Kutip Pernyataan Ketua KPK, LaNyalla: Presidential Threshold Sumber Korupsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti memberikan orasi secara virtual pada Training Politik Nasional Pengurus Besar HMI MPO, Rabu (15/12/2021). Pada acara yang mengambil tema 'Dilema Otonomi Daerah: Antara Aspirasi Lokal dan Desentralisasi Praktik Korupsi', LaNyalla mengutip pernyataan Ketua KPK, Firli Bahuri.
"Ketua KPK Saudara Firli Bahuri mengatakan bahwa sudah seharusnya persyaratan ambang batas pencalonan presiden, atau presidential threshold dihapus. Karena menurutnya, hal itu adalah salah satu cara untuk mengentaskan korupsi atau sebagai upaya untuk menciptakan zero korupsi," papar LaNyalla dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (16/12/2021).
LaNyalla melanjutkan, Ketua KPK mengatakan, harus 0% bukan diturunkan menjadi 15%, 10%, 5% atau angka lainnya. Sebab, menurutnya, dengan presidential threshold 0%, maka tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi.
Baca juga: Ketua KPK Firli Bahuri Sebut Presidential Threshold Seharusnya 0%, Politikus PDIP: Offside
"Karena biaya politik tinggi itulah yang menyebabkan adanya politik transaksional. Itulah sekilas isi berita yang saya sampaikan di sini sebagai pengantar," kata LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu melanjutkan, Anda semua pasti tahu, bahwa pemberlakuan ambang batas tersebut tidak hanya berlaku di domain pencalonan presiden, tetapi juga di domain pencalonan kepala daerah.
Untuk mencalonkan diri sebagai gubernur atau bupati/wali kota, pasangan calon harus mendapat dukungan sekian kursi di DPRD provinsi atau kabupaten/kota. Sama saja dengan presidential threshold.
"Artinya apa? Artinya harus membayar 'uang mahar' kepada partai. Dan, ini sudah menjadi rahasia umum, meskipun dikatakan ada partai politik yang tidak menerima uang mahar," beber dia.
Baca juga: Golkar Tetap Tolak Presidential Threshold 0%, Sebut Berpotensi Timbulkan Kericuhan
Bisa dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon kepala daerah yang 'memborong' partai politik. Sehingga, ada beberapa kasus Pilkada yang melawan kotak kosong atau melawan partai politik minoritas. "Belum lagi biaya kampanye dan biaya saksi yang harus dikeluarkan," ujarnya.
LaNyalla menegaskan tidak akan mengulas praktik korupsi terlalu mendalam. Sebab, sudah sangat banyak pakar dan akademisi, sekaligus aktivis dan pegiat anti-korupsi yang telah melakukan kajian dan penelitian tentang praktik korupsi di daerah.
"Saya ingin mengulas praktik korupsi yang lebih tersamar akibat pemberian ambang batas pencalonan, baik pencalonan presiden maupun pencalonan kepala daerah. Apa itu? Yaitu praktik korupsi kebijakan," papar LaNyalla.
LaNyalla meminta kepada seluruh peserta training PB HMI-MPO untuk mengingat kembali tujuan kita berbangsa, tujuan lahirnya bangsa ini, sekaligus mengingat kembali cita-cita para pendiri bangsa ini. Terbentuknya negara ini, kata LaNyalla, tentu memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Di mana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya.
Menurut LaNyalla, untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara membentuk pemerintahan dan aparatur. Termasuk lembaga negara dalam fungsi legislatif, yudikatif dan auditif. Ketika dalam pelaksanaan tugasnya, LaNyalla menilai lembaga dan aparatur tersebut berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok, bukan untuk tujuan negara, itu adalah korupsi.
"Jadi, ketika lahir sebuah undang-undang yang menguntungkan segelintir orang atau kelompok dan menyengsarakan rakyat kebanyakan, maka sejatinya Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang yang koruptif!" paparnya.
LaNyalla melanjutkan, perilaku tersebut, apakah kebijakan itu berupa undang-undang atau peraturan daerah atau kebijakan lainnya, apakah itu Keputusan Presiden, Gubernur atau Bupati dan Wali Kota, atau bahkan Peraturan Menteri atau Kepala Dinas, yang ternyata bukan untuk tujuan negara, bukan saja patut kita sebut sebagai praktik korupsi, tetapi juga pelanggaran terhadap konstitusi.
Dikatakannya, oleh karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti termaktub di dalam Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (1), maka sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan. Sehingga, katanya, kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama.
"Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama, yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar konstitusi," ujarnya.
Lalu, katanya, bagaimana dengan kebijakan Presidential Threshold atau penerapan ambang batas pada pencalonan kepala daerah? Apakah produk Undang-Undang tersebut juga melanggar konstitusi?
"Jawabnya adalah tidak, karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden. Apalagi terhadap kepala daerah, sama sekali tidak ada di dalam konstitusi," tandasnya.
Lalu, tambah LaNyalla, apakah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah sesuai dengan keinginan masyarakat, terutama menyangkut Presidential Threshold? "Jelas Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa, karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin, tetapi kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya," katanya.
Lantas apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah?
"Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah," ujarnya.
