KLHK: KTT Perubahan Iklim Hasilkan The Glasgow Climate Pact
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow, Inggris mulai 31 Oktober hingga 13 November telah selesai. Sidang Pleno penutupan COP26/CMA.3/CMP.16 dilaksanakan Sabtu, 13 November 2021.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi mengatakan hal itu dalam pernyataan tertulis dari Glasgow, Minggu (14/11/2021).
Laksmi Dhewanthi mengatakan, sebagaimana disampaikan oleh banyak delegasi bahwa tidak keseluruhan proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka dan inklusif, selain itu, semua pihak tidak bisa mendapatkan semua apa yang mereka inginkan.
"Namun demikian, hasil COP 26 Glasgow telah meningkatkan kepercayaan dan modalitas untuk implementasi yang lebih nyata dari berbagai elemen Paris Agreement," kata Laksmi.
Catatan substansi yang cukup krusial dan menjadi diskusi cukup hangat ungkap Dirjen Laksmi, adalah terkait penyelesaian artikel 6, agenda to keep 1.5 degree temperature alive (terutama penghapusan/pengurangan penggunaan batubara dan subsidi bahan bakar fosil).
"Serta upaya untuk menghasilkan naskah keputusan yang berimbang (balanced text) antara kewajiban untuk meningkatkan ambisi dan target (mitigasi) oleh negara pihak dengan kewajiban untuk pemenuhan komitmen pendanaan oleh negara maju kepada negara berkembang," ungkapnya.
"Pada Pleno Penutupan COP26, Indonesia menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah dan rakyat UK, khususnya penerimaan dan keramahan penduduk Glasgow-Skotlandia. Indonesia juga mengapresiasi kerja luar biasa dari Sekretaris Eksekutif dan Sekretariat UNFCCC, semua Ketua dan Wakil Ketua, semua Co-Fasilitator, negara-negara pihak dan para pengamat," tambahnya.
Dikemukakan Laksmi, mengadopsi keputusan penting pada penutupan, adalah tujuan utama negara-negara pihak di Glasgow. Indonesia berpandangan, meski hasil keluaran COP26 Glasgow tidak sesempurna yang diharapkan.
Namun yang penting adalah semua negara pihak mempunyai kita kewajiban untuk mewujudkannya menjadi implementasi dan tindakan nyata dari Persetujuan Paris. Jika tidak, maka komitmen yang dibuat di Paris tidak akan tercapai.
"Indonesia mengajak semua pihak berjanji untuk bersama-sama melakukan tindakan berdasarkan prinsip-prinsip Konvensi serta Perjanjian Paris. Indonesia siap untuk melangkah maju melalui proses selanjutnya di bawah UNFCCC," ujarnya.
"Seperti yang dinyatakan Presiden Republik Indonesia, Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global…Solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global adalah kuncinya. Bersama-sama, kita bisa mewujudkannya," tambahnya.
Setelah melalui negosiasi yang intens hingga menjelang akhir COP26, Laksmi mengungkapkan, akhirnya menghasilkan The Glasgow Pact. Disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara, bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca.
"Kesepakatan itu juga mendesak pengurangan emisi yang lebih mendesak dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang, untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim," ujarnya.
DIkatakan Laksmi, tapi banyak negara yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius. Pada akhirnya negara-negara pihak sepakat untuk "menghentikan secara bertahap" daripada "menghapus" batubara.
"Meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya, namun kesepakatan tersebut setidaknya merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda," tutupnya.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi mengatakan hal itu dalam pernyataan tertulis dari Glasgow, Minggu (14/11/2021).
Laksmi Dhewanthi mengatakan, sebagaimana disampaikan oleh banyak delegasi bahwa tidak keseluruhan proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka dan inklusif, selain itu, semua pihak tidak bisa mendapatkan semua apa yang mereka inginkan.
"Namun demikian, hasil COP 26 Glasgow telah meningkatkan kepercayaan dan modalitas untuk implementasi yang lebih nyata dari berbagai elemen Paris Agreement," kata Laksmi.
Catatan substansi yang cukup krusial dan menjadi diskusi cukup hangat ungkap Dirjen Laksmi, adalah terkait penyelesaian artikel 6, agenda to keep 1.5 degree temperature alive (terutama penghapusan/pengurangan penggunaan batubara dan subsidi bahan bakar fosil).
"Serta upaya untuk menghasilkan naskah keputusan yang berimbang (balanced text) antara kewajiban untuk meningkatkan ambisi dan target (mitigasi) oleh negara pihak dengan kewajiban untuk pemenuhan komitmen pendanaan oleh negara maju kepada negara berkembang," ungkapnya.
"Pada Pleno Penutupan COP26, Indonesia menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah dan rakyat UK, khususnya penerimaan dan keramahan penduduk Glasgow-Skotlandia. Indonesia juga mengapresiasi kerja luar biasa dari Sekretaris Eksekutif dan Sekretariat UNFCCC, semua Ketua dan Wakil Ketua, semua Co-Fasilitator, negara-negara pihak dan para pengamat," tambahnya.
Dikemukakan Laksmi, mengadopsi keputusan penting pada penutupan, adalah tujuan utama negara-negara pihak di Glasgow. Indonesia berpandangan, meski hasil keluaran COP26 Glasgow tidak sesempurna yang diharapkan.
Namun yang penting adalah semua negara pihak mempunyai kita kewajiban untuk mewujudkannya menjadi implementasi dan tindakan nyata dari Persetujuan Paris. Jika tidak, maka komitmen yang dibuat di Paris tidak akan tercapai.
"Indonesia mengajak semua pihak berjanji untuk bersama-sama melakukan tindakan berdasarkan prinsip-prinsip Konvensi serta Perjanjian Paris. Indonesia siap untuk melangkah maju melalui proses selanjutnya di bawah UNFCCC," ujarnya.
"Seperti yang dinyatakan Presiden Republik Indonesia, Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global…Solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global adalah kuncinya. Bersama-sama, kita bisa mewujudkannya," tambahnya.
Setelah melalui negosiasi yang intens hingga menjelang akhir COP26, Laksmi mengungkapkan, akhirnya menghasilkan The Glasgow Pact. Disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara, bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca.
"Kesepakatan itu juga mendesak pengurangan emisi yang lebih mendesak dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang, untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim," ujarnya.
DIkatakan Laksmi, tapi banyak negara yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius. Pada akhirnya negara-negara pihak sepakat untuk "menghentikan secara bertahap" daripada "menghapus" batubara.
"Meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya, namun kesepakatan tersebut setidaknya merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda," tutupnya.
(maf)