Kejaksaan Belum Lepas dari Dosa Masa Lalu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Era reformasi sudah berjalan 22 tahun, tapi bidang hukum masih berjalan di tempat. Isu jual-beli hukum masih terus bermunculan. Padahal ini salah satu persoalan pelik yang dituntut oleh rakyat saat menggelar aksi penggulingan Orde Baru.
Aksi korup aparat hukum terus dipertontonkan hingga kini. Perkara paling baru adalah isu suap yang dihembuskan oleh Miftahul Ulum, mantan staf pribadi mantan Menpora Imam Nachrawi, yang melantunkan lagu merdu soal adanya setoran uang Rp 7 miliar bagi mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman.
Pengakuan itu disampaikan Miftahul saat memberi kesaksian di persidangan kasus suap di Kemenpora baru-baru ini.
Betul, perkara itu masih harus diselidiki lebih lanjut. Namun, seperti kata pepatah, tak mungkin muncul asap tanpa adanya api.
Entah mengapa mereka tak mau belajar dari kesalahan masa lalu. Jangan lupa, dulu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk akibat rakyat tak lagi percaya terhadap aparat Kejaksaan dan Polri, terutama dalam menangani perkara korupsi.
Kala itu, aparat Gedung Bundar (kantor Jaksa Agung Muda Tindak pidana Khusus) sangat royal memberi SP3 (Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan) terhadap para tersangka kasus korupsi.
Mereka juga terlalu gampang menerbitkan surat izin sakit untuk terduga koruptor. Salah satu surat keterangan sakit paling kondang adalah untuk Sjamsul Nursalim, obligor terbesar kedua yang menyelewengkan uang negara sebesar Rp28 triliun. Ia hanya menyicipi dinginnya lantai bui satu malam, sebelum akhirnya kabur ke Singapura.
Nah, kalau pun sang tersangka yang disidik diajukan ke pengadilan, mereka banyak yang dibebaskan hakim. Kuat dugaan aparat sengaja melonggarkan penuntutan agar terdakwa lolos dari jerat hukum.
Gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan jika bisa berbicara akan menjadi saksi, betapa hampir semua terdakwa yang diadili di sana mendapat putusan bebas.
Lagu merdu milik Miftahul Ulum dilantunkan saat diperiksa dalam penanganan kasus dugaan korups dana hibah KONI tahun 2017 yang ditangani Kejaksaan Agung. Ia mengaku mengucurkan dana “pengamanan” Rp 7 miliar untuk Jamidsus (kala itu) Adi Toegarisman.
Dalam pemeriksaan perkara itu, diyakini ada cukup bukti. Nah, untuk menutup perkara agar tak berlanjut ke meja hijau, lantas ada upaya untuk menutupnya.
Tentu saja selain Kejaksaan Agung, BPK selaku pemeriksa dana hibah tersebut harus dilibatkan. Tak heran jika Miftahul juga menyebut Anggota BPK Achsanul Qosasi turut menerima uang sebesar Rp 3 miliar.
Di luar pemeriksaan Kejaksaan Agung, pada 2018 Miftahul disidik KPK. Komisi pimpinan Firli Bahuri menyidiknya untuk perkara dugaan suap dari pejabat KONI untuk Kemenpora.
Adi Toegarisman tentu saja membantah tudingan itu. "Itu tudingan yang sangat keji terhadap saya, fitnah. Ini bulan Ramadhan, demi Allah tidak ada itu seperti yang dituduhkan ke saya," ujar Adi di Jakarta, Senin (18/5/2020) pekan lalu.
Tak lupa ia membeberkan hingga saat ini perkara yang berasal dari pengaduan masyarakat tanggal 16 Maret 2018 masih berlanjut. Dan pada 13 Maret 2019 ia menyetujui untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan
"Jadi rentetan penanganan perkara sangat cepat, tidak ada itu untuk menghentikan perkara, semua berjalan sesuai aturan, bahkan sampai sekarang masih berjalan perkara," ungkapnya.
Bahkan, kata Adi, dalam perkara ini sudah 50 orang saksi diperiksa oleh tim penyidik dan 2 orang saksi ahli. "Ini kan berjalan perkaranya, tidak ada untuk menghentikan," ujarnya seraya menambahkan,”Saya mendorong Kejagung ungkap motif dari fitnah ini," ujarnya.
Gayung pun bersambut. Miftahul telah dipanggil oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam perkara dana hibah KONI tyahun 2017 yang sedang ditangani oleh tim yang sebelumnya dikomandani Adi Toegarisman.
Kejaksaan Agung terkesan menyelamatkan sejawatnya
Adalah hak Adi untuk membantah. Namun pengakuan Miftahul juga harus ditelusuri kebenarannya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak KPK untuk menindaklanjuti pengakuan Miftahul Ulum yang disampaikan di persidangan perkara korupsi di Kemenpora.
