Sistem Resi Gudang, Mengapa Belum Dilirik?

Jum'at, 04 Maret 2022 - 15:01 WIB
loading...
Sistem Resi Gudang,...
Prof Candra Fajri Ananda, Ph.D (Foto: Ist)
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia

DI TENGAH upaya pemulihan ekonomi global, dunia sedang diliputi oleh kekhawatiran terhadap tingginya inflasi. Di sejumlah negara, laju inflasi sedang berada pada titik puncaknya. Sebagai contoh Amerika Serikat, negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut sedang menghadapi laju inflasi tertinggi dalam sejarah. Salah satu penyebabnya adalah adanya kenaikan harga komoditas pangan.

Indonesia juga sedang menghadapi ancaman tingginya laju inflasi. Meskipun masih berada dalam range target Bank Indonesia (BI), inflasi pada Januari 2022 telah mencapai level tertinggi dalam 20 bulan terakhir, yaitu pada level 2,18% year-on-year. Selain didorong oleh menguatnya aktivitas konsumsi masyarakat, kenaikan inflasi di dalam negeri juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan pangan di tengah cuaca ekstrim yang berpengaruh terhadap hasil panen.

Dalam catatan BI, peran volatile foods sebagai pembentuk inflasi di Indonesia memang sangat besar. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat demikian. Pada Januari 2022, andil kelompok makanan, minuman dan tembakau menyumbang 0,30% dari total inflasi tahun kalender 2022 yang sebesar 0,56%.

Namun di sisi lain, ketika sedang terjadi panen raya, harga komoditas makanan melemah tajam sehingga seringkali menyebabkan deflasi, dan yang lebih buruk adalah merugikan petani.

Bila harga bahan pangan memiliki peran sangat besar dalam pembentuk stabilitas harga, lalu timbul sebuah pertanyaan: bagaimana caranya menjaga stabilitas harga pangan melalui kecukupan pasokan, yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan petani?

Pertanyaan tersebut telah menjadi diskursus cukup lama di Indonesia. Sebagai negara yang masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian, volatilitas harga bahan pangan di Indonesia relatif tinggi. Hingga akhirnya pada 2006 muncul Sistem Resi Gudang (SRG) yang menjadi salah satu program prioritas nasional.

Melalui SRG, komoditas pangan dapat disimpan dalam gudang untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan. Komoditas yang disimpan tersebut juga dapat digunakan untuk memperoleh pembiayaan atau kredit dari lembaga jasa keuangan, yang bertujuan untuk menjaga kesinambungan produksi dan pasokan kmoditas pangan.

Namun demikian, implementasi SRG dirasa belum optimal. Dari 123 gudang yang dibangun oleh pemerintah, hanya 60 gudang yang beroperasi, sedangkan sisanya idle karena belum memiliki pengelola. Dari sisi wilayah, pemanfaatan gudang juga masih terpusat di Pulau Jawa. Selanjutnya, dari sisi pembiayaan juga masih perlu ditingkatkan. Pada tahun 2021, jumlah resi gudang yang diterbitkan mencapai Rp446,3 miliar, namun hanya Rp312,35 miliar yang memperoleh pembiayaan, atau 69,9% dari total resi gudang yang diterbitkan.

Belum optimalnya SRG dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pemahaman petani terhadap SRG masih rendah sehingga pemanfaatannya juga belum optimal. Kedua, bunga kredit dan persyaratan yang ditetapkan juga kurang kompetitif di mata debitur. Sebagai contoh, beban bunga yang ditanggung debitur SRG adalah sebesar 6%, namun fasilitas ini dikecualikan bagi debitur yang telah mendapatkan fasilitas kredit program dari Pemerintah, seperti misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara di sisi lain, fasilitas bunga yang ditawarkan oleh program KUR lebih baik, yaitu hanya sebesar 3%.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2013 seconds (0.1#10.140)