Kekerasan Polisi dan Rasisme di AS
loading...

Dinna Prapto Raharja, Ph.D, Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional. Foto/Dok. Pribadi
A
A
A
Dinna Prapto Raharja, PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
KEKERASAN polisi dan rasisme di Amerika Serikat (AS) adalah dua fenomena pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masih terjadi sejak Amerika merdeka 244 tahun lalu. Demonstrasi yang terjadi di tengah wabah virus korona di hampir semua negara bagian AS menunjukkan rasa frustrasi dari sebagian besar masyarakat AS. Kepemimpinan Barack Obama sebagai presiden ternyata tidak mengurangi masalah rasisme ini, malah semakin mendapatkan ruang di masa kepemimpinan Donald Trump.
Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa belum ada perubahan struktural yang terjadi di AS saat Obama berkuasa. Tidak adanya perubahan juga membuktikan bahwa jalan keluar atas masalah rasisme atau masalah intoleransi tidak cukup hanya dengan menempatkan seorang yang liberal atau demokrat atau peduli dengan masalah HAM di kursi kepemimpinan. (Baca juga: Kronologi 31 Menit yang Akhiri Hidup George Floyd.... )
Saya tidak berusaha untuk menyederhanakan kompleksitas ketidakberhasilan Obama dalam mengatasi masalah rasisme. Justru sebaliknya, saya ingin mengatakan bahwa Obama menghadapi masalah-masalah struktural, terutama politik, yang membuatnya berpikir ulang untuk mengambil posisi yang mendukung kulit hitam dan memosisikan dirinya sebagai orang yang netral (Nick Bryan, 2017).
Obama dalam politik rasisme, sepertinya berusaha untuk tidak menyinggung kulit putih yang telah memilihnya, tetapi juga tidak ingin menjauhkan pendukungnya yang dari kulit berwarna. Misalnya dengan mengundang Henry Louis Gates yang ditangkap sewenang-wenang oleh seorang polisi, James Crowley, di Gedung Putih. Peristiwa itu yang kemudian dikenal dengan sebutan “beer-summit”. (Baca juga: Dikepung Militer, Area Gedung Putih Bak Zona Perang )
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
KEKERASAN polisi dan rasisme di Amerika Serikat (AS) adalah dua fenomena pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masih terjadi sejak Amerika merdeka 244 tahun lalu. Demonstrasi yang terjadi di tengah wabah virus korona di hampir semua negara bagian AS menunjukkan rasa frustrasi dari sebagian besar masyarakat AS. Kepemimpinan Barack Obama sebagai presiden ternyata tidak mengurangi masalah rasisme ini, malah semakin mendapatkan ruang di masa kepemimpinan Donald Trump.
Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa belum ada perubahan struktural yang terjadi di AS saat Obama berkuasa. Tidak adanya perubahan juga membuktikan bahwa jalan keluar atas masalah rasisme atau masalah intoleransi tidak cukup hanya dengan menempatkan seorang yang liberal atau demokrat atau peduli dengan masalah HAM di kursi kepemimpinan. (Baca juga: Kronologi 31 Menit yang Akhiri Hidup George Floyd.... )
Saya tidak berusaha untuk menyederhanakan kompleksitas ketidakberhasilan Obama dalam mengatasi masalah rasisme. Justru sebaliknya, saya ingin mengatakan bahwa Obama menghadapi masalah-masalah struktural, terutama politik, yang membuatnya berpikir ulang untuk mengambil posisi yang mendukung kulit hitam dan memosisikan dirinya sebagai orang yang netral (Nick Bryan, 2017).
Obama dalam politik rasisme, sepertinya berusaha untuk tidak menyinggung kulit putih yang telah memilihnya, tetapi juga tidak ingin menjauhkan pendukungnya yang dari kulit berwarna. Misalnya dengan mengundang Henry Louis Gates yang ditangkap sewenang-wenang oleh seorang polisi, James Crowley, di Gedung Putih. Peristiwa itu yang kemudian dikenal dengan sebutan “beer-summit”. (Baca juga: Dikepung Militer, Area Gedung Putih Bak Zona Perang )
Lihat Juga :