PP No 75 dan Konflik Kekuasaan di UI
loading...
A
A
A
Maqdir Ismail
Praktisi Hukum
Dalam membaca keributan dan usulan pembatalan Statuta Universitas Indonesia (UI), tidak bisa dilihat secara sederhana. Seolah-olah keberadaan dan perubahan Statuta UI hanya untuk melindungi rangkap jabatan Rektor Prof. Ari Kuncoro.
Ada hal yang lebih mendasar dari itu. Pertama, perubahan kewenangan rektor dalam memberhentikan wakil rektor setiap diperlukan. Kedua, mengenai rangkap jabatan. Ketiga, hilangnya kewenangan dewan guru besar dalam memberikan penilaian dan persetujuan kenaikan jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar dan memberikan pertimbangan/masukan perubahan RPJP, Renstra, atau RKA di bidang akademik.
Ketiga hal ini tidak pernah dilihat dan dibicarakan oleh para pengkritik Statuta UI. Namun pernyataan yang sering dikutip adalah proses yang seolah-olah organ lain di UI ditinggalkan dalam pembahasan Statuta.
Perubahan Pasal Pemberhentian Wakil Rektor
Sampai dengan awal Oktober 2020, hubungan antar organ dan pembahasan perubahan Statuta, tidak muncul kepermukaan. Hubungan rektor dengan organ lain baik-baik saja, dan keadaan di UI tidak ada masalah. Pembahasan statuta yang dilakukan antar organ masih lancar-lancar saja. Pembahasan masih dilakukan oleh semua organ. Dari dewan guru besar selalu hadir ketua dewan guru besar. Dari pihak rektorat selalu ada sekretaris universitas dan wakil rektor, dari senat akademik, ketua senat akademik tidak absen, dan tentu saja yang mewakili MWA selalu ada utusan yang hadir.
Pecah kongsi ini terjadi, ketika wakil rektor I diganti oleh wakil rektor III dan wakil rektor IV diganti kepala badan. Wakil rektor IV tidak mempersoalkan ketika diganti dan diberi jabatan baru sebagai staf khusus. Sedangkan ketika jabatan baru sebagai kepala badan ditawarkan kepada wakil rektor I, dia menolak. Alasan saksi yang dia hadirkan di sidang PTUN, karena jabatan yang ditawarkan hanya setara dengan kasubdit. Padahal tidak demikian.
Perseteruan besar terjadi karena adanya pemberhentian wakil rektor I (Bidang Akademik dan Kemahasiswaan), yang tidak dapat menerima pemberhentiannya berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor:1689/SK/UI/2020, tanggal 20 Oktober 2020. Dia gugat Keputusan pemberhentian dan keputusan terhadap pengangkatan pengganti wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan juga dilakukan.
Kemudian, pemberhentian wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ini dipersoalkan secara resmi oleh dewan guru besar dengan surat 26 Oktober 2020, disusul dengan pernyataan keperihatinan pada 27 Oktober oleh sejumlah guru besar. Meskipun ada juga yang menyangkal ikut serta membuat dan setuju dengan pernyataan keperihatinan, karena namanya hanya dicantumkan begitu saja.
Dalam keterangannya di hadapan persidangan PTUN tentang pemberhentian wakil rektor oleh rektor, mantan Rektor UI Prof. Muhammad Anis menyatakan, bahwa ketika antara rektor dan wakil rektor chemistry-nya tidak cocok lagi, maka wakil rektor harus dengan lapang dada menerima pemberhentiannya. Wakil rektor itu ditunjuk rektor, jabatannya bukan dipilih seperti jabatan rektor. Dan yang bertanggung jawab menjalankan roda organisasi universitas adalah rektor, bukan wakil rektor.
Diterangkan pula oleh Prof Muhammad Anis selama dia menjabat Plt rektor, dia memberhentikan tiga orang wakil rektor. Ketika dia sudah menjabat sebagai rektor definitif dia pernah juga memberhentikan dua orang wakil rektor. Tidak ada persoalan dengan pemberhentian ini, karena jabatan itu dimaknai sebagai kepercayaan rektor.
