Kekerasan Polisi dan Rasisme di AS

Rabu, 03 Juni 2020 - 07:24 WIB
loading...
Kekerasan Polisi dan...
Dinna Prapto Raharja, Ph.D, Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Dinna Prapto Raharja, PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR

KEKERASAN polisi dan rasisme di Amerika Serikat (AS) adalah dua fenomena pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang masih terjadi sejak Amerika merdeka 244 tahun lalu. Demonstrasi yang terjadi di tengah wabah virus korona di hampir semua negara bagian AS menunjukkan rasa frustrasi dari sebagian besar masyarakat AS. Kepemimpinan Barack Obama sebagai presiden ternyata tidak mengurangi masalah rasisme ini, malah semakin mendapatkan ruang di masa kepemimpinan Donald Trump.

Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa belum ada perubahan struktural yang terjadi di AS saat Obama berkuasa. Tidak adanya perubahan juga membuktikan bahwa jalan keluar atas masalah rasisme atau masalah intoleransi tidak cukup hanya dengan menempatkan seorang yang liberal atau demokrat atau peduli dengan masalah HAM di kursi kepemimpinan. (Baca juga: Kronologi 31 Menit yang Akhiri Hidup George Floyd.... )

Saya tidak berusaha untuk menyederhanakan kompleksitas ketidakberhasilan Obama dalam mengatasi masalah rasisme. Justru sebaliknya, saya ingin mengatakan bahwa Obama menghadapi masalah-masalah struktural, terutama politik, yang membuatnya berpikir ulang untuk mengambil posisi yang mendukung kulit hitam dan memosisikan dirinya sebagai orang yang netral (Nick Bryan, 2017).

Obama dalam politik rasisme, sepertinya berusaha untuk tidak menyinggung kulit putih yang telah memilihnya, tetapi juga tidak ingin menjauhkan pendukungnya yang dari kulit berwarna. Misalnya dengan mengundang Henry Louis Gates yang ditangkap sewenang-wenang oleh seorang polisi, James Crowley, di Gedung Putih. Peristiwa itu yang kemudian dikenal dengan sebutan “beer-summit”. (Baca juga: Dikepung Militer, Area Gedung Putih Bak Zona Perang )

Beberapa inisiatif pemerintahan Obama telah mendistorsi percakapan nasional tentang ras. Steven Malanga (2016), misalnya, mengatakan bahwa Departemen Pendidikan AS pada 2010 mengadakan investigasi terhadap seluruh sekolah negeri untuk mendisiplinkan siswa kulit hitam dengan lebih sering, secara proporsional, daripada siswa dari ras lain. Sebuah studi Departemen Pendidikan mengamati bahwa siswa berkulit hitam tiga setengah kali lebih mungkin didisiplinkan.

Kebijakan dan sikap yang bernuansa intoleransi terhadap kulit hitam memang paling kentara di kepolisian AS. Mapping Police Violence mencatat bahwa Kepolisian AS telah membunuh 1.099 orang pada 2019.

Kulit putih adalah korban yang paling banyak, tetapi proporsinya tidak seimbang. Kulit hitam yang menjadi korban penembakan polisi jumlahnya 24%.

Secara demografi, jumlah mereka hanya 13% dari total jumlah penduduk di AS. Artinya, kulit hitam berisiko tiga kali lipat lebih besar untuk ditembak polisi dibandingkan kulit putih per satu juta penduduk.

Penembakan itu juga bukan karena tingkat kejahatan di wilayah itu tinggi. Beberapa negara bagian yang tingkat kejahatannya rendah (seperti Oklahoma City, Phoenix, Tulsa) ternyata memiliki tingkat kekerasan polisi yang tinggi. Sementara itu, beberapa negara bagian yang tingkat kejahatannya tinggi (seperti Nashville, Portland, Oakland) justru tingkat kekerasan polisinya rendah. Data ini memberikan arti bahwa alasan tingkat kekerasan oleh polisi tinggi karena tingkat kejahatan yang tinggi tidak bisa menjadi dasar kesimpulan.

Salah satu alasan yang kemudian diterima adalah alasan rasisme. Kepolisian di AS cenderung lebih memilih agresif terhadap kulit hitam apabila mereka menghadapi situasi sulit atau tidak pasti dibandingkan dengan kulit putih. Hal ini ditandai dengan tingginya korban kulit hitam.

Korban-korban kulit hitam itu yang ditembak polisi dan umumnya menghasilkan kemarahan dan protes luar biasa dari masyarakat AS. Bahkan, kerusuhan seperti yang terjadi pada 1992 biasanya dikarenakan hal-hal sepele. Apabila mengikuti kasus-kasus kulit hitam yang terbunuh seperti Michael Brown, Erick Garner, John Crawford, Ezzel Ford, Samuel DuBose, Laquan McDonald, dan lain-lainnya, termasuk George Floyd, Anda akan menemukan bahwa kasus-kasusnya sangat ringan tetapi polisinya bertindak berlebihan.

Contoh kasus John Crawford yang ditembak mati di Wallmart karena sedang memegang senjata mainan di toko mainan. Dia ditembak polisi karena ada seseorang yang melapor ke 911. Pelapor menyatakan John Crawford sedang menodong senjata ke pengunjung toko. Pendapatnya ini kemudian diubah setelah dia sendiri melihat dalam video di toko itu bahwa John tidak menodongkan senjata ke siapa pun.

Kasus-kasus seperti John ini menimbulkan kemarahan karena umumnya polisi yang membunuh bebas dari hukuman, baik melalui pengadilan atau pun tidak. Seandainya pun disidang, mereka tidak mendapatkan hukuman yang adil.

Kemarahan-kemarahan itu yang kemudian berakumulasi sehingga mudah meledak dan berujung kerusuhan. Pada saat kerusuhan, maka banyak kelompok dengan kepentingan lain ikut disebut keterlibatannya, baik dari kelompok ekstrem kiri maupun kanan.

Satu hal yang setidaknya dapat kita simpulkan dari kejadian di AS adalah bahwa masalah struktural seperti rasisme, intoleransi, juga pelanggaran HAM tidak bisa selesai dengan mengandalkan naiknya seorang tokoh pemimpin. Masalah seperti ini tumbuh di dalam masyarakat dan menajam seiring dengan relasi sosial antarmasyarakat. Alhasil, harus masyarakatnya sendiri yang mengorganisir gerakan untuk menekan rasa curiga, diskriminasi, intoleransi, dan aneka praduga yang berujung pada tindakan semena-mena tanpa dasar itu.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1638 seconds (0.1#10.140)