Berpesan dengan Mural
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seni lukis dinding atau mural kini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Terlepas dari kontennya, mural terbukti menjadi media efektif dalam menyampaikan pesan dalam ruang publik.
Perbincangan hangat tentang mural memang tidak bisa lepas dari langkah aparat yang menghapus gambar wajah yang mirip dengan Presiden Jokowi dan bertuliskan '404; Not Found' di Batu Ceper, Tangerang; 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' di Pasuruan; dan 'Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan'.
Apapun pro-kontra yang menyertainya, langkah tersebut sebenarnya tidak semestinya dilakukan. Apalagi jika mural muncul sebagai refleksi kehidupan masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Pandangan demikian di antaranya disampaikan ujar Kurator Seni Rupa Galeri Nasional Indonesia, Suwarno Wisesotromo, Dosen seni rupa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Purwanto, dan pemural Arief Hadinata.
“Kritik itu kan sebetulnya vitamin. Masyarakat harus berlajar kritis, mana yang caci maki, mana yang sekadar ngomong enggak jelas dan mana yang memberi masukan. Masyarakat harus terdidik dengan sendirinya, kan lama-lama masyarakat juga cerdas kok mana kritik mana bukan,” ujar Suwarno Wisesotromo, saat dihubungi di Jakarta.
Dia menandaskan, jika pun terpaksa, lebih baik mural yang sudah ditimpa dengan mural baru yang lebih bagus. Pasalnya, saling penimpaan dalam konteks seni jalan lazim dilakukan. Namun bila penutupan dilakukan dengan mengecat saja, maka tindakan tindakan berlebihan dan tidak taktis.
“Kalau mau nutup baiknya dengan menggambar lagi diatasnya. Muralis ditutup diatasnya oleh yang lain ya tidak apa-apa, tapi kalau ditutup cat itu berlebihan,” ungkapnya.
Suwarno menuturkan, seniman jalanan itu wataknya semakin diperlakukan begitu akan semakin militan, karena apa yang mereka lakukan sebagai bagian keyakinan perjuangan seniman jalanan.
“Biasanya akan meningkat semangatnya karena cara menutupnya memancing mereka untuk bereaksi lebih. Apalagi kalau sampai diburu itu berlebihan, enggak perlu lah,” ujarnya.
Dia pun kembali mengingatkan bahwa jika bermain di ruang publik dengan bahasa mural, maka jika ingin menutup dengan gambar lain jangan cuma menggunakan cat biasa. Perebutan ruang publik itu kontestasi tentang gambar dan pesan yang bagus.
“Karya seni diruang publik enggak boleh sewenang-wenang. Tetap menimbang bahwa ruang publik berprinsip pada pengguna, kita punya respek kepada pengguna lain. Jadi kalau seniman tiba-tiba mengkooptasi dengan sewenang-wenang tanpa menimbang respek pada orang lain itu menurut saya tindakan sewenang-wenang,” ungkapnya.
Adapun Purwanto melihat penghapusan mural yang dianggap mengkritik pemerintah dan menghina presiden mengindikasikan adanya perbedaan sudut pandang.
“Di satu sisi, seniman ingin memberikan satu sentuhan estetik dari konteks ruang dimana mural itu berada. Akan tetapi, kalau dari perspektif politik, mungkin tidak menjadi sesuatu yang memberikan pencerahan dan positif bagi kepentingan politik. Bisa saja itu dinilai negatif. Seni itu multi interpretasi,” tuturnya.
Kendati demikian, bila langkah aparat kemudian diikuti dengan memburu pelaku pembuat mural, dalam pandangannya itu berlebihan. Dia mendorong pemerintah mengedepankan dialog dengan pembuat mural itu.
“Siapa tahu di balik ungkapan visual itu ada nilai-nilai kebajikan yang pemerintah bisa hormat terhadap persoalan itu. Saya secara pribadi salut dengan kreativitas yang dimiliki kreator itu. Persoalannya, bagaimana itu dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang merasa berseberangan,” jelasnya.
