Kebenaran Dahulu, Kebagusan Kemudian: Refleksi Kesenian saat Pandemi

Selasa, 27 Juli 2021 - 17:14 WIB
loading...
Kebenaran Dahulu, Kebagusan Kemudian: Refleksi Kesenian saat Pandemi
Return, Awang Behartawan, Akrilik diatas Kanvas, 200x400cm, 2019. Foto/Istimewa
A A A
Bambang Asrini Widjanarko
Esais
Pemerhati Masalah Isu Budaya, Sosial, dan Seni

SEPERTI sering disebut pelukis Sudjojono, yang dianggap Bapak Seni Lukis Baru Indonesia, dengan tinjauan kritisnya tentang seniman, kesenian dan masyarakat tetap relevan sepanjang zaman. Apalagi kala pandemi, saat para pekerja seni dan sebagian besar seniman hampir “lumpuh total” sejak satu setengah tahun ini.

Lamat-lamat wejangan Sudjojono menampar keras wajah kita bersama, tatkala terjadinya polemik tentang seni rupa hanya beralas wacana dan ketrampilan membangun diskursus; membungkus ide-ide “abstraktif nan jauh dilangit”. Sudjojono membuka esai tenarnya, sungguh menyentak dengan “Kebenaran Nomor Satu, Baru Kebagusan” yang mendeklarasikan bahwa seni lukis baru tidak mempropagandakan kebagusan, akan tetapi mengkampanyekan kebenaran utuh pada tiap orang.

Kebenaran yang dinukil dari tulisan Sudjojono relasinya dengan fenomena saat ini bukanlah sebuah paradigma teoritik saja, atau taruhlah tinjauan “subject matter” semata dalam kajian estetika—tentang yang indah dan bagus, memaparkan representasi simbolik, tema-tema tertentu yang menggugah dan menampilkan wujud apa adanya sebagai sebuah pesan dan kompleksnya imej dan kode-kode visual di kanvas mengenai realitas.

Namun lebih luas, sejatinya kesenian ala Sudjojono saat ini yang paling masuk akal adalah manifestasi bersama dalam berkesadaran memahami dunia aktual secara komunal. Seni berkaca pada yang etik dan pragmatik, selain yang logik dan estetik.

Untuk sementara, kita layak menghindari perdebatan dunia Platonian klasik bahwa keindahan berada dalam dunia ide yang supersensible, yang sohor dikenal sebagai quasi-sensory, atau Imannuel Kant dengan filsafat transedentalnya yang melabuhkan sensasi keindahan pada kriteria kognisi dalam perspektif yang wantah saja.

Di era pandemi, “Kebenaran” dalam teks Sudjojono layak dibaca sebagai teks terbuka: bagaimana secara sistemik ekosistem seni kita mampu bertindak---yang dalam pandangan Kant juga “kebenaran seni dan suasana kebatinan” untuk saling dekap, berempati, berbenah diri sembari berurgensi mendukung para pekerja seni?

Ekosistem: Negosisasi dan Kuasa Simbolik
Bourdieu, cendekia dan sosiolog itu dengan sangat jelas mendefiniskan ekosistem yang sehat dan tidak timpang dalam kesenian bisa diterjemahkan sebagai bertemunya modal budaya, modal sosial, modal ekonomi serta modal simbolik di sebuah gelanggang yang setara.

Sebuah ruang dialektika dan lokasi yang didinamisasi realitas objektif sekaligus subjektif serta didukung oleh tiap elemen didalamnya. Secara mental, seperti: pemilik balai lelang, kolektor, kurator, seniman, art dealer, pemilik galeri, eksekutif di institusi seni, pemilik art fair, event organizer, kritikus, penulis-penulis, para artisan serta pekerja displayer dan pembuat buku seni dan juga pejabat pemerintah dan lain-lain dapat juga direlasikan dengan konsep lainnya, habitus.

Bourdieu menyebut bahwa mereka memiliki peran masing-masing secara kognitif eksis, menyetubuh dalam perilaku dan tindakan-tindakan individual. Tak pelak, seluruh elemen-elemen itu tentu terjadi negosiasi tak pernah berujung yang menampilkan disposisi, preposisi dan oposisi antara yang satu dan lainnya dalam sebuah habitus.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1616 seconds (0.1#10.140)