Reformasi Pajak Penghasilan
loading...
A
A
A
Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Publik
REALISASI penerimaan pajak compang-camping dihantam oleh pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pada 2020, total realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.070 triliun atau 89,3% dari target pemerintah. Angka tersebut terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi penerimaan pajak pada 2019. Begitu juga pada semester I/2021, penerimaan pajak baru tumbuh sebesar 4,89%. Bahkan, pajak penghasilan (PPh) badan masih terkontraksi sebesar 7,3% (YoY)
Pandemi Covid-19 menjadi alasan melemahnya penerimaan pajak. Meski demikian, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang akibat pandemi, perekonomian Indonesia terkontraksi sebesar 2,07% pada 2020. Untuk menekan agar tidak mengalami kontraksi yang lebih dalam, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak, seperti diskon angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan potongan tarif PPh Badan. Sehingga, berakibat pada berkurangnya penerimaan pajak.
Meski demikian, rendahnya realisasi penerimaan pajak tersebut sudah menjadi gejala lama, bahkan sebelum pandemi. Terbukti, data nisbah bagi hasil antara realisasi penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio selalu mengalami penurunan. Menarikanya, perkembangan tax ratio belum mengikuti perkembangan PDB. Tax ratioIndonesia pada 2020 hanya 7,9%. Ini mirip dengan rata-rata tax ratio kelompok negara miskin (low income countries).
Ke depan, gejala pelemahan penerimaan pajak ini akan terus terjadi dan menambah tinggi risikonya dengan efek pandemi. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan reformasi perpajakan di Indonesia. Patut disyukuri, agenda reformasi tersebut sudah mulai dilakukan oleh pemerintah dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Agenda Reformasi
Salah satu yang perlu dilakukan adalah reformasi instrumen PPh. Dalam komponen penerimaan pajak, penerimaan PPh merupakan yang terbesar jumlahnya, kontribusinya mencapai 55,5% dari total penerimaan pajak. Meski terbesar, realisasi penerimaannya setiap tahun cenderung menurun. Pada 2020, total penerimaan PPh (migas dan non migas) sebesar Rp593,9 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan penerimaan PPh pada 2019 yang mencapai Rp772,3 triliun.
Banyak persoalan yang terjadi dalam penerimaan PPh tersebut. Hal yang krusial terjadi pada PPh Badan dan PPh Orang Pribadi (OP). Pada PPh Badan, kita menghadapi kondisi, semakin banyaknya Wajib Pajak (WP) Badan yang melaporkan kerugian dalam laporan pajaknya. Berdasarkan laporan dari Kementerian Keuangan, pada 2012, ada sekitar 8% dari total WP Badan yang terdaftar yang melaporkan rugi, sedangkan pada 2019 meningkat menjadi 11%. Anehnya, ada yang melaporkan terus merugi selama lima tahun berturut-turut. Jumlahnya pada periode 2015-2019 mencapai 9.496 WP. Tapi, usaha mereka terus berkembang bahkan terus berekspansi.
Selain itu, semakin banyak WP Badan yang menggunakan skema penghindaran pajak. Dan hal tersebut telah menjadi permasalah global. Berdasarkan data dari UNCTAD pada 2013, sekitar 60-80% perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Di Indonesia sendiri jumlahnya mencapai 37-42% dari PDB, dilaporkan sebagai transaksi afiliasi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) WP. Maraknya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) oleh WP Badan ini semakin mengerus realisasi penerimaan PPh. Hal ini menjadi perhatian pemerintah untuk merumuskan agenda reformasi PPh ke depannya.
Di instrumen PPh OP lebih runyam lagi. Selain penerimaannya sangat rendah, rata-rata hanya Rp84,6 triliun per tahun, instrumen ini sangat tidak berkeadilan. Kontribusi PPh OP dengan tarif tertinggi (30% untuk kelompok Penghasilan Kena Pajak/PKP lebih dari Rp5 miliar setahun) hanya 1,42% dari total WP OP. Jumlah WP OP dari kelompok ini juga hanya 0,03%. Bandingkan dengan WP OP kelompok PKP Rp0-50 juta sebesar 85,66% dan Rp50-250 juta sebesar 10,87%. Ini menunjukan minimnya penerimaan PPh OP pada kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia.
