Sumbang Plasma, Selamatkan Jiwa Sesama
loading...
A
A
A
“Ditambah pemerintah nggak punya data. Mau kejar kemana mereka. Pejabat cari plasma konvalesen aja susah, gimana kalau masyarakat? Palingan mereka andalin saudara familinya. Kalau ada, kalau enggak, mau apa coba,” celetuknya.
Ia pun meminta pemerintah harus tegas dan dapat segera memperbaiki sistem manajemen data Covid-19 sehingga terintegrasi dengan baik antara fasilitas kesehatan masyarakat seperti puskesmas, rumah sakit, hingga PMI. Menurut dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Satgas Penanganan Covid-19 memiliki peran paling strategis dalam mengurus integrasi data ini secara terpadu.
“Mereka bisa menghubungkan antar kementerian/lembaga. Apalagi Kemenkes bisa mengintegrasikan antara jenjang pelayanan kesehatan mulai dari puskesmas, rumah sakit di daerah, sampai ke rumah sakit pusat. Itu diberdayakan dong, ini kan sangat mungkin dikerjakan. Persoalan data diberesin, fasilitas kesehatan disiapkan, dan masyarakatnya dimobilisasi melalui puskesmas,” ujar Dedi memberi masukan.
Dia kembali menegaskan bahwa semua persoalan tetap tergantung dari kemauan politik (political will) pemerintah. Jika sudah disepakati bahwa plasma konvalesen sangat penting dan bermanfaat, maka sebaiknya dikelola dengan optimal.
“Saya lihat masalah utamanya itu balik lagi ke leadership. Untuk urusan teknis, harus ada manajernya. Untuk urusan kesehatan ya tetap di Kemenkes. Kalaupun satgas Covid, kelemahannya adalah nggak punya jejaring cukup kuat ke fasilitas kesehatan. Yang paling kuat atau superbody ya Kemenkes,” tandasnya.
Saran lainnya, Dedi juga mendorong agar pemerintah juga memaksimalkan peran puskesmas hingga kepala desa atau lurah untuk aktif memobilisasi penyintas Covid-19 untuk mendonor. Kalau sudah ada data, nomor kontak, alamat rumah, itu akan memudahkan untuk memobilisasi pendonor.
“Kalau nggak perlu ketemu, kan tinggal kontak aja. Itu sangat mungkin untuk dikerjakan. Jangan semua beban diserahkan ke PMI, ya mabok lah! Diskrining dululah, jadi yang masuk ke PMI betul-betul sesuai harapan. Artinya, puskesmas dan lurah/desa juga harus lebih proaktif,” pungkasnya.
Pro Kontra Plasma Konvalesen
Lantas, apa faktor penentu keberhasilan terapi plasma konvalesen yang dilakukan terhadap pasien? Menjawab ini, Kepala Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta Niken Ritchie menjelaskan bahwa metode terapi plasma konvaselen memang masih pro kontra.
Dia mengakui efektivitas terapi plasma belum selesai penelitiiannya. Saat ini masih dalam tahap uji klinis. Sebelum banyak masyarakat memburu plasma konvalesen, kata dia, PMI tadinya mengadakannya hanya untuk kepentingan penelitian.
Dijelaskan pula, belum ada prosedur yang pasti mengenai berapa banyak jumlah plasma yamg harus diberikan kepada pasien untuk dapat sembuh. "Semua masih coba-coba, ada yang mencoba memberi dua (kantong) ada yang tiga, empat, bahkan sampai delapan, karena memang belum ada standar," kata lulusan magister ilmu biomedis ini.
Ia pun meminta pemerintah harus tegas dan dapat segera memperbaiki sistem manajemen data Covid-19 sehingga terintegrasi dengan baik antara fasilitas kesehatan masyarakat seperti puskesmas, rumah sakit, hingga PMI. Menurut dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Satgas Penanganan Covid-19 memiliki peran paling strategis dalam mengurus integrasi data ini secara terpadu.
“Mereka bisa menghubungkan antar kementerian/lembaga. Apalagi Kemenkes bisa mengintegrasikan antara jenjang pelayanan kesehatan mulai dari puskesmas, rumah sakit di daerah, sampai ke rumah sakit pusat. Itu diberdayakan dong, ini kan sangat mungkin dikerjakan. Persoalan data diberesin, fasilitas kesehatan disiapkan, dan masyarakatnya dimobilisasi melalui puskesmas,” ujar Dedi memberi masukan.
Dia kembali menegaskan bahwa semua persoalan tetap tergantung dari kemauan politik (political will) pemerintah. Jika sudah disepakati bahwa plasma konvalesen sangat penting dan bermanfaat, maka sebaiknya dikelola dengan optimal.
“Saya lihat masalah utamanya itu balik lagi ke leadership. Untuk urusan teknis, harus ada manajernya. Untuk urusan kesehatan ya tetap di Kemenkes. Kalaupun satgas Covid, kelemahannya adalah nggak punya jejaring cukup kuat ke fasilitas kesehatan. Yang paling kuat atau superbody ya Kemenkes,” tandasnya.
Saran lainnya, Dedi juga mendorong agar pemerintah juga memaksimalkan peran puskesmas hingga kepala desa atau lurah untuk aktif memobilisasi penyintas Covid-19 untuk mendonor. Kalau sudah ada data, nomor kontak, alamat rumah, itu akan memudahkan untuk memobilisasi pendonor.
“Kalau nggak perlu ketemu, kan tinggal kontak aja. Itu sangat mungkin untuk dikerjakan. Jangan semua beban diserahkan ke PMI, ya mabok lah! Diskrining dululah, jadi yang masuk ke PMI betul-betul sesuai harapan. Artinya, puskesmas dan lurah/desa juga harus lebih proaktif,” pungkasnya.
Pro Kontra Plasma Konvalesen
Lantas, apa faktor penentu keberhasilan terapi plasma konvalesen yang dilakukan terhadap pasien? Menjawab ini, Kepala Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta Niken Ritchie menjelaskan bahwa metode terapi plasma konvaselen memang masih pro kontra.
Dia mengakui efektivitas terapi plasma belum selesai penelitiiannya. Saat ini masih dalam tahap uji klinis. Sebelum banyak masyarakat memburu plasma konvalesen, kata dia, PMI tadinya mengadakannya hanya untuk kepentingan penelitian.
Dijelaskan pula, belum ada prosedur yang pasti mengenai berapa banyak jumlah plasma yamg harus diberikan kepada pasien untuk dapat sembuh. "Semua masih coba-coba, ada yang mencoba memberi dua (kantong) ada yang tiga, empat, bahkan sampai delapan, karena memang belum ada standar," kata lulusan magister ilmu biomedis ini.