Berpesan dengan Mural

Kamis, 02 September 2021 - 07:51 WIB
loading...
A A A
“Ini semakin salah karena tidak ada penjelasan atau audiensi antara kedua belah pihak. Penjelasan motif ini juga diperlukan sebagai bentuk mediasi dua arah. Akhirnya ya seperti ini jadi bola liar. Semua orang merasa jadi punya hal melakukan hal yang serupa,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.

Kedua, Arief menyatakan penggunaan mural sebagai kedok untuk bersembunyi atas kritik, baik di jalanan maupun medsos, itu merupakan tindakan pengecut. Yang disalahkan muralnya, bukan pelakunya.

“Misalnya, pakai analogi, kalau ada pembunuhan yang salah ya pembunuhnya bukan pisau atau pistolnya. Terus, barang bukti pasti akan diamankan atau tidak boleh disentuh untuk investigasi,” paparnya.

Ketiga, aparat seharusnya tidak buru-buru menghapus mural itu. Tindakan itu tidak tepat. “Sebuah kritik yang hadir di kota itu adalah tanda warganya masih peduli loh. Tampunglah kritik-kritik itu, arahkan mereka ke cara mengkritik yang lebih beradab. Kritik itu bisa dijadikan bahan evaluasi sebagai bekal perancangan kebijakan,” tegasnya.

Arief mengungkapkan mural tidak hanya digunakan untuk mengkritik. Mural mempunyai banyak fungsi. Mural itu media untuk menyampaikan pesan dengan aneka visual. Mural bisa menampilkan elemen yang menghadirkan keindahan, seni penanda sebuah kota, mencerminkan identitas tempat tinggal, dan media promosi.

“Kemarin pun ketika bahas ini dengan kawan-kawan yang juga ada para pelaku vandalisme di Semarang, saya katakan tidak akan melarang mereka melakukan hal itu. Asal tahu konteks dan musuh mereka siapa. Harus punya alasan kuat kalau mau melawan jangan asal ikut tren atau salah dalam memaknai ideologi seni jalanan,” terangnya.

Menurut dia, para seniman mural selama ini dikenal kerap menggunakan fasilitas publik dalam menyampaikan pesan. Ini menuai pro dan kontra soal izinnya. Sepengetahuan Arief, sampai saat ini belum ada aturan detail dari pemerintah daerah (pemda). Biasanya dinas tata kota hanya mengatur mengenai ketertiban dan estetika saja.

Dia mengakui kemungkinan tidak semua seniman paham dan mengetahui mengenai tata kelola dan aturan tentang kotanya. Bahkan, bisa jadi tidak akur dengan pemangku kebijakan di kotanya sendiri. Dia menyatakan selama pemilik dinding memberikan izin pasti aman. Arief memberikan catatan: apapun yang ditorehkan di dinding itu menjadi milik umum. Bukan lagi milik senimannya.

“Semua orang berhak mengapresiasi atau mengkritik karya-karya di ruang publik. Sehingga pelaku pun seharusnya memahami konsekuensinya apabila dia menggambar atau menggunakan elemen-elemen yang kontroversi atau akan berisiko memicu konflik. Ini butuh kejelian dan banyak melatih diri dalam membuat konsep karya sebelum dieksekusi di ruang publik,” jelasnya.

Purwanto menambahkan seharusnya dibangun sinergi antara kreator dan pemilik dinding, entah masyarakat umum, swasta, atau pun pemerintah daerah (pemda).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1841 seconds (0.1#10.140)