Sistem Resi Gudang sebagai Sumber Pembiayaan Petani
loading...
A
A
A
Indra Setiawan
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)
AKSES terhadap pembiayaan untuk kegiatan pertanian merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi petani Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan hanya 15% petani Indonesia yang memiliki akses pada pembiayaan formal, hal yang penting dan diperlukan untuk kelangsungan produksi pertanian dan peningkatan produktivitasnya.
Persyaratan kredit lembaga pembiayaan, termasuk bank, yang menuntut agunan seperti sertifikat tanah, merupakan salah satu penyebab terbatasnya akses petani terhadap pembiayaan. International Finance Cooperation (IFC) menyebutkan bahwa sekitar 90% petani yang tergolong ke dalam petani kecil, yang luas lahannya kurang dari dua hektare, tidak memiliki sertifikat tanah. Kenyataan ini menunjukkan perlunya instrumen lain yang dapat dijadikan agunan oleh petani Indonesia.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mempermudah akses pembiayaan petani adalah melalui mekanisme sistem resi gudang (SRG). Undang-Undang (UU) Nomor 6/2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana diubah oleh UU Nomor 9/2011 menetapkan bahwa resi gudang yang diterima petani ketika menyimpan hasil panennya di suatu gudang, baik milik pemerintah atau swasta, dapat dijadikan agunan.
Dalam peraturan ini ditentukan 10 komoditas yang dapat disimpan, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, rotan, dan garam dengan persyaratan mutunya masing-masing. Dengan menggunakan resi gudang sebagai jaminan, petani pada umumnya dapat memperoleh pinjaman hingga 70% dari nilai resi gudang. Pemerintah juga menawarkan skema subsidi resi gudang (S-SRG) yang memberikan bunga rendah kepada petani, yaitu 6% per tahun.
Kegiatan yang berkaitan dengan sistem resi gudang berada di bawah wewenang Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti) yang bertugas melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan yang berkaitan dengan kegiatan sistem ini.
Menurut Bappebti, terdapat 3.396 resi gudang yang diterbitkan hingga 2019 dengan nilai Rp731,65 miliar. Selain sebagai jaminan pembiayaan, sistem resi gudang juga memungkinkan petani untuk menyimpan hasil panennya untuk dijual kembali ketika harga dianggap menguntungkan atau disebut tunda jual. Secara tidak langsung, skema ini juga mengasah kemampuan kewirausahaan petani dalam menentukan waktu jual yang tepat untuk memperoleh keuntungan tertinggi.
Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa petani di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang memanfaatkan SRG berhasil memperoleh peningkatan harga Rp400–600 bagi gabah kering gilingnya.
Meski SRG mampu memberikan manfaat bagi petani, pelaksanaannya masih sangat terbatas. Walaupun diperkenalkan sejak 2006, pelaksanaannya masih cenderung berjalan lambat karena kurangnya infrastruktur, peralatan penyimpanan, sosialisasi, dan masih terbatasnya jumlah lembaga keuangan yang menyediakan layanan kredit SRG.
Laporan Bappebti menyebutkan bahwa dari 123 gudang SRG pemerintah, hanya 35 yang aktif, 58 tidak beroperasi lagi, dan 30 belum pernah aktif. Kurangnya infrastruktur menjadi salah satu kendala dalam menerapkan SRG. Selain sedikitnya gudang yang beroperasi, tidak semua gudang dilengkapi alat-alat yang mampu menjaga kualitas hasil panen, seperti mesin pengering.
Walaupun komoditas yang masuk ke gudang harus memenuhi standar tertentu agar kualitas dan nilainya tetap sama saat pertama kali masuk dan ketika dikeluarkan dari gudang, ketiadaan alat-alat penunjang juga dapat berpengaruh kepada terjaganya mutu komoditas yang disimpan. Mutu komoditas jelas akan memengaruhi harga jualnya.
Laporan Bank Indonesia mengatakan lokasi SRG juga sering jauh dari Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), yaitu perusahaan, koperasi, atau institusi pemerintahan yang berfungsi untuk melakukan sertifikasi, inspeksi, dan pengujian barang, gudang, dan pengelola gudang. Tidak semua wilayah di mana gudang berada mempunyai petugas mutu yang penting untuk memastikan bahwa mutu komoditas yang disimpan dapat terjaga dengan baik.
Jumlah gudang yang sedikit juga mengurangi minat petani mengikuti skema pembiayaan ini karena harus menanggung ongkos transportasi yang tinggi untuk mengangkut hasil panen dari sawah ke gudang yang jauh. Penelitian Gunawan (2019) menemukan bahwa semakin dekat lokasi gudang semakin tinggi kesediaan petani untuk memanfaatkan sistem resi gudang.
