Malfungsi Rokok dan Mimpi Merawat Generasi
loading...
A
A
A
Mencermati fenomena di atas, paling tidak ada tiga hal yang harus segera dilakukan agar anak-anak tak terpapar penyalahgunaan konsumsi rokok. Pertama, konsistensi pelaksanaan regulasi dan kaidah distribusi.
Sebagai contoh, konsumsi rokok sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Aturan itu mewajibkan rokok hanya diperuntukkan bagi penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Oleh karenanya, penjual dan pembeli rokok perlu mendapat edukasi terus menerus terhadap hal ini, sekaligus tegas memberi sanksi bagi yang melanggar. Pemerintah pusat maupun daerah juga telah menetapkan berbagai aturan penguat lainnya. Tinggal dilaksanakan secara tepat, sehingga ketersediaan produk untuk diakses anak-anak dapat terkendali.
Kedua, pengaturan harga rokok. Kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran setiap tahun bukanlah satu-satunya instrumen yang tepat untuk mengendalikan penyalahgunaan konsumsi rokok. Kebijakan ini tidak akan efektif manakala di saat yang sama pemerintah membolehkan pedagang menjual di bawah harga pita cukai yang membuat rokok tetap bisa dijual murah. Pemerintah seyogyanya perlu mengatur dan menegakkan aturan harga rokok minimal dijual sehargayang diatur pemerintah di pita cukai sehingga tidak terjangkau anak-anak.
Ketiga, edukasi manfaat dan bahaya produk tembakau. Bagian ini tidak kalah penting dari sekadar penertiban aturan konsumsi, distribusi, dan harga. Anak-anak harus tahu apa sesungguhnya manfaat dan bahaya produk tembakau, khususnya rokok. Dengan demikian, ia akan mampu mengukur risiko yang timbul.
Mencegah paparan produk rokok terhadap anak di Indonesia tidak bisa hanya berhenti pada polemik kontribusi produk tembakau sebagai pendapatan negara. Walaupun tak bisa dipungkiri rokok berkontribusi besar terhadap negara dalam hal ekonomi dan tenaga kerja, namun Pemerintah seharusnya tidak mengedepankan sisi penerimaan saja tapi juga mendorong fungsi pengawasan konsumsi rokok sebagai salah satu barang kena cukai, khususnya penyalahgunaan konsumsi rokok pada anak.
Kita perlu sepakat bahwa menghapus tembakau di Indonesia akan menjadi sebuah kehilangan ekonomi dan tradisi. Tapi, kita juga perlu sepaham bahwa semua itu tak boleh menggerus bonus demografi yang akan disumbang generasi saat ini. Oleh karenanya, konsistensi regulasi, pengaturan harga, dan edukasi adalah kunci untuk mengatasi penyalahgunaan konsumsi. Di sanalah letak jalan tengah dan upaya kita merawat ekonomi, tradisi, dan generasi.
Sebagai contoh, konsumsi rokok sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Aturan itu mewajibkan rokok hanya diperuntukkan bagi penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Oleh karenanya, penjual dan pembeli rokok perlu mendapat edukasi terus menerus terhadap hal ini, sekaligus tegas memberi sanksi bagi yang melanggar. Pemerintah pusat maupun daerah juga telah menetapkan berbagai aturan penguat lainnya. Tinggal dilaksanakan secara tepat, sehingga ketersediaan produk untuk diakses anak-anak dapat terkendali.
Kedua, pengaturan harga rokok. Kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran setiap tahun bukanlah satu-satunya instrumen yang tepat untuk mengendalikan penyalahgunaan konsumsi rokok. Kebijakan ini tidak akan efektif manakala di saat yang sama pemerintah membolehkan pedagang menjual di bawah harga pita cukai yang membuat rokok tetap bisa dijual murah. Pemerintah seyogyanya perlu mengatur dan menegakkan aturan harga rokok minimal dijual sehargayang diatur pemerintah di pita cukai sehingga tidak terjangkau anak-anak.
Ketiga, edukasi manfaat dan bahaya produk tembakau. Bagian ini tidak kalah penting dari sekadar penertiban aturan konsumsi, distribusi, dan harga. Anak-anak harus tahu apa sesungguhnya manfaat dan bahaya produk tembakau, khususnya rokok. Dengan demikian, ia akan mampu mengukur risiko yang timbul.
Mencegah paparan produk rokok terhadap anak di Indonesia tidak bisa hanya berhenti pada polemik kontribusi produk tembakau sebagai pendapatan negara. Walaupun tak bisa dipungkiri rokok berkontribusi besar terhadap negara dalam hal ekonomi dan tenaga kerja, namun Pemerintah seharusnya tidak mengedepankan sisi penerimaan saja tapi juga mendorong fungsi pengawasan konsumsi rokok sebagai salah satu barang kena cukai, khususnya penyalahgunaan konsumsi rokok pada anak.
Kita perlu sepakat bahwa menghapus tembakau di Indonesia akan menjadi sebuah kehilangan ekonomi dan tradisi. Tapi, kita juga perlu sepaham bahwa semua itu tak boleh menggerus bonus demografi yang akan disumbang generasi saat ini. Oleh karenanya, konsistensi regulasi, pengaturan harga, dan edukasi adalah kunci untuk mengatasi penyalahgunaan konsumsi. Di sanalah letak jalan tengah dan upaya kita merawat ekonomi, tradisi, dan generasi.
(dam)