Fantasi Pembunuh dan Pembangun Karakter Bangsa
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Esais, Buruh Perbukuan di PT Penerbit Intan Pariwara
Masihkah Anda terngiang selebrasi supremasi Piala Thomas Cup nyaris dua dasa warsa baru bisa dibawa kembali ke Tanah Air? Anak bungsuku balik menimpalinya menohok, “Bertanding susah payah begitu kok dicibir to, Pa?”
baca juga: Pelajar Terlibat Demo Anarkistis, Pendidikan Karakter Dinilai Gagal
Aku terpaku. Kuarahkan respons pertanyaan itu ke peranti Mbah Google dan YouTube. Begitu lincah bungsuku berselancar. Aku enggan mencekoki nalar anak dengan doktrin sepihak, yaitu SARA. Biarlah bungsuku berdaulat dengan literasi digital. Betapa tidak! Ini gimik karakter yang lebih edukatif untuk eranya ketimbang gaya orasi intelek yang kupaparkan. Beda generasi, beda era, beda pola pikir, beda peranti, dan ujung-ujungnya beda karakter.
Alih-alih, masih terngiang pejabat negara yang kapasitasnya diorbitkan menjadi duta rakyat, tetiba riuh indekos di bui. Nah! Kini giliran istriku berseloroh, “Suka cita, untung malang, sehat sakit memanglah pasangan setia. Jangan coba-coba diceraikan. Begitu juga dengan pasangan si pejabat itu, ada saat menanam, ada saat menuai. Panenlah sejoli di bui!”
Aku pun mendehem. “Seronok kali itu duta rakyat, tapi rakyat yang mana,” lanjutku membatin sembari menata esai ini. Lagi-lagi ujungnya gimik fulus, cuan besar, dan tersandung karakter. Lha kalau aparat penegak negara merampas kelamin liyan atau bergumul dengan PSK? Ini kelainan, bukan karakter.
baca juga: Menjawab Potensi Konflik dengan Pendidikan Berbasis Hati
Hakikinya kasus-kasus ini menodai edukasi murni, dunia pendidikan yang sejati. Masihkah terngiang inti pendidikan adalah belajar moral dan intelektual? Kiwari moralitas jelas dibuang dan disingkirkan. Cuma sasar tembak intelektual yang selalu diburu. Ujung-ujungnya, sungguh tersesat, pemeringkatan menjadi laku utama.
Apalagi kiprah pendidikan terkini sedang menderita degradasi mental atau krisis karakter bagi para pelajar. Kasus ini menjadi stigma atau cacat-pikir dan kontraproduktif terhadap penumbuhan karakter yang berawal dari sekolah. Penggalakannya perlu mendapatkan aksi nyata yang serius. Bukan hanya diwacanakan atau selalu dinarasikan tataran Peraturan Menteri. Begitu gawatkah?
Sampai hari ini wajah bangsa dicap karut-marut. Kusut, kacau, rusuh, banyak bohong dan dusta. Opini dan wacana terlaris untuk konteks karut-marut ini adalah mengelap-lap karakter. Karakter bangsa diunggah. Karakter digosok lagi agar wingko katon kencono, bukan kencono katon wingko. Mengutip petuah Ir Soekarno, elan vital ’roh’ berbangsa harus ’dibangun-bangunkan, dibangkit-bangkitkan, dan dihidup-hidupkan’ kembali. Betapa tidak?
Esais, Buruh Perbukuan di PT Penerbit Intan Pariwara
Masihkah Anda terngiang selebrasi supremasi Piala Thomas Cup nyaris dua dasa warsa baru bisa dibawa kembali ke Tanah Air? Anak bungsuku balik menimpalinya menohok, “Bertanding susah payah begitu kok dicibir to, Pa?”
baca juga: Pelajar Terlibat Demo Anarkistis, Pendidikan Karakter Dinilai Gagal
Aku terpaku. Kuarahkan respons pertanyaan itu ke peranti Mbah Google dan YouTube. Begitu lincah bungsuku berselancar. Aku enggan mencekoki nalar anak dengan doktrin sepihak, yaitu SARA. Biarlah bungsuku berdaulat dengan literasi digital. Betapa tidak! Ini gimik karakter yang lebih edukatif untuk eranya ketimbang gaya orasi intelek yang kupaparkan. Beda generasi, beda era, beda pola pikir, beda peranti, dan ujung-ujungnya beda karakter.
Alih-alih, masih terngiang pejabat negara yang kapasitasnya diorbitkan menjadi duta rakyat, tetiba riuh indekos di bui. Nah! Kini giliran istriku berseloroh, “Suka cita, untung malang, sehat sakit memanglah pasangan setia. Jangan coba-coba diceraikan. Begitu juga dengan pasangan si pejabat itu, ada saat menanam, ada saat menuai. Panenlah sejoli di bui!”
Aku pun mendehem. “Seronok kali itu duta rakyat, tapi rakyat yang mana,” lanjutku membatin sembari menata esai ini. Lagi-lagi ujungnya gimik fulus, cuan besar, dan tersandung karakter. Lha kalau aparat penegak negara merampas kelamin liyan atau bergumul dengan PSK? Ini kelainan, bukan karakter.
baca juga: Menjawab Potensi Konflik dengan Pendidikan Berbasis Hati
Hakikinya kasus-kasus ini menodai edukasi murni, dunia pendidikan yang sejati. Masihkah terngiang inti pendidikan adalah belajar moral dan intelektual? Kiwari moralitas jelas dibuang dan disingkirkan. Cuma sasar tembak intelektual yang selalu diburu. Ujung-ujungnya, sungguh tersesat, pemeringkatan menjadi laku utama.
Apalagi kiprah pendidikan terkini sedang menderita degradasi mental atau krisis karakter bagi para pelajar. Kasus ini menjadi stigma atau cacat-pikir dan kontraproduktif terhadap penumbuhan karakter yang berawal dari sekolah. Penggalakannya perlu mendapatkan aksi nyata yang serius. Bukan hanya diwacanakan atau selalu dinarasikan tataran Peraturan Menteri. Begitu gawatkah?
Sampai hari ini wajah bangsa dicap karut-marut. Kusut, kacau, rusuh, banyak bohong dan dusta. Opini dan wacana terlaris untuk konteks karut-marut ini adalah mengelap-lap karakter. Karakter bangsa diunggah. Karakter digosok lagi agar wingko katon kencono, bukan kencono katon wingko. Mengutip petuah Ir Soekarno, elan vital ’roh’ berbangsa harus ’dibangun-bangunkan, dibangkit-bangkitkan, dan dihidup-hidupkan’ kembali. Betapa tidak?