Purwanto memaparkan, mural mempunyai beragama maksud seperti mempercantik tata kota, menyampaikan kritik, serta memperkenalkan identitas, dan budaya suatu daerah. Bahkan, ada yang tujuannya untuk perang ideologi.Karenanya, mural harus menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan.
‘’Pelukisan atau menggambar di dinding fasilitas publik harus mengedukasi dan membuat ruang dimana mural itu berada menjadi lebih estetis dan berwibawa,’’ kata dia.
Sementara itu, itu, pemural Arief Hadinata mencoba melihat masalah mural-mural yang dihapus itu, seperti 404: Not Found dari berbagai sudut pandang.
Pertama, dia mengatakan jika pelaku masih dalam tahap belajar teknik menggambar wajah sebaiknya memilih mau pakai siapa untuk latihan. Alasannya, sebuah gambar wajah akan menimbulkan banyak persepsi kalau ada oknum yang baper alias bawa perasaan.
“Ini semakin salah karena tidak ada penjelasan atau audiensi antara kedua belah pihak. Penjelasan motif ini juga diperlukan sebagai bentuk mediasi dua arah. Akhirnya ya seperti ini jadi bola liar. Semua orang merasa jadi punya hal melakukan hal yang serupa,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.
Kedua, Arief menyatakan penggunaan mural sebagai kedok untuk bersembunyi atas kritik, baik di jalanan maupun medsos, itu merupakan tindakan pengecut. Yang disalahkan muralnya, bukan pelakunya.
“Misalnya, pakai analogi, kalau ada pembunuhan yang salah ya pembunuhnya bukan pisau atau pistolnya. Terus, barang bukti pasti akan diamankan atau tidak boleh disentuh untuk investigasi,” paparnya.
Ketiga, aparat seharusnya tidak buru-buru menghapus mural itu. Tindakan itu tidak tepat. “Sebuah kritik yang hadir di kota itu adalah tanda warganya masih peduli loh. Tampunglah kritik-kritik itu, arahkan mereka ke cara mengkritik yang lebih beradab. Kritik itu bisa dijadikan bahan evaluasi sebagai bekal perancangan kebijakan,” tegasnya.
Arief mengungkapkan mural tidak hanya digunakan untuk mengkritik. Mural mempunyai banyak fungsi. Mural itu media untuk menyampaikan pesan dengan aneka visual. Mural bisa menampilkan elemen yang menghadirkan keindahan, seni penanda sebuah kota, mencerminkan identitas tempat tinggal, dan media promosi.
“Kemarin pun ketika bahas ini dengan kawan-kawan yang juga ada para pelaku vandalisme di Semarang, saya katakan tidak akan melarang mereka melakukan hal itu. Asal tahu konteks dan musuh mereka siapa. Harus punya alasan kuat kalau mau melawan jangan asal ikut tren atau salah dalam memaknai ideologi seni jalanan,” terangnya.
Menurut dia, para seniman mural selama ini dikenal kerap menggunakan fasilitas publik dalam menyampaikan pesan. Ini menuai pro dan kontra soal izinnya. Sepengetahuan Arief, sampai saat ini belum ada aturan detail dari pemerintah daerah (pemda). Biasanya dinas tata kota hanya mengatur mengenai ketertiban dan estetika saja.
Dia mengakui kemungkinan tidak semua seniman paham dan mengetahui mengenai tata kelola dan aturan tentang kotanya. Bahkan, bisa jadi tidak akur dengan pemangku kebijakan di kotanya sendiri. Dia menyatakan selama pemilik dinding memberikan izin pasti aman. Arief memberikan catatan: apapun yang ditorehkan di dinding itu menjadi milik umum. Bukan lagi milik senimannya.
“Semua orang berhak mengapresiasi atau mengkritik karya-karya di ruang publik. Sehingga pelaku pun seharusnya memahami konsekuensinya apabila dia menggambar atau menggunakan elemen-elemen yang kontroversi atau akan berisiko memicu konflik. Ini butuh kejelian dan banyak melatih diri dalam membuat konsep karya sebelum dieksekusi di ruang publik,” jelasnya.
