LaNyalla ke BEM Nusantara: Kerusakan Negeri Kita Benahi atau Tidak?

Selasa, 14 Desember 2021 - 14:19 WIB
loading...
A A A
"Demokrasi Pancasila sama sekali berbeda dengan demokrasi liberal di Barat dan Komunisme di Timur. Demokrasi Pancasila mensyaratkan adanya permusyawaratan perwakilan adalah jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai mahluk yang berpikir dengan keadilan," ujarnya.

Oleh karena itu, ciri utama dari demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini.

Menurut LaNyalla, itulah mengapa pada konstitusi kita yang asli, sebelum dilakukan amendemen pada tahun 2002, MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara. "Karena MPR adalah perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini, baik itu elemen partai politik, elemen daerah-daerah dan elemen golongan-golongan," papar dia.

Dia mengatakan, Utusan Daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Karena memang harus ada wakil-wakil dari daerah, meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural.

Harus pula ada wakil dari golongan-golongan, seperti etnis tertentu sebagai unsur kebinekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, para raja dan sultan Nusantara, ulama dan rohaniawan, cendekiawan, guru, seniman dan budayawan, mahaputra bangsa, penyandang cacat dan seterusnya.

"Itulah prinsip Syuro dalam sistem tata negara kita yang asli atau dapat kita sebut sebagai DNA asli bangsa Indonesia. Dan prinsip Syuro ini diadopsi dari sistem Islam. Apakah naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kelemahan sehingga perlu disempurnakan? Jawabnya ya, pasti," ujar LaNyalla.

Karena itu, LaNyalla menjabarkan bahwa para pendiri bangsa saat itu telah memberi ruang untuk dilakukan penyempurnaan melalui Pasal 37 UUD 1945. "Tentu penyempurnaan terhadap Konstitusi sebuah negara, secara norma hukum, harus dilakukan dengan adendum, tanpa mengubah pilihan sistem tata negara tersebut. Oleh karena itu, Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak boleh diubah," urai LaNyalla.

Sehingga, adendum terhadap pasal dan ayat di dalam batang tubuh harus tetap derifatif atau mengacu kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut. Tetapi, amendemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002, mengubah total sistem tata negara Indonesia.

"MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus digantikan Dewan Perwakilan Daerah. Lalu Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan oleh partai politik dan dipilih langsung oleh rakyat," ujarnya.

Sehingga, mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik yitu kepada parlemen dan kepada presiden. Masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu lima tahunan. "Amendemen tersebut jelas telah melanggar pinsip adendum, karena dilakukan secara besar-besaran dalam kurun waktu dari tahun 1999 hingga 2002. Padahal adendum jelas artinya, yaitu; tidak boleh mengurangi atau mengubah 'basic structure'" katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1985 seconds (0.1#10.140)