Praktisi Hukum
Dalam membaca keributan dan usulan pembatalan Statuta Universitas Indonesia (UI), tidak bisa dilihat secara sederhana. Seolah-olah keberadaan dan perubahan Statuta UI hanya untuk melindungi rangkap jabatan Rektor Prof. Ari Kuncoro.
Ada hal yang lebih mendasar dari itu. Pertama, perubahan kewenangan rektor dalam memberhentikan wakil rektor setiap diperlukan. Kedua, mengenai rangkap jabatan. Ketiga, hilangnya kewenangan dewan guru besar dalam memberikan penilaian dan persetujuan kenaikan jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar dan memberikan pertimbangan/masukan perubahan RPJP, Renstra, atau RKA di bidang akademik.
Ketiga hal ini tidak pernah dilihat dan dibicarakan oleh para pengkritik Statuta UI. Namun pernyataan yang sering dikutip adalah proses yang seolah-olah organ lain di UI ditinggalkan dalam pembahasan Statuta.
Perubahan Pasal Pemberhentian Wakil Rektor
Sampai dengan awal Oktober 2020, hubungan antar organ dan pembahasan perubahan Statuta, tidak muncul kepermukaan. Hubungan rektor dengan organ lain baik-baik saja, dan keadaan di UI tidak ada masalah. Pembahasan statuta yang dilakukan antar organ masih lancar-lancar saja. Pembahasan masih dilakukan oleh semua organ. Dari dewan guru besar selalu hadir ketua dewan guru besar. Dari pihak rektorat selalu ada sekretaris universitas dan wakil rektor, dari senat akademik, ketua senat akademik tidak absen, dan tentu saja yang mewakili MWA selalu ada utusan yang hadir.
Pecah kongsi ini terjadi, ketika wakil rektor I diganti oleh wakil rektor III dan wakil rektor IV diganti kepala badan. Wakil rektor IV tidak mempersoalkan ketika diganti dan diberi jabatan baru sebagai staf khusus. Sedangkan ketika jabatan baru sebagai kepala badan ditawarkan kepada wakil rektor I, dia menolak. Alasan saksi yang dia hadirkan di sidang PTUN, karena jabatan yang ditawarkan hanya setara dengan kasubdit. Padahal tidak demikian.
Perseteruan besar terjadi karena adanya pemberhentian wakil rektor I (Bidang Akademik dan Kemahasiswaan), yang tidak dapat menerima pemberhentiannya berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor:1689/SK/UI/2020, tanggal 20 Oktober 2020. Dia gugat Keputusan pemberhentian dan keputusan terhadap pengangkatan pengganti wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan juga dilakukan.
Kemudian, pemberhentian wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ini dipersoalkan secara resmi oleh dewan guru besar dengan surat 26 Oktober 2020, disusul dengan pernyataan keperihatinan pada 27 Oktober oleh sejumlah guru besar. Meskipun ada juga yang menyangkal ikut serta membuat dan setuju dengan pernyataan keperihatinan, karena namanya hanya dicantumkan begitu saja.
Dalam keterangannya di hadapan persidangan PTUN tentang pemberhentian wakil rektor oleh rektor, mantan Rektor UI Prof. Muhammad Anis menyatakan, bahwa ketika antara rektor dan wakil rektor chemistry-nya tidak cocok lagi, maka wakil rektor harus dengan lapang dada menerima pemberhentiannya. Wakil rektor itu ditunjuk rektor, jabatannya bukan dipilih seperti jabatan rektor. Dan yang bertanggung jawab menjalankan roda organisasi universitas adalah rektor, bukan wakil rektor.
Diterangkan pula oleh Prof Muhammad Anis selama dia menjabat Plt rektor, dia memberhentikan tiga orang wakil rektor. Ketika dia sudah menjabat sebagai rektor definitif dia pernah juga memberhentikan dua orang wakil rektor. Tidak ada persoalan dengan pemberhentian ini, karena jabatan itu dimaknai sebagai kepercayaan rektor.