Purwanto menambahkan seharusnya dibangun sinergi antara kreator dan pemilik dinding, entah masyarakat umum, swasta, atau pun pemerintah daerah (pemda).
“Coba dong dirangkul para kreator mural itu. saya pikir mereka butuh wadah, panggung, dan kesempatan untuk mengekspresikan gagasan. Persoalan konten, saya pikir bisa dilakukan bargaining,” ucapnya.
Di banyak negara, mural dibuat untuk mempercantik kota. Itu dilakukan di Singapura, Korea Selatan, Australia. Di Indonesia pun hal serupa telah dilakukan, seperti di Kampung Pelangi dan Tematik di kota-kota besar. Arief mengungkapkan dirinya pernah berkolaborasi dengan dinas perhubungan dan pusat perbelanjaan di Semarang untuk membuat mural.
“Banyak kok bukti riilnya di sekitar kita. Bahkan, di Jakarta pun tentu mudah ditemukan sample-nya. Misal saya, selain mengedukasi warga lewat mural dan project seni sosial, juga punya studio desain dan mural sebagai kendaraan agar isi dompet dan kepala tetap seimbang,” pungkasnya.
Tidak Akan Diproses Hukum
Di bagian lain, pihak kepolisian menyatakan tidak akan memproses mural satire yang mengkritik penerintah dan gambarPpresiden Jokowi.
"Hal ini dikarenakan mural sebagai karya seni seorang seniman dalam menyalurkan aspirasinya," ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono
Namun, dia berpesan hendaknya karya seni dalam menyalurkan aspirasi tersebut di tempat yang semestinya. Tentunya mural yang dibuat oleh orang dalam bentuk berbagai macam, lukisan itu bentuk ekspresi suatu orang mempunyai seni yang bisa dituangkan dalam bentuk gambar. "Akan tetapi, itu juga harus di tempat yang semestinya," ujar Argo.
Menurutnya, sikap Polri atas adanya mural di Tangerang tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kabareskrim Komjem Pol Agus Andrianto bahwa Polri tidak akan responsif dan represif terhadap persoalan tersebut.
"Tentunya dari pihak kepolisian sesuai dengan apa yang disampaikan Kabareskrim. Kami tidak represif. Kami hargai ekspresi masyarakat dalam memberikan jiwanya yang dituangkan dalam suatu bentuk karya seni," tukasnya.
Di tempat terpisah, Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto menyampaikan amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa Polri tidak boleh reaktif dan responsif terhadap hal-hal seperti itu. Sebab, mural yang beredar merupakan bentuk ekspresi seni.
“Banyak kejadian kemarin di Tangerang, tentunya dari pihak kepolisian sesuai apa yang disampaikan Bapak Kabareskrim bahwa kita tidak represif, kita hargai ekspresi masyarakat dalam memberikan jiwanya yang dituangkan dalam suatu bentuk gambar,” ujarnya.
Agus menegaskan, Kapolri tidak suka apabila polisi terlalu reaktif menanggapi konten-konten satire terhadap pemerintah.
"Bapak Presiden tidak berkenan bila kita responsif terhadap hal-hal seperti itu," kata Agus.
Begitu juga dengan penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kerja-kerja kepolisian dalam memantau media sosial. Agus meminta agar jajarannya tidak terlalu responsif jika ada kritik terhadap pemerintah.
"Demikian juga Bapak Kapolri selalu mengingatkan kita dan jajaran terutama dalam penerapan UU ITE," ucap Agus.
Agus menjelaskan bahwa kritik sah dilakukan warga negara. Namun, berbeda halnya jika ada konten yang berpotensi memecah belah persatuan. Aparat akan melakukan penindakan hukum merujuk pada Surat Edaran Kapolri dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.
"Kritis terhadap pemerintah saya rasa nggak ada persoalan. Namun kalau fitnah, memecah belah persatuan dan kesatuan, intoleran ya pasti kita tangani," tukasnya.
Menurutnya, menyerang secara individu memang mensyaratkan korbannya yang harus melapor. Khusus dalam hal ini pun, Bapak Presiden juga tidak berkenan Polri reaktif dan responsif terhadap masalah itu.
