Kejaksaan Belum Lepas dari Dosa Masa Lalu
loading...
A
A
A
Melalui staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Kurnia Ramadhana, ICW menilai pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung harus disorot demi menghindari upaya untuk melindungi oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat dalam praktik korupsi.
Kedua, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Miftahul di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim.
Atas dasar ini maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni: pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu.
Kurnia juga menyayangkan pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Miftahul di persidangan.”Seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora,” ujarnya kepada SINDOnews.
Ini bukan kali pertama Kejaksaan Agung terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya. Pada pertengahan tahun 2019 yang lalu –saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta- anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri.
Ia lantas mengingatkan,isu perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Regulasi untuk melindungi para saksi pun tercantum dalam Pasal 32 huruf a United Nation Convention Against Corruption yang menyebutkan bahwa setiap negara wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dan dengan segala cara menyediakan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman terhadap para saksi yang memberikan kesaksian mengenai tindak pidana korupsi.
Lain lagi yang disorot oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Luhut MP Pangaribuan. Ia berpendapat munculnya isu suap terhadap seorang pejabat Kejaksaan Agung menunjukkan lembaga penuntut umum itu belum berubah.
“Walaupun suap baru sekadar isu, itu sudah sesuatu banget,” sahutnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (29/5) petang.
Dalam hal ini,menurutnya ada aspek etika yang diabaikan. “Mereka sepertinya mengisolasi diri dari kritikan yang disampaikan masyarakat.” Ini, lanjutnya, juga terkait deegan soal kepemimpinan dan budaya yang diciptakan di jajaran kejaksaan.
Kedua, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Miftahul di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim.
Atas dasar ini maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni: pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu.
Kurnia juga menyayangkan pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Miftahul di persidangan.”Seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora,” ujarnya kepada SINDOnews.
Ini bukan kali pertama Kejaksaan Agung terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya. Pada pertengahan tahun 2019 yang lalu –saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta- anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri.
Ia lantas mengingatkan,isu perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Regulasi untuk melindungi para saksi pun tercantum dalam Pasal 32 huruf a United Nation Convention Against Corruption yang menyebutkan bahwa setiap negara wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dan dengan segala cara menyediakan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman terhadap para saksi yang memberikan kesaksian mengenai tindak pidana korupsi.
Lain lagi yang disorot oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Luhut MP Pangaribuan. Ia berpendapat munculnya isu suap terhadap seorang pejabat Kejaksaan Agung menunjukkan lembaga penuntut umum itu belum berubah.
“Walaupun suap baru sekadar isu, itu sudah sesuatu banget,” sahutnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (29/5) petang.
Dalam hal ini,menurutnya ada aspek etika yang diabaikan. “Mereka sepertinya mengisolasi diri dari kritikan yang disampaikan masyarakat.” Ini, lanjutnya, juga terkait deegan soal kepemimpinan dan budaya yang diciptakan di jajaran kejaksaan.