LaNyalla ke BEM Nusantara: Kerusakan Negeri Kita Benahi atau Tidak?

Selasa, 14 Desember 2021 - 14:19 WIB
loading...
A A A
Akibatnya, LaNyalla menegaskan, terjadi kecelakaan konstitusi. Dan, dapat kita lihat pada keberadaan DPD RI, lembaga ini didalilkan sebagai perubahan dan penyempurnaan wujud dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan, nyatanya justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang kedaulatan rakyat. "Padahal, anggota DPD RI dipilih melalui pemilihan langsung, sama-sama berkeringat dengan partai politik," terangnya.

Sejak amendemen saat itu, LaNyalla menilai wajah dan arah bangsa ini hanya ditentukan oleh partai politik, karena partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. "Dan, hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan undang-undang yang mengikat seluruh warga negara," ujarnya.

Sementara, DPD RI sebagai wakil daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan, tidak bisa ikut menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini.

"Padahal, sumbangsih entitas civil society non-partisan terhadap lahirnya bangsa dan negara ini tidaklah kecil. Tetapi mereka terpinggirkan dan semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik, tanpa second opinion dan tanpa reserve," beber LaNyalla.

Menurut LaNyalla, kecekalaan hukum dan konstitusi inilah yang harus diperbaiki. Padahal, bangsa ini adalah bangsa yang besar, yang sudah seharusnya memiliki kesadaran yang besar atas sejarah kelahirannya, sehingga menjadi peta jalan dalam menatap masa depan.

"Sekali lagi, penguatan peran dan fungsi DPD RI bukanlah sesuatu yang mengada-ada, tetapi sebuah amanat sejarah dan amanat bangsa bahwa bangsa ini sudah seharusnya dan mutlak memiliki ruang-ruang non-partisan yang berhak untuk ikut serta menentukan arah wajah dan perjalanan bangsa ini ke depan," paparnya.

Apalagi, jika berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 yang lalu, hasilnya ditemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai.

"Seharusnya DPD RI bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. Tetapi justru sebaliknya, partai politik bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold," papar LaNyalla.

Dengan begitu, LaNyalla menilai lengkap sudah dominasi dan hegemoni partai politik untuk memasung vox populi dengan cara memaksa suara rakyat terhadap pilihan terbatas calon pemimpin bangsa yang mereka tentukan.

"Akibatnya, terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat yang masih kita rasakan hingga hari ini, karena dari dua kali pilpres mereka hanya menyajikan dua pasang calon yang berhadap-hadapan," terang LaNyalla.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2535 seconds (0.1#10.140)