Perbincangan hangat tentang mural memang tidak bisa lepas dari langkah aparat yang menghapus gambar wajah yang mirip dengan Presiden Jokowi dan bertuliskan '404; Not Found' di Batu Ceper, Tangerang; 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' di Pasuruan; dan 'Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan'.
Apapun pro-kontra yang menyertainya, langkah tersebut sebenarnya tidak semestinya dilakukan. Apalagi jika mural muncul sebagai refleksi kehidupan masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Pandangan demikian di antaranya disampaikan ujar Kurator Seni Rupa Galeri Nasional Indonesia, Suwarno Wisesotromo, Dosen seni rupa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Purwanto, dan pemural Arief Hadinata.
“Kritik itu kan sebetulnya vitamin. Masyarakat harus berlajar kritis, mana yang caci maki, mana yang sekadar ngomong enggak jelas dan mana yang memberi masukan. Masyarakat harus terdidik dengan sendirinya, kan lama-lama masyarakat juga cerdas kok mana kritik mana bukan,” ujar Suwarno Wisesotromo, saat dihubungi di Jakarta.
Dia menandaskan, jika pun terpaksa, lebih baik mural yang sudah ditimpa dengan mural baru yang lebih bagus. Pasalnya, saling penimpaan dalam konteks seni jalan lazim dilakukan. Namun bila penutupan dilakukan dengan mengecat saja, maka tindakan tindakan berlebihan dan tidak taktis.
“Kalau mau nutup baiknya dengan menggambar lagi diatasnya. Muralis ditutup diatasnya oleh yang lain ya tidak apa-apa, tapi kalau ditutup cat itu berlebihan,” ungkapnya.
Suwarno menuturkan, seniman jalanan itu wataknya semakin diperlakukan begitu akan semakin militan, karena apa yang mereka lakukan sebagai bagian keyakinan perjuangan seniman jalanan.
“Biasanya akan meningkat semangatnya karena cara menutupnya memancing mereka untuk bereaksi lebih. Apalagi kalau sampai diburu itu berlebihan, enggak perlu lah,” ujarnya.
Dia pun kembali mengingatkan bahwa jika bermain di ruang publik dengan bahasa mural, maka jika ingin menutup dengan gambar lain jangan cuma menggunakan cat biasa. Perebutan ruang publik itu kontestasi tentang gambar dan pesan yang bagus.
“Karya seni diruang publik enggak boleh sewenang-wenang. Tetap menimbang bahwa ruang publik berprinsip pada pengguna, kita punya respek kepada pengguna lain. Jadi kalau seniman tiba-tiba mengkooptasi dengan sewenang-wenang tanpa menimbang respek pada orang lain itu menurut saya tindakan sewenang-wenang,” ungkapnya.
Adapun Purwanto melihat penghapusan mural yang dianggap mengkritik pemerintah dan menghina presiden mengindikasikan adanya perbedaan sudut pandang.
“Di satu sisi, seniman ingin memberikan satu sentuhan estetik dari konteks ruang dimana mural itu berada. Akan tetapi, kalau dari perspektif politik, mungkin tidak menjadi sesuatu yang memberikan pencerahan dan positif bagi kepentingan politik. Bisa saja itu dinilai negatif. Seni itu multi interpretasi,” tuturnya.
Kendati demikian, bila langkah aparat kemudian diikuti dengan memburu pelaku pembuat mural, dalam pandangannya itu berlebihan. Dia mendorong pemerintah mengedepankan dialog dengan pembuat mural itu.
“Siapa tahu di balik ungkapan visual itu ada nilai-nilai kebajikan yang pemerintah bisa hormat terhadap persoalan itu. Saya secara pribadi salut dengan kreativitas yang dimiliki kreator itu. Persoalannya, bagaimana itu dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang merasa berseberangan,” jelasnya.
Purwanto memaparkan, mural mempunyai beragama maksud seperti mempercantik tata kota, menyampaikan kritik, serta memperkenalkan identitas, dan budaya suatu daerah. Bahkan, ada yang tujuannya untuk perang ideologi.Karenanya, mural harus menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan.
