan dan Antariksa di Menteng, Jakarta Pusat,
Jumat (24/09/2021). foto/dok BRIN
Sudah banyak yang mengajukan dan itu lewat OSS. Kalau sampai hari ini yang masuk ke BRIN belum tahu, tapi sudah ada 30 lebih. Untuk insentif pengurangan pajak yang 300% itu kalau sudah sampai produksi dan sudah lisensi. Tapi kalau baru riset saja, hanya bisa dapat 100%. Kalau sudah sampai kekayaan intelektual seperti hak paten, bisa bertambah menjadi 150%. Jadi ada gradual, tingkatannya, tergantung dari progresnya. Itulah insentif fiskal. Sementara, kalau yang dilakukan BRIN itu insentif non fiskal.
baca juga: Peleburan Litbangjirap ke BRIN, Akademisi Anggap Kemunduran Iptek
Jadi, insentif fiskal itu bagus. Harus ada dan penting. Tetapi, sifat insentif fiskal itu orangnya harus melakukan dulu, harus berhasil sampai level tertentu, baru bisa dapat. Kalau yang dilakukan BRIN adalah bagaimana orang baru akan masuk saja, itu sudah dimudahkan. Itu hanya bisa dilakukan oleh institusi yang sifatnya eksekutor (executingagency). Itulah yang menjadi target BRIN. Jadi kita siapkan infrastruktur, periset dan semua gratis selama mau kolaborasi. Kalaunggakmau kolaborasi tidak apa-apa, tapi kitacharge.
Presiden Joko Widodo telah resmi melantik 10 orang Dewan Pengarah BRIN di Istana Negara pada 13 Oktober lalu. Mengapa dewan pengarah BRIN bukan berasal dari para peneliti dan periset dan sebaliknya mereka banyak diisi dari politikus dan teknokrat? Apakah ada tujuan khusus?
BRIN itu satu-satunya lembaga riset pemerintah. Tetapi untuk memperbaiki ekosistem dan mendorong semua pihak sadar, menghargai dan terlibat di aktivitas riset dan inovasi, tentunya perlu dukungan banyak pihak. Bukan dari periset, tapi yang diperlukan adalah dukungan dari luar sektor riset. Entah itu dari sisi politik, industri, pelaku usaha, akademisi, termasuk LSM, komunitas masyarakat, dan lainnya. Itulah cermin dari anggota dewan pengarah kami. Sehingga BRIN betul-betuldi-supportdari mana saja.
(hdr)