Lambannya implementasi juga ditandai dengan masih sedikitnya jumlah institusi keuangan yang menyediakan pembiayaan dengan resi gudang karena secara umum masih banyak skema pembiayaan yang lain yang lebih menguntungkan bagi bank. Data dari PT Kliring Berjangka Indonesia memperlihatkan bahwa hanya ada 40 institusi yang memberikan layanan ini.
Masalah terakhir adalah kurangnya sosialisasi mengenai sistem resi gudang kepada petani. Selama ini, sosialisasi juga dititikberatkan pada mekanisme pendaftaran resi gudang dan bukan pada manfaat yang diterima petani, hingga tidak mendorong petani untuk menggunakan sistem resi gudang.
Rekomendasi
Pembiayaan pertanian dengan menggunakan resi gudang sebagai jaminan tidak akan berjalan efektif apabila masalah-masalah di atas tidak diatasi. Pemerintah melalui Bappebti yang bekerja sama pemerintah daerah perlu secara bertahap mengaktifkan gudang-gudang yang tidak aktif dan yang belum pernah dioperasikan.
Kerja sama juga diperlukan dengan kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Pertanian, untuk menyediakan alat-alat penunjang di gudang penyimpanan. Selain itu, perlu adanya perluasan jaringan lembaga penguji komoditas di wilayah-wilayah yang menerapkan sistem resi gudang.
Bappebti juga disarankan untuk bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk menarik minat lembaga-lembaga keuangan untuk ikut menyediakan kredit resi gudang dan dengan demikian memberikan petani lebih banyak pilihan sumber kredit.
Terakhir, Bappepti perlu menggandeng Kementerian Pertanian untuk memperkuat usaha-usaha sosialisasi SRG kepada petani melalui penyuluh pertanian ataupun fasilitator pembiayaan petani swadaya. Pola sosialisasi kepada petani juga perlu diubah. Sosialisasi tidak cukup hanya mendorong petani mendaftar, tapi juga perlu memperkenalkan program ini dan menunjukkan manfaat yang akan didapatkan petani dari SRG terhadap kelangsungan kegiatan pertanian mereka.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)
AKSES terhadap pembiayaan untuk kegiatan pertanian merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi petani Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan hanya 15% petani Indonesia yang memiliki akses pada pembiayaan formal, hal yang penting dan diperlukan untuk kelangsungan produksi pertanian dan peningkatan produktivitasnya.
Persyaratan kredit lembaga pembiayaan, termasuk bank, yang menuntut agunan seperti sertifikat tanah, merupakan salah satu penyebab terbatasnya akses petani terhadap pembiayaan. International Finance Cooperation (IFC) menyebutkan bahwa sekitar 90% petani yang tergolong ke dalam petani kecil, yang luas lahannya kurang dari dua hektare, tidak memiliki sertifikat tanah. Kenyataan ini menunjukkan perlunya instrumen lain yang dapat dijadikan agunan oleh petani Indonesia.
Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mempermudah akses pembiayaan petani adalah melalui mekanisme sistem resi gudang (SRG). Undang-Undang (UU) Nomor 6/2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana diubah oleh UU Nomor 9/2011 menetapkan bahwa resi gudang yang diterima petani ketika menyimpan hasil panennya di suatu gudang, baik milik pemerintah atau swasta, dapat dijadikan agunan.
Dalam peraturan ini ditentukan 10 komoditas yang dapat disimpan, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, rotan, dan garam dengan persyaratan mutunya masing-masing. Dengan menggunakan resi gudang sebagai jaminan, petani pada umumnya dapat memperoleh pinjaman hingga 70% dari nilai resi gudang. Pemerintah juga menawarkan skema subsidi resi gudang (S-SRG) yang memberikan bunga rendah kepada petani, yaitu 6% per tahun.
Kegiatan yang berkaitan dengan sistem resi gudang berada di bawah wewenang Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti) yang bertugas melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan yang berkaitan dengan kegiatan sistem ini.
Menurut Bappebti, terdapat 3.396 resi gudang yang diterbitkan hingga 2019 dengan nilai Rp731,65 miliar. Selain sebagai jaminan pembiayaan, sistem resi gudang juga memungkinkan petani untuk menyimpan hasil panennya untuk dijual kembali ketika harga dianggap menguntungkan atau disebut tunda jual. Secara tidak langsung, skema ini juga mengasah kemampuan kewirausahaan petani dalam menentukan waktu jual yang tepat untuk memperoleh keuntungan tertinggi.
Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa petani di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang memanfaatkan SRG berhasil memperoleh peningkatan harga Rp400–600 bagi gabah kering gilingnya.
Meski SRG mampu memberikan manfaat bagi petani, pelaksanaannya masih sangat terbatas. Walaupun diperkenalkan sejak 2006, pelaksanaannya masih cenderung berjalan lambat karena kurangnya infrastruktur, peralatan penyimpanan, sosialisasi, dan masih terbatasnya jumlah lembaga keuangan yang menyediakan layanan kredit SRG.
Laporan Bappebti menyebutkan bahwa dari 123 gudang SRG pemerintah, hanya 35 yang aktif, 58 tidak beroperasi lagi, dan 30 belum pernah aktif. Kurangnya infrastruktur menjadi salah satu kendala dalam menerapkan SRG. Selain sedikitnya gudang yang beroperasi, tidak semua gudang dilengkapi alat-alat yang mampu menjaga kualitas hasil panen, seperti mesin pengering.
Walaupun komoditas yang masuk ke gudang harus memenuhi standar tertentu agar kualitas dan nilainya tetap sama saat pertama kali masuk dan ketika dikeluarkan dari gudang, ketiadaan alat-alat penunjang juga dapat berpengaruh kepada terjaganya mutu komoditas yang disimpan. Mutu komoditas jelas akan memengaruhi harga jualnya.
Laporan Bank Indonesia mengatakan lokasi SRG juga sering jauh dari Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), yaitu perusahaan, koperasi, atau institusi pemerintahan yang berfungsi untuk melakukan sertifikasi, inspeksi, dan pengujian barang, gudang, dan pengelola gudang. Tidak semua wilayah di mana gudang berada mempunyai petugas mutu yang penting untuk memastikan bahwa mutu komoditas yang disimpan dapat terjaga dengan baik.
Jumlah gudang yang sedikit juga mengurangi minat petani mengikuti skema pembiayaan ini karena harus menanggung ongkos transportasi yang tinggi untuk mengangkut hasil panen dari sawah ke gudang yang jauh. Penelitian Gunawan (2019) menemukan bahwa semakin dekat lokasi gudang semakin tinggi kesediaan petani untuk memanfaatkan sistem resi gudang.
Lambannya implementasi juga ditandai dengan masih sedikitnya jumlah institusi keuangan yang menyediakan pembiayaan dengan resi gudang karena secara umum masih banyak skema pembiayaan yang lain yang lebih menguntungkan bagi bank. Data dari PT Kliring Berjangka Indonesia memperlihatkan bahwa hanya ada 40 institusi yang memberikan layanan ini.
Masalah terakhir adalah kurangnya sosialisasi mengenai sistem resi gudang kepada petani. Selama ini, sosialisasi juga dititikberatkan pada mekanisme pendaftaran resi gudang dan bukan pada manfaat yang diterima petani, hingga tidak mendorong petani untuk menggunakan sistem resi gudang.
Rekomendasi
Pembiayaan pertanian dengan menggunakan resi gudang sebagai jaminan tidak akan berjalan efektif apabila masalah-masalah di atas tidak diatasi. Pemerintah melalui Bappebti yang bekerja sama pemerintah daerah perlu secara bertahap mengaktifkan gudang-gudang yang tidak aktif dan yang belum pernah dioperasikan.
Kerja sama juga diperlukan dengan kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Pertanian, untuk menyediakan alat-alat penunjang di gudang penyimpanan. Selain itu, perlu adanya perluasan jaringan lembaga penguji komoditas di wilayah-wilayah yang menerapkan sistem resi gudang.
Bappebti juga disarankan untuk bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk menarik minat lembaga-lembaga keuangan untuk ikut menyediakan kredit resi gudang dan dengan demikian memberikan petani lebih banyak pilihan sumber kredit.
Terakhir, Bappepti perlu menggandeng Kementerian Pertanian untuk memperkuat usaha-usaha sosialisasi SRG kepada petani melalui penyuluh pertanian ataupun fasilitator pembiayaan petani swadaya. Pola sosialisasi kepada petani juga perlu diubah. Sosialisasi tidak cukup hanya mendorong petani mendaftar, tapi juga perlu memperkenalkan program ini dan menunjukkan manfaat yang akan didapatkan petani dari SRG terhadap kelangsungan kegiatan pertanian mereka.
(bmm)