‘’Pelukisan atau menggambar di dinding fasilitas publik harus mengedukasi dan membuat ruang dimana mural itu berada menjadi lebih estetis dan berwibawa,’’ kata dia.
Sementara itu, itu, pemural Arief Hadinata mencoba melihat masalah mural-mural yang dihapus itu, seperti 404: Not Found dari berbagai sudut pandang.
Pertama, dia mengatakan jika pelaku masih dalam tahap belajar teknik menggambar wajah sebaiknya memilih mau pakai siapa untuk latihan. Alasannya, sebuah gambar wajah akan menimbulkan banyak persepsi kalau ada oknum yang baper alias bawa perasaan.
“Ini semakin salah karena tidak ada penjelasan atau audiensi antara kedua belah pihak. Penjelasan motif ini juga diperlukan sebagai bentuk mediasi dua arah. Akhirnya ya seperti ini jadi bola liar. Semua orang merasa jadi punya hal melakukan hal yang serupa,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.
Kedua, Arief menyatakan penggunaan mural sebagai kedok untuk bersembunyi atas kritik, baik di jalanan maupun medsos, itu merupakan tindakan pengecut. Yang disalahkan muralnya, bukan pelakunya.
“Misalnya, pakai analogi, kalau ada pembunuhan yang salah ya pembunuhnya bukan pisau atau pistolnya. Terus, barang bukti pasti akan diamankan atau tidak boleh disentuh untuk investigasi,” paparnya.
Ketiga, aparat seharusnya tidak buru-buru menghapus mural itu. Tindakan itu tidak tepat. “Sebuah kritik yang hadir di kota itu adalah tanda warganya masih peduli loh. Tampunglah kritik-kritik itu, arahkan mereka ke cara mengkritik yang lebih beradab. Kritik itu bisa dijadikan bahan evaluasi sebagai bekal perancangan kebijakan,” tegasnya.
Arief mengungkapkan mural tidak hanya digunakan untuk mengkritik. Mural mempunyai banyak fungsi. Mural itu media untuk menyampaikan pesan dengan aneka visual. Mural bisa menampilkan elemen yang menghadirkan keindahan, seni penanda sebuah kota, mencerminkan identitas tempat tinggal, dan media promosi.
“Kemarin pun ketika bahas ini dengan kawan-kawan yang juga ada para pelaku vandalisme di Semarang, saya katakan tidak akan melarang mereka melakukan hal itu. Asal tahu konteks dan musuh mereka siapa. Harus punya alasan kuat kalau mau melawan jangan asal ikut tren atau salah dalam memaknai ideologi seni jalanan,” terangnya.
Menurut dia, para seniman mural selama ini dikenal kerap menggunakan fasilitas publik dalam menyampaikan pesan. Ini menuai pro dan kontra soal izinnya. Sepengetahuan Arief, sampai saat ini belum ada aturan detail dari pemerintah daerah (pemda). Biasanya dinas tata kota hanya mengatur mengenai ketertiban dan estetika saja.
Dia mengakui kemungkinan tidak semua seniman paham dan mengetahui mengenai tata kelola dan aturan tentang kotanya. Bahkan, bisa jadi tidak akur dengan pemangku kebijakan di kotanya sendiri. Dia menyatakan selama pemilik dinding memberikan izin pasti aman. Arief memberikan catatan: apapun yang ditorehkan di dinding itu menjadi milik umum. Bukan lagi milik senimannya.
“Semua orang berhak mengapresiasi atau mengkritik karya-karya di ruang publik. Sehingga pelaku pun seharusnya memahami konsekuensinya apabila dia menggambar atau menggunakan elemen-elemen yang kontroversi atau akan berisiko memicu konflik. Ini butuh kejelian dan banyak melatih diri dalam membuat konsep karya sebelum dieksekusi di ruang publik,” jelasnya.
Purwanto menambahkan seharusnya dibangun sinergi antara kreator dan pemilik dinding, entah masyarakat umum, swasta, atau pun pemerintah daerah (pemda).
