PP No 75 dan Konflik Kekuasaan di UI

Senin, 26 Juli 2021 - 16:26 WIB
loading...
A A A
Dalam beberapa statuta, hanya pada Statuta Institut Pertanian Bogor dan Statuta Universitas Indonesia, yang memberikan kedudukan khusus kepada dewan guru besar sebagai organ dari perguruan tinggi. Dalam Statuta ITB, dewan guru besar hanya menjadi forum yang dibentuk oleh senat akademik.

Sedangkan dalam Statuta IPB, guru besar sebagai organ menjalankan pengembangan keilmuan, dan pengembangan budaya akademik. Dalam Statuta Universitas Gadjah Mada, dikatakan, “DGB adalah perangkat UGM yang berfungsi sebagai pemberi nasihat, penjaga integritas moral dan etika sivitas akademika serta mengembangkan pemikiran dan pandangan terkait dengan isu strategis nasional dan/atau internasional dalam rangka mendukung peran dan kontribusi UGM bagi kesejahteraan bangsa dan umat manusia”.

Akan tetapi dalam Statuta Universitas Indonesia, selain sebagai organ Universitas Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 41, memberikan kekuasaan yang besar kepada dewan guru besar. Antara lain dikatakan “tugas dan kewajiban”, “melakukan penilaian dan memberikan persetujuan pada kenaikan jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar untuk ditindaklanjuti oleh rektor; memberikan pertimbangan/masukan kepada rektor dalam penyusunan dan/atau perubahan RPJP, Renstra, atau RKA di bidang akademik”.

Generasi Statuta berikutnya PP No 30/2014, Statuta Universitas Airlangga yang tidak menyebut keberadaan dari dewan guru besar. Sedangkan PP No 53/2015 Statuta Universitas Hasanudin, disebut sebagai dewan profesor yang dikatakan sebagai perangkat Senat Akademik. Adapun PP No 54/2015 Statuta Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dewan profesor dinyatakan sebagai perangkat dari senat akademik.

Konflik terbuka antara pejabat di UI ini bukan sesuatu yang baru. Kita bisa lihat ketika konflik yang keras bahkan “saling pecat” antara MWA dan rektor di tahun 2011 dan 2012. Konflik yang sekarang terjadi di UI, bukan hanya karena adanya rangkap jabatan rektor yang menjadi wakil komisaris, akan tetapi tidak terlepas dari konflik antara rektor dan mantan wakil rektor yang mendapat “dukungan” dari sejumlah guru besar dan dewan guru besar. Tentu saja dapat diduga hal ini semakin panas karena hilangnya “tugas dan kewajiban” strategis dari dewan guru besar yang bisa menjangkau dan mempersoalkan kebijakan yang bukan terkait dengan pengembangan keilmuan di UI.

Terkait dengan pengangkatan guru besar, adalah merupakan kekeliruan yang besar, kalau ada yang menyatakan bahwa kewenangan dan mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, sebagai kewenangan dari dewan guru besar. Karena menurut Pasal 50 ayat (4) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, “..penetapan jenjang jabatan fungsional ditentukan oleh setiap satuan Pendidikan tinggi..”. Tentu maksudnya adalah pimpinan Satuan Pendidikan Tinggi, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Rektor.

Dengan membaca delapan Statuta Universitas yang ada seperti dikemukakan di atas, dan kemudian memeperbandingkan bagian isi dari Statuta No 68 /013 dengan Statuta No 75/2021, maka perubahan satuta tersebut harus dibaca sebagai upaya meluruskan banyak hal terkait kewenangan yang selama ini tumpang tindih dan meluruskan ketentuan sesuai dengan undang-undang di UI.
(poe)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7961 seconds (0.1#10.140)