Kebenaran Dahulu, Kebagusan Kemudian: Refleksi Kesenian saat Pandemi

Selasa, 27 Juli 2021 - 17:14 WIB
loading...
A A A
Realitas mental, yang kognitif itu bertemu dengan realitas obyektif, di gelanggang seni yang memang riil dan saling bersalin posisi. Kelas menengah di Indonesia yang belum begitu mandiri, belum bisa sepenuhnya bertanggung jawab dalam konteks filantropi, yakni: bertemunya modal simbolik, kultural dan ekonominya dalam satu elemen, sebagai misal para pengusaha, CEO dan komisioner sebuah korporat privat multinasional raksasa, sekaligus kolektor yang well informed dan well educated.

Mereka sebagian besar kurang mampu ---kecuali sebagian sangat kecil--- membangun istitusi-institusi seni berupa yayasan seni nirlaba yang berwibawa, kuat pun matang dan memberi pencerahan dengan tetap berkontribusi aktif dalam medan seni bahkan di masa pandemi, sebagai misal: Museum MACAN.

Maka sejujurnya dikatakan, ada ketimpangan-ketimpangan; hingga “dialog dan relasi pembagian kuasa tentang kesenian” yang majemuk antar elemen dalam gelanggang seni tersebut (diambil dari konsep ranah, field dari Buordieu) terjadi ketika distribusi nilai—nilai dan pluralnya modal antar elemen didalamnya menjadi minim dan kurang memberi manfaat lebih luas.

Cendikia dengan pendekatan multi kultural itu mengenalkan juga dengan sangat cerlang konsep tentang Doxa, yakni sebuah kuasa simbolik yang represif menghegemoni yang justru diterima di gelanggang seni secara wajar. Di masa silam, konsep itu bisa berupa dukungan-dukungan dari negara atas sebuah instusi seni yang diguyur dana besar pemerintah pusat atau lokal dan para ilmuwan seni terpilih yang berkuasa didalamnya.

Mereka mencipta program-program dan agenda-agenda kesenian tertentu. Doxa menjadi semacam ruang “ketaksadaran” untuk pemakluman dan memahami sebuah kondisi khusus, baik secara diskursus pun secara praksis.

Konsentrasi Doxa cenderung berpihak yang memberi peluang sejumlah elemen kecil dalam gelanggang seni tersebut meraih keuntungan, seperti pemberian privilege komunitas seni dan seniman-seniman serta pendukungnya yang dianggap dominan, serta menganggap posisi demikian adalah sahih dan bisa dibertanggungjawabkan secara menyeluruh.

Sebagai dicontohkan di atas, agenda-agenda program, misalnya sebuah event seni besar program Dewan Kesenian yang memaknai Doxa sebagai seperangkat kriteria, semacam tata-tertib dan aturan estetis, nilai-nilai tertentu, kesepakatan-kesepakatan dan wacana yang mengatur sedemikian rupa gelanggang seni seolah-olah itu adalah sesuatu yang wajar dan sesuai dengan fitrah akal sehat.

Stimulus dan Hibah serta Tujuh Kebijakan Barat
Maka yang disebut gerhana, dalam polemik seni rupa beberapa waktu ini di media-media online dan koran cetak idealnya bermuara pada konsepsi seni berparas etik dan pragmatik.

Bagaimana sejatinya hibah senilai Rp2,4 triliun yang akan digelontorkan pada akhir Juli 2021 dan di masa pandemi untuk sektor ekonomi kreatif, budaya dan seni pun stimulus-stimulus lainnya yang dijanjikan pemerintah tersebut seharusnya bisa dikontrol dan dijamin transparan serta tepat sasaran dalam tulisan-tulisan polemik di media massa?

Bagaimana juga Kemendikbud, Kemenparekraf, Kemenkeu, dan Kemenperin bisa saling terbuka dan bersinergi bertanggung jawab terhadap penggelontoran dana-dana tersebut? Konsep Doxa, kemudian mengemuka dengan catatan tentang seberapa adil, kompetensi dan kriteria bagi penerima hibah itu kelak?
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2109 seconds (0.1#10.140)