Melalui staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Kurnia Ramadhana, ICW menilai pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung harus disorot demi menghindari upaya untuk melindungi oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat dalam praktik korupsi.
Kedua, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Miftahul di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim.
Atas dasar ini maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni: pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu.
Kurnia juga menyayangkan pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Miftahul di persidangan.”Seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora,” ujarnya kepada SINDOnews.
Ini bukan kali pertama Kejaksaan Agung terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya. Pada pertengahan tahun 2019 yang lalu –saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta- anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri.
Ia lantas mengingatkan,isu perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Regulasi untuk melindungi para saksi pun tercantum dalam Pasal 32 huruf a United Nation Convention Against Corruption yang menyebutkan bahwa setiap negara wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dan dengan segala cara menyediakan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman terhadap para saksi yang memberikan kesaksian mengenai tindak pidana korupsi.
Lain lagi yang disorot oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Luhut MP Pangaribuan. Ia berpendapat munculnya isu suap terhadap seorang pejabat Kejaksaan Agung menunjukkan lembaga penuntut umum itu belum berubah.
“Walaupun suap baru sekadar isu, itu sudah sesuatu banget,” sahutnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (29/5) petang.
Dalam hal ini,menurutnya ada aspek etika yang diabaikan. “Mereka sepertinya mengisolasi diri dari kritikan yang disampaikan masyarakat.” Ini, lanjutnya, juga terkait deegan soal kepemimpinan dan budaya yang diciptakan di jajaran kejaksaan.
Dalam kasus Kemenpora, ia meminta jaksa penuntut umum yang mengetahui dan mendengar adanya dugaan suap itu wajib melaporkan ke pimpinan KPK. Dan itu statusnya seperti bukti permulaan, bisa langsung diselidiki atau disidik. “Pertanyaan apakah tim JPU sudah melaporkan ke pimpinan KPK,” sahutnya.
Yang kedua, kalau tidak dilaporkan apakah KPK sudah memerintahkan untuk mengajukan. “Dugaan saya, ini tidak dilaporkan karena menyangkut atasannnya di kejaksaan agung,” ujarnya. Alasannya, jaksa itu bersifat hierarkis dan dalam satu kesatuan. Dengan demikian, apakah pimpinan KPK sudah memerintahkan. “Kalau tak ada, saya harap Dewan Pengawas untuk mengingatkan bukti awal ini untuk diproses lebih lanjut.”
Namun ia pesimistis pengakuan Miftahul bisa ditangani secara layak. Alasannya Ketua KPK saat ini tak lebih bagian dari Mabes Polri. “Ketua KPK saat ini menjadikan posisinya untuk mendapatkan kenaikan pangkat, jadi bintang tiga,” tuturnya. Dan semua penyidiknya jadi ASN. Tapi ia mengingatkan, pimpinan KPK tetap punya kewenangan untumenindaklanjuti pengakuan itu. “Tinggal bagaimana menjalankannya saja,” katanya.
Dari suap recehan hingga miliaran rupiah
Terlepas dari itu, Luhut mengingatkan kejaksaan agar buru-buru berbenah. Tanpa itu jangan harap kewenangan penydidikan dan penuntutan perkara korupsi bisa segera kembali ke Kejaksaan. “Kalau seperti sekarang ini mana mungkin dapat dukungan,” ujarnya sembari menyentil sikap bermewah-mewah seorang jaksa yang hobi mengendarai mobil sport.
Luhut tak asal ngomong. Menurut catatan SINDOnews, sekali 2008-2019 ada 22 orang jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Mereka tersebar di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Kejari Cibinong, Kejari Praya (NTB), Kejari Jawa Barat, Kejari DI Yogyakarta, Kejari Surabaya, Kejari Lampung, Kejari Soe (NTT), Kejari Wamena, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat, Kejati Bengkulu, Kejati DKI, Kejati Bali, Kejati Maluku.
Mirisnya ada di antara mereka yang bersedia menjual pangkat dan jabatannya seharga Rp 100 juta, meski ada yang high profile, Rp 6 miliar, seperti Jaksa Urip Tri Gunawan.
Jaksa Urip yang tertangkap tangan menerima suap Rp 6miliar dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan Sjamsul Nursalim akhirnya dihukum 20 tahun.
Dari kisah penangkapannya terselip sebuah isu sangat menarik. Konon, saat ia dilaporkan kena OTT oleh KPK, Jaksa Agung saat itu (Hendarman Supanji) menelepon Ketua KPK Antasari Azhar agar Urip diserahkan ke kejaksaan.
Rupanya Antasari sendiri belum tahu ada penangkapan itu. Menurut bisik-bisik, tim penyergap Urip memang sengaja tak memberi tahu Antasari. Mereka khawatir jika Antasari yang berpredikat jaksa juga akan membatalkan penangkapan itu, atau paling tidak bersedia menyerakan Urip ke rekan satu korpsnya.