"Apalagi Ambang batas pencalonan itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja yang berhadap-hadapan," imbuhnya.
Lihat Juga: TNI Bentuk Satgas Tindak Prajurit Terlibat Judi Online, Narkoba, Penyelundupan, dan Korupsi
"Ketua KPK Saudara Firli Bahuri mengatakan bahwa sudah seharusnya persyaratan ambang batas pencalonan presiden, atau presidential threshold dihapus. Karena menurutnya, hal itu adalah salah satu cara untuk mengentaskan korupsi atau sebagai upaya untuk menciptakan zero korupsi," papar LaNyalla dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (16/12/2021).
LaNyalla melanjutkan, Ketua KPK mengatakan, harus 0% bukan diturunkan menjadi 15%, 10%, 5% atau angka lainnya. Sebab, menurutnya, dengan presidential threshold 0%, maka tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi.
Baca juga: Ketua KPK Firli Bahuri Sebut Presidential Threshold Seharusnya 0%, Politikus PDIP: Offside
"Karena biaya politik tinggi itulah yang menyebabkan adanya politik transaksional. Itulah sekilas isi berita yang saya sampaikan di sini sebagai pengantar," kata LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu melanjutkan, Anda semua pasti tahu, bahwa pemberlakuan ambang batas tersebut tidak hanya berlaku di domain pencalonan presiden, tetapi juga di domain pencalonan kepala daerah.
Untuk mencalonkan diri sebagai gubernur atau bupati/wali kota, pasangan calon harus mendapat dukungan sekian kursi di DPRD provinsi atau kabupaten/kota. Sama saja dengan presidential threshold.
"Artinya apa? Artinya harus membayar 'uang mahar' kepada partai. Dan, ini sudah menjadi rahasia umum, meskipun dikatakan ada partai politik yang tidak menerima uang mahar," beber dia.
Baca juga: Golkar Tetap Tolak Presidential Threshold 0%, Sebut Berpotensi Timbulkan Kericuhan
Bisa dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon kepala daerah yang 'memborong' partai politik. Sehingga, ada beberapa kasus Pilkada yang melawan kotak kosong atau melawan partai politik minoritas. "Belum lagi biaya kampanye dan biaya saksi yang harus dikeluarkan," ujarnya.
LaNyalla menegaskan tidak akan mengulas praktik korupsi terlalu mendalam. Sebab, sudah sangat banyak pakar dan akademisi, sekaligus aktivis dan pegiat anti-korupsi yang telah melakukan kajian dan penelitian tentang praktik korupsi di daerah.
"Saya ingin mengulas praktik korupsi yang lebih tersamar akibat pemberian ambang batas pencalonan, baik pencalonan presiden maupun pencalonan kepala daerah. Apa itu? Yaitu praktik korupsi kebijakan," papar LaNyalla.
LaNyalla meminta kepada seluruh peserta training PB HMI-MPO untuk mengingat kembali tujuan kita berbangsa, tujuan lahirnya bangsa ini, sekaligus mengingat kembali cita-cita para pendiri bangsa ini. Terbentuknya negara ini, kata LaNyalla, tentu memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Di mana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya.
Menurut LaNyalla, untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara membentuk pemerintahan dan aparatur. Termasuk lembaga negara dalam fungsi legislatif, yudikatif dan auditif. Ketika dalam pelaksanaan tugasnya, LaNyalla menilai lembaga dan aparatur tersebut berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok, bukan untuk tujuan negara, itu adalah korupsi.
"Jadi, ketika lahir sebuah undang-undang yang menguntungkan segelintir orang atau kelompok dan menyengsarakan rakyat kebanyakan, maka sejatinya Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang yang koruptif!" paparnya.
LaNyalla melanjutkan, perilaku tersebut, apakah kebijakan itu berupa undang-undang atau peraturan daerah atau kebijakan lainnya, apakah itu Keputusan Presiden, Gubernur atau Bupati dan Wali Kota, atau bahkan Peraturan Menteri atau Kepala Dinas, yang ternyata bukan untuk tujuan negara, bukan saja patut kita sebut sebagai praktik korupsi, tetapi juga pelanggaran terhadap konstitusi.
Dikatakannya, oleh karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti termaktub di dalam Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (1), maka sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan. Sehingga, katanya, kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama.
"Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama, yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar konstitusi," ujarnya.
Lalu, katanya, bagaimana dengan kebijakan Presidential Threshold atau penerapan ambang batas pada pencalonan kepala daerah? Apakah produk Undang-Undang tersebut juga melanggar konstitusi?
"Jawabnya adalah tidak, karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden. Apalagi terhadap kepala daerah, sama sekali tidak ada di dalam konstitusi," tandasnya.
Lalu, tambah LaNyalla, apakah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah sesuai dengan keinginan masyarakat, terutama menyangkut Presidential Threshold? "Jelas Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa, karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin, tetapi kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya," katanya.
Lantas apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah?
"Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah," ujarnya.
"Apalagi Ambang batas pencalonan itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja yang berhadap-hadapan," imbuhnya.
Lihat Juga: TNI Bentuk Satgas Tindak Prajurit Terlibat Judi Online, Narkoba, Penyelundupan, dan Korupsi
(abd)