Sistem Resi Gudang sebagai Sumber Pembiayaan Petani

Rabu, 01 September 2021 - 16:02 WIB
loading...
Sistem Resi Gudang sebagai...
Indra Setiawan (Foto: Ist)
A A A
Indra Setiawan
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)

AKSES terhadap pembiayaan untuk kegiatan pertanian merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi petani Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan hanya 15% petani Indonesia yang memiliki akses pada pembiayaan formal, hal yang penting dan diperlukan untuk kelangsungan produksi pertanian dan peningkatan produktivitasnya.

Persyaratan kredit lembaga pembiayaan, termasuk bank, yang menuntut agunan seperti sertifikat tanah, merupakan salah satu penyebab terbatasnya akses petani terhadap pembiayaan. International Finance Cooperation (IFC) menyebutkan bahwa sekitar 90% petani yang tergolong ke dalam petani kecil, yang luas lahannya kurang dari dua hektare, tidak memiliki sertifikat tanah. Kenyataan ini menunjukkan perlunya instrumen lain yang dapat dijadikan agunan oleh petani Indonesia.

Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mempermudah akses pembiayaan petani adalah melalui mekanisme sistem resi gudang (SRG). Undang-Undang (UU) Nomor 6/2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana diubah oleh UU Nomor 9/2011 menetapkan bahwa resi gudang yang diterima petani ketika menyimpan hasil panennya di suatu gudang, baik milik pemerintah atau swasta, dapat dijadikan agunan.

Dalam peraturan ini ditentukan 10 komoditas yang dapat disimpan, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, rotan, dan garam dengan persyaratan mutunya masing-masing. Dengan menggunakan resi gudang sebagai jaminan, petani pada umumnya dapat memperoleh pinjaman hingga 70% dari nilai resi gudang. Pemerintah juga menawarkan skema subsidi resi gudang (S-SRG) yang memberikan bunga rendah kepada petani, yaitu 6% per tahun.

Kegiatan yang berkaitan dengan sistem resi gudang berada di bawah wewenang Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti) yang bertugas melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan yang berkaitan dengan kegiatan sistem ini.

Menurut Bappebti, terdapat 3.396 resi gudang yang diterbitkan hingga 2019 dengan nilai Rp731,65 miliar. Selain sebagai jaminan pembiayaan, sistem resi gudang juga memungkinkan petani untuk menyimpan hasil panennya untuk dijual kembali ketika harga dianggap menguntungkan atau disebut tunda jual. Secara tidak langsung, skema ini juga mengasah kemampuan kewirausahaan petani dalam menentukan waktu jual yang tepat untuk memperoleh keuntungan tertinggi.

Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa petani di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang memanfaatkan SRG berhasil memperoleh peningkatan harga Rp400–600 bagi gabah kering gilingnya.

Meski SRG mampu memberikan manfaat bagi petani, pelaksanaannya masih sangat terbatas. Walaupun diperkenalkan sejak 2006, pelaksanaannya masih cenderung berjalan lambat karena kurangnya infrastruktur, peralatan penyimpanan, sosialisasi, dan masih terbatasnya jumlah lembaga keuangan yang menyediakan layanan kredit SRG.

Laporan Bappebti menyebutkan bahwa dari 123 gudang SRG pemerintah, hanya 35 yang aktif, 58 tidak beroperasi lagi, dan 30 belum pernah aktif. Kurangnya infrastruktur menjadi salah satu kendala dalam menerapkan SRG. Selain sedikitnya gudang yang beroperasi, tidak semua gudang dilengkapi alat-alat yang mampu menjaga kualitas hasil panen, seperti mesin pengering.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2169 seconds (0.1#10.140)