Meski tarif PPh OP ini bersifat progresif, tapi dengan kondisi lapisan PKP (tax bracket) yang hanya 4 lapis dan tarif tertinggi 30%, maka prinsip-prinsip keadilan dalam pengenaan PPh pada instrumen ini tidak optimal. Di banyak negara, tax bracket bisa mencapai 7-11 lapis PKP dengan tarif tertinggi mencapai 35-75%. Semakin banyak tax bracket, semakin optimal penerapan pajak progresif.
Dari kondisi di atas, ada tiga agenda reformasi yang perlu didorong dalam instrumen PPh. Pertama, perlu menerapakan kebijakan alternative minimum tax. Kebijakan ini merespon banyaknya WP Badan yang melaporkan rugi, sehingga tidak membayar pajak. Dengan kebijakan alternative minimum tax, pemerintah bisa menarik pajak dengan menghitungnya dari penghasilan bruto, misalnya 1% dari penghasilan bruto. Jika ini bisa dilakukan, maka tidak ada lagi WP Badan yang tidak membayar pajak karena alasan rugi.
Kedua, melakukan perubahan terhadap tax bracket dan tarif PPh OP. Perubahan ini penting agar bisa mengoptimalkan tarif pajak progresif pada kelompok PKP yang berpenghasilan tinggi. Sarannya adalah menambah satu sampai dua lapis lagi kelompok PKP besar dari Rp500 juta dan menaikan tarif tertinggi sebesar 35-40% pada lapisan PKP tertinggi.
Ketiga, memasukan instrumen general anti-avoidance rule (GAAR) sebagai upaya pemerintah untuk mengejar transaksi-transaksi yang bertujuan menghindari pembayaran pajak. Instrumen ini penting, agar otoritas pajak memiliki kewenangan besar mengejar pelaku penghindaran tersebut. Pemerintah bisa mengadopsi instrumen GAAR dari dokumen BEPS Action Plan yang direkomendasikan oleh OECD dan telah banyak diterapkan di berbagai negara. Tiga agenda perbaikan ini harus bisa masuk ke dalam RUU KUP dan menjadi basis dalam reformasi PPh di Indonesia.
Peneliti Kebijakan Publik
REALISASI penerimaan pajak compang-camping dihantam oleh pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pada 2020, total realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.070 triliun atau 89,3% dari target pemerintah. Angka tersebut terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi penerimaan pajak pada 2019. Begitu juga pada semester I/2021, penerimaan pajak baru tumbuh sebesar 4,89%. Bahkan, pajak penghasilan (PPh) badan masih terkontraksi sebesar 7,3% (YoY)
Pandemi Covid-19 menjadi alasan melemahnya penerimaan pajak. Meski demikian, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang akibat pandemi, perekonomian Indonesia terkontraksi sebesar 2,07% pada 2020. Untuk menekan agar tidak mengalami kontraksi yang lebih dalam, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak, seperti diskon angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan potongan tarif PPh Badan. Sehingga, berakibat pada berkurangnya penerimaan pajak.
Meski demikian, rendahnya realisasi penerimaan pajak tersebut sudah menjadi gejala lama, bahkan sebelum pandemi. Terbukti, data nisbah bagi hasil antara realisasi penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio selalu mengalami penurunan. Menarikanya, perkembangan tax ratio belum mengikuti perkembangan PDB. Tax ratioIndonesia pada 2020 hanya 7,9%. Ini mirip dengan rata-rata tax ratio kelompok negara miskin (low income countries).
Ke depan, gejala pelemahan penerimaan pajak ini akan terus terjadi dan menambah tinggi risikonya dengan efek pandemi. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan reformasi perpajakan di Indonesia. Patut disyukuri, agenda reformasi tersebut sudah mulai dilakukan oleh pemerintah dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Agenda Reformasi
Salah satu yang perlu dilakukan adalah reformasi instrumen PPh. Dalam komponen penerimaan pajak, penerimaan PPh merupakan yang terbesar jumlahnya, kontribusinya mencapai 55,5% dari total penerimaan pajak. Meski terbesar, realisasi penerimaannya setiap tahun cenderung menurun. Pada 2020, total penerimaan PPh (migas dan non migas) sebesar Rp593,9 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan penerimaan PPh pada 2019 yang mencapai Rp772,3 triliun.