Aksi korup aparat hukum terus dipertontonkan hingga kini. Perkara paling baru adalah isu suap yang dihembuskan oleh Miftahul Ulum, mantan staf pribadi mantan Menpora Imam Nachrawi, yang melantunkan lagu merdu soal adanya setoran uang Rp 7 miliar bagi mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman.
Pengakuan itu disampaikan Miftahul saat memberi kesaksian di persidangan kasus suap di Kemenpora baru-baru ini.
Betul, perkara itu masih harus diselidiki lebih lanjut. Namun, seperti kata pepatah, tak mungkin muncul asap tanpa adanya api.
Entah mengapa mereka tak mau belajar dari kesalahan masa lalu. Jangan lupa, dulu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk akibat rakyat tak lagi percaya terhadap aparat Kejaksaan dan Polri, terutama dalam menangani perkara korupsi.
Kala itu, aparat Gedung Bundar (kantor Jaksa Agung Muda Tindak pidana Khusus) sangat royal memberi SP3 (Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan) terhadap para tersangka kasus korupsi.
Mereka juga terlalu gampang menerbitkan surat izin sakit untuk terduga koruptor. Salah satu surat keterangan sakit paling kondang adalah untuk Sjamsul Nursalim, obligor terbesar kedua yang menyelewengkan uang negara sebesar Rp28 triliun. Ia hanya menyicipi dinginnya lantai bui satu malam, sebelum akhirnya kabur ke Singapura.
Nah, kalau pun sang tersangka yang disidik diajukan ke pengadilan, mereka banyak yang dibebaskan hakim. Kuat dugaan aparat sengaja melonggarkan penuntutan agar terdakwa lolos dari jerat hukum.
Gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan jika bisa berbicara akan menjadi saksi, betapa hampir semua terdakwa yang diadili di sana mendapat putusan bebas.
Lagu merdu milik Miftahul Ulum dilantunkan saat diperiksa dalam penanganan kasus dugaan korups dana hibah KONI tahun 2017 yang ditangani Kejaksaan Agung. Ia mengaku mengucurkan dana “pengamanan” Rp 7 miliar untuk Jamidsus (kala itu) Adi Toegarisman.
Dalam pemeriksaan perkara itu, diyakini ada cukup bukti. Nah, untuk menutup perkara agar tak berlanjut ke meja hijau, lantas ada upaya untuk menutupnya.
Tentu saja selain Kejaksaan Agung, BPK selaku pemeriksa dana hibah tersebut harus dilibatkan. Tak heran jika Miftahul juga menyebut Anggota BPK Achsanul Qosasi turut menerima uang sebesar Rp 3 miliar.
Di luar pemeriksaan Kejaksaan Agung, pada 2018 Miftahul disidik KPK. Komisi pimpinan Firli Bahuri menyidiknya untuk perkara dugaan suap dari pejabat KONI untuk Kemenpora.
Adi Toegarisman tentu saja membantah tudingan itu. "Itu tudingan yang sangat keji terhadap saya, fitnah. Ini bulan Ramadhan, demi Allah tidak ada itu seperti yang dituduhkan ke saya," ujar Adi di Jakarta, Senin (18/5/2020) pekan lalu.
Tak lupa ia membeberkan hingga saat ini perkara yang berasal dari pengaduan masyarakat tanggal 16 Maret 2018 masih berlanjut. Dan pada 13 Maret 2019 ia menyetujui untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan
"Jadi rentetan penanganan perkara sangat cepat, tidak ada itu untuk menghentikan perkara, semua berjalan sesuai aturan, bahkan sampai sekarang masih berjalan perkara," ungkapnya.
Bahkan, kata Adi, dalam perkara ini sudah 50 orang saksi diperiksa oleh tim penyidik dan 2 orang saksi ahli. "Ini kan berjalan perkaranya, tidak ada untuk menghentikan," ujarnya seraya menambahkan,”Saya mendorong Kejagung ungkap motif dari fitnah ini," ujarnya.
Gayung pun bersambut. Miftahul telah dipanggil oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam perkara dana hibah KONI tyahun 2017 yang sedang ditangani oleh tim yang sebelumnya dikomandani Adi Toegarisman.
Kejaksaan Agung terkesan menyelamatkan sejawatnya
Adalah hak Adi untuk membantah. Namun pengakuan Miftahul juga harus ditelusuri kebenarannya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak KPK untuk menindaklanjuti pengakuan Miftahul Ulum yang disampaikan di persidangan perkara korupsi di Kemenpora.
Melalui staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Kurnia Ramadhana, ICW menilai pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung harus disorot demi menghindari upaya untuk melindungi oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat dalam praktik korupsi.