“Coba dong dirangkul para kreator mural itu. saya pikir mereka butuh wadah, panggung, dan kesempatan untuk mengekspresikan gagasan. Persoalan konten, saya pikir bisa dilakukan bargaining,” ucapnya.
Di banyak negara, mural dibuat untuk mempercantik kota. Itu dilakukan di Singapura, Korea Selatan, Australia. Di Indonesia pun hal serupa telah dilakukan, seperti di Kampung Pelangi dan Tematik di kota-kota besar. Arief mengungkapkan dirinya pernah berkolaborasi dengan dinas perhubungan dan pusat perbelanjaan di Semarang untuk membuat mural.
“Banyak kok bukti riilnya di sekitar kita. Bahkan, di Jakarta pun tentu mudah ditemukan sample-nya. Misal saya, selain mengedukasi warga lewat mural dan project seni sosial, juga punya studio desain dan mural sebagai kendaraan agar isi dompet dan kepala tetap seimbang,” pungkasnya.
Tidak Akan Diproses Hukum
Di bagian lain, pihak kepolisian menyatakan tidak akan memproses mural satire yang mengkritik penerintah dan gambarPpresiden Jokowi.
"Hal ini dikarenakan mural sebagai karya seni seorang seniman dalam menyalurkan aspirasinya," ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono
Namun, dia berpesan hendaknya karya seni dalam menyalurkan aspirasi tersebut di tempat yang semestinya. Tentunya mural yang dibuat oleh orang dalam bentuk berbagai macam, lukisan itu bentuk ekspresi suatu orang mempunyai seni yang bisa dituangkan dalam bentuk gambar. "Akan tetapi, itu juga harus di tempat yang semestinya," ujar Argo.
Menurutnya, sikap Polri atas adanya mural di Tangerang tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kabareskrim Komjem Pol Agus Andrianto bahwa Polri tidak akan responsif dan represif terhadap persoalan tersebut.
"Tentunya dari pihak kepolisian sesuai dengan apa yang disampaikan Kabareskrim. Kami tidak represif. Kami hargai ekspresi masyarakat dalam memberikan jiwanya yang dituangkan dalam suatu bentuk karya seni," tukasnya.
Di tempat terpisah, Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto menyampaikan amanat Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa Polri tidak boleh reaktif dan responsif terhadap hal-hal seperti itu. Sebab, mural yang beredar merupakan bentuk ekspresi seni.
“Banyak kejadian kemarin di Tangerang, tentunya dari pihak kepolisian sesuai apa yang disampaikan Bapak Kabareskrim bahwa kita tidak represif, kita hargai ekspresi masyarakat dalam memberikan jiwanya yang dituangkan dalam suatu bentuk gambar,” ujarnya.
Agus menegaskan, Kapolri tidak suka apabila polisi terlalu reaktif menanggapi konten-konten satire terhadap pemerintah.
"Bapak Presiden tidak berkenan bila kita responsif terhadap hal-hal seperti itu," kata Agus.
Begitu juga dengan penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kerja-kerja kepolisian dalam memantau media sosial. Agus meminta agar jajarannya tidak terlalu responsif jika ada kritik terhadap pemerintah.
"Demikian juga Bapak Kapolri selalu mengingatkan kita dan jajaran terutama dalam penerapan UU ITE," ucap Agus.
Agus menjelaskan bahwa kritik sah dilakukan warga negara. Namun, berbeda halnya jika ada konten yang berpotensi memecah belah persatuan. Aparat akan melakukan penindakan hukum merujuk pada Surat Edaran Kapolri dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.
"Kritis terhadap pemerintah saya rasa nggak ada persoalan. Namun kalau fitnah, memecah belah persatuan dan kesatuan, intoleran ya pasti kita tangani," tukasnya.
Menurutnya, menyerang secara individu memang mensyaratkan korbannya yang harus melapor. Khusus dalam hal ini pun, Bapak Presiden juga tidak berkenan Polri reaktif dan responsif terhadap masalah itu.
(ynt)