Banyak persoalan yang terjadi dalam penerimaan PPh tersebut. Hal yang krusial terjadi pada PPh Badan dan PPh Orang Pribadi (OP). Pada PPh Badan, kita menghadapi kondisi, semakin banyaknya Wajib Pajak (WP) Badan yang melaporkan kerugian dalam laporan pajaknya. Berdasarkan laporan dari Kementerian Keuangan, pada 2012, ada sekitar 8% dari total WP Badan yang terdaftar yang melaporkan rugi, sedangkan pada 2019 meningkat menjadi 11%. Anehnya, ada yang melaporkan terus merugi selama lima tahun berturut-turut. Jumlahnya pada periode 2015-2019 mencapai 9.496 WP. Tapi, usaha mereka terus berkembang bahkan terus berekspansi.
Selain itu, semakin banyak WP Badan yang menggunakan skema penghindaran pajak. Dan hal tersebut telah menjadi permasalah global. Berdasarkan data dari UNCTAD pada 2013, sekitar 60-80% perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Di Indonesia sendiri jumlahnya mencapai 37-42% dari PDB, dilaporkan sebagai transaksi afiliasi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) WP. Maraknya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) oleh WP Badan ini semakin mengerus realisasi penerimaan PPh. Hal ini menjadi perhatian pemerintah untuk merumuskan agenda reformasi PPh ke depannya.
Di instrumen PPh OP lebih runyam lagi. Selain penerimaannya sangat rendah, rata-rata hanya Rp84,6 triliun per tahun, instrumen ini sangat tidak berkeadilan. Kontribusi PPh OP dengan tarif tertinggi (30% untuk kelompok Penghasilan Kena Pajak/PKP lebih dari Rp5 miliar setahun) hanya 1,42% dari total WP OP. Jumlah WP OP dari kelompok ini juga hanya 0,03%. Bandingkan dengan WP OP kelompok PKP Rp0-50 juta sebesar 85,66% dan Rp50-250 juta sebesar 10,87%. Ini menunjukan minimnya penerimaan PPh OP pada kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia.
Meski tarif PPh OP ini bersifat progresif, tapi dengan kondisi lapisan PKP (tax bracket) yang hanya 4 lapis dan tarif tertinggi 30%, maka prinsip-prinsip keadilan dalam pengenaan PPh pada instrumen ini tidak optimal. Di banyak negara, tax bracket bisa mencapai 7-11 lapis PKP dengan tarif tertinggi mencapai 35-75%. Semakin banyak tax bracket, semakin optimal penerapan pajak progresif.
Dari kondisi di atas, ada tiga agenda reformasi yang perlu didorong dalam instrumen PPh. Pertama, perlu menerapakan kebijakan alternative minimum tax. Kebijakan ini merespon banyaknya WP Badan yang melaporkan rugi, sehingga tidak membayar pajak. Dengan kebijakan alternative minimum tax, pemerintah bisa menarik pajak dengan menghitungnya dari penghasilan bruto, misalnya 1% dari penghasilan bruto. Jika ini bisa dilakukan, maka tidak ada lagi WP Badan yang tidak membayar pajak karena alasan rugi.
Kedua, melakukan perubahan terhadap tax bracket dan tarif PPh OP. Perubahan ini penting agar bisa mengoptimalkan tarif pajak progresif pada kelompok PKP yang berpenghasilan tinggi. Sarannya adalah menambah satu sampai dua lapis lagi kelompok PKP besar dari Rp500 juta dan menaikan tarif tertinggi sebesar 35-40% pada lapisan PKP tertinggi.
Ketiga, memasukan instrumen general anti-avoidance rule (GAAR) sebagai upaya pemerintah untuk mengejar transaksi-transaksi yang bertujuan menghindari pembayaran pajak. Instrumen ini penting, agar otoritas pajak memiliki kewenangan besar mengejar pelaku penghindaran tersebut. Pemerintah bisa mengadopsi instrumen GAAR dari dokumen BEPS Action Plan yang direkomendasikan oleh OECD dan telah banyak diterapkan di berbagai negara. Tiga agenda perbaikan ini harus bisa masuk ke dalam RUU KUP dan menjadi basis dalam reformasi PPh di Indonesia.
(bmm)