Kedua, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Miftahul di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim.
Atas dasar ini maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni: pemanggilan Miftahul oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu.
Kurnia juga menyayangkan pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Miftahul di persidangan.”Seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora,” ujarnya kepada SINDOnews.
Ini bukan kali pertama Kejaksaan Agung terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya. Pada pertengahan tahun 2019 yang lalu –saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta- anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri.
Ia lantas mengingatkan,isu perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Regulasi untuk melindungi para saksi pun tercantum dalam Pasal 32 huruf a United Nation Convention Against Corruption yang menyebutkan bahwa setiap negara wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat dan dengan segala cara menyediakan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau ancaman terhadap para saksi yang memberikan kesaksian mengenai tindak pidana korupsi.
Lain lagi yang disorot oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Luhut MP Pangaribuan. Ia berpendapat munculnya isu suap terhadap seorang pejabat Kejaksaan Agung menunjukkan lembaga penuntut umum itu belum berubah.
“Walaupun suap baru sekadar isu, itu sudah sesuatu banget,” sahutnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (29/5) petang.
Dalam hal ini,menurutnya ada aspek etika yang diabaikan. “Mereka sepertinya mengisolasi diri dari kritikan yang disampaikan masyarakat.” Ini, lanjutnya, juga terkait deegan soal kepemimpinan dan budaya yang diciptakan di jajaran kejaksaan.
Dalam kasus Kemenpora, ia meminta jaksa penuntut umum yang mengetahui dan mendengar adanya dugaan suap itu wajib melaporkan ke pimpinan KPK. Dan itu statusnya seperti bukti permulaan, bisa langsung diselidiki atau disidik. “Pertanyaan apakah tim JPU sudah melaporkan ke pimpinan KPK,” sahutnya.
Yang kedua, kalau tidak dilaporkan apakah KPK sudah memerintahkan untuk mengajukan. “Dugaan saya, ini tidak dilaporkan karena menyangkut atasannnya di kejaksaan agung,” ujarnya. Alasannya, jaksa itu bersifat hierarkis dan dalam satu kesatuan. Dengan demikian, apakah pimpinan KPK sudah memerintahkan. “Kalau tak ada, saya harap Dewan Pengawas untuk mengingatkan bukti awal ini untuk diproses lebih lanjut.”
Namun ia pesimistis pengakuan Miftahul bisa ditangani secara layak. Alasannya Ketua KPK saat ini tak lebih bagian dari Mabes Polri. “Ketua KPK saat ini menjadikan posisinya untuk mendapatkan kenaikan pangkat, jadi bintang tiga,” tuturnya. Dan semua penyidiknya jadi ASN. Tapi ia mengingatkan, pimpinan KPK tetap punya kewenangan untumenindaklanjuti pengakuan itu. “Tinggal bagaimana menjalankannya saja,” katanya.
Dari suap recehan hingga miliaran rupiah
Terlepas dari itu, Luhut mengingatkan kejaksaan agar buru-buru berbenah. Tanpa itu jangan harap kewenangan penydidikan dan penuntutan perkara korupsi bisa segera kembali ke Kejaksaan. “Kalau seperti sekarang ini mana mungkin dapat dukungan,” ujarnya sembari menyentil sikap bermewah-mewah seorang jaksa yang hobi mengendarai mobil sport.
Luhut tak asal ngomong. Menurut catatan SINDOnews, sekali 2008-2019 ada 22 orang jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Mereka tersebar di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Kejari Cibinong, Kejari Praya (NTB), Kejari Jawa Barat, Kejari DI Yogyakarta, Kejari Surabaya, Kejari Lampung, Kejari Soe (NTT), Kejari Wamena, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat, Kejati Bengkulu, Kejati DKI, Kejati Bali, Kejati Maluku.
Mirisnya ada di antara mereka yang bersedia menjual pangkat dan jabatannya seharga Rp 100 juta, meski ada yang high profile, Rp 6 miliar, seperti Jaksa Urip Tri Gunawan.
Jaksa Urip yang tertangkap tangan menerima suap Rp 6miliar dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan Sjamsul Nursalim akhirnya dihukum 20 tahun.
Dari kisah penangkapannya terselip sebuah isu sangat menarik. Konon, saat ia dilaporkan kena OTT oleh KPK, Jaksa Agung saat itu (Hendarman Supanji) menelepon Ketua KPK Antasari Azhar agar Urip diserahkan ke kejaksaan.
Rupanya Antasari sendiri belum tahu ada penangkapan itu. Menurut bisik-bisik, tim penyergap Urip memang sengaja tak memberi tahu Antasari. Mereka khawatir jika Antasari yang berpredikat jaksa juga akan membatalkan penangkapan itu, atau paling tidak bersedia menyerakan Urip ke rekan satu korpsnya.
(rza)