Pakar Hukum Minta DPR Pahami UU Terkait Calon Anggota BPK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf meminta Komisi XI DPR memahami betul isi UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) jika hendak mengangkat calon anggota yang tidak memenuhi syarat (TMS). Diketahui, dari 16 calon anggota BPK , ada nama Harry Z. Soeratin dan Nyoman Adhi Suryadnyana yang TMS.
Baca juga: Geruduk Kantor BPK, Mahasiswa Bentangkan Spanduk 50 Meter
"DPR harus punya pengetahuan terhadap perundang-undangan tentang persyaratan itu, mengetahui dengan sangat persis persyaratan yang ditetapkan dalam UU. Karena itulah yang menjadi ukuran bisa atau tidaknya seseorang mengikuti seleksi," tutur Asep ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (1/9/2021).
Menurut Asep, yang menjadi akar masalah terhadap dua orang itu adalah dugaan dilanggarnya Pasal 13 huruf j dalam UU BPK. Dia memaparkan, di UU tersebut tertulis dengan jelas bahwa calon anggota BPK minimal dua tahun harus meninggalkan jabatan lama.
Nyoman Adhi tercatat belum genap dua tahun meninggalkan jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sementara Heri Zoeratin masih menjadi KPA sebagai Sesditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu.
"Kata-kata minimal paling sedikit dua tahun itukan jelas ya, tidak multi tafsir karena angka kuantitatif, eksak begitu. Lain halnya jika ada persyaratan yang sifatnya subjektif. Angka paling sedikit dua tahun itu kan amat terukur. Menurut hemat saya kalau ada orang yang tidak memenuhi syarat awal pendaftaran ya tidak bisa," tuturnya.
Lebih jauh Asep mengatakan, DPR seharusnya dapat konsisten menjalankan UU. Jangan karena nepotisme atau hubungan kekerabatan, hukum bisa ditabrak begitu saja.
"Jangan karena kenal, dia punya backingan siapa, itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Bahwa dia harus punya komitmen untuk menjalankan prosedur UU dengan konsisten," jelasnya.
Dia mengingatkan kepada DPR agar mengetahui konsekuensi jika pencalonan dua orang tersebut tetap dipaksakan. Menurutnya, jika DPR masih melakukan hal tersebut, maka tak bisa dipungkiri DPR abai dengan regulasi.
"Kalau dipaksakan itu bisa dibatalkan hasilnya. Kan mubazir dan kesia-siaan, harus dipertimbangkan oleh anggota dewan ini. Akan jadi apa kalau DPR meloloskan, kok seperti abai ya dengan regulasi, abai juga terhadap persyaratan," ujarnya.
Baca juga: Geruduk Kantor BPK, Mahasiswa Bentangkan Spanduk 50 Meter
"DPR harus punya pengetahuan terhadap perundang-undangan tentang persyaratan itu, mengetahui dengan sangat persis persyaratan yang ditetapkan dalam UU. Karena itulah yang menjadi ukuran bisa atau tidaknya seseorang mengikuti seleksi," tutur Asep ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (1/9/2021).
Menurut Asep, yang menjadi akar masalah terhadap dua orang itu adalah dugaan dilanggarnya Pasal 13 huruf j dalam UU BPK. Dia memaparkan, di UU tersebut tertulis dengan jelas bahwa calon anggota BPK minimal dua tahun harus meninggalkan jabatan lama.
Nyoman Adhi tercatat belum genap dua tahun meninggalkan jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sementara Heri Zoeratin masih menjadi KPA sebagai Sesditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu.
"Kata-kata minimal paling sedikit dua tahun itukan jelas ya, tidak multi tafsir karena angka kuantitatif, eksak begitu. Lain halnya jika ada persyaratan yang sifatnya subjektif. Angka paling sedikit dua tahun itu kan amat terukur. Menurut hemat saya kalau ada orang yang tidak memenuhi syarat awal pendaftaran ya tidak bisa," tuturnya.
Lebih jauh Asep mengatakan, DPR seharusnya dapat konsisten menjalankan UU. Jangan karena nepotisme atau hubungan kekerabatan, hukum bisa ditabrak begitu saja.
"Jangan karena kenal, dia punya backingan siapa, itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Bahwa dia harus punya komitmen untuk menjalankan prosedur UU dengan konsisten," jelasnya.
Dia mengingatkan kepada DPR agar mengetahui konsekuensi jika pencalonan dua orang tersebut tetap dipaksakan. Menurutnya, jika DPR masih melakukan hal tersebut, maka tak bisa dipungkiri DPR abai dengan regulasi.
"Kalau dipaksakan itu bisa dibatalkan hasilnya. Kan mubazir dan kesia-siaan, harus dipertimbangkan oleh anggota dewan ini. Akan jadi apa kalau DPR meloloskan, kok seperti abai ya dengan regulasi, abai juga terhadap persyaratan," ujarnya.
(maf)