Keniscayaan Visi Produksi Minyak 1 Juta Barel per Hari di Tahun 2030
loading...
A
A
A
Erwin Suryadi
Praktisi perminyakan
INDUSTRI hulu migas Indonesia selalu memiliki bahasan yang cukup seksi untuk didiskusikan, dikomunikasikan bahkan diperdebatkan oleh para pelakunya. Dari bahasan terkait produksi, terkait cost recovery, terkait tingkat kandungan dalam negeri, terkait perizinan dan masih banyak sekali topik-topik yang bisa diangkat dan selalu memancing diskusi yang hangat dan interaktif.
Akan tetapi, dari segala topik-topik yang ada, saat ini Pemerintah melalui SKK Migas mulai mencoba meluruskan target diskusi yang beragam tersebut ke arah yang sama, yaitu bagaimana upaya seluruh pelaku di industri hulu migas mulai menyusun regulasi, investasi, pedoman tata kerja dan segala keputusan yang mengarah pada pencapaian visi 1 juta barrel minyak per hari dan 12 BSCF gas per hari di tahun 2030.
Dalam proses meluruskan target diskusi yang konstruktif ini, kembali banyak sekali tantangan dan diskusi-diskusi yang muncul dari para pelaku bisnis, akademisi dan para pengamat yang masih mempertanyakan mengenai kemunculan dari visi 1 juta barel perhari minyak ini.
Ada pihak yang optimis mengingat jumlah cekungan yang masih banyak belum dieksplorasi di Indonesia, ada juga pihak yang menganggap bahwa ini hanya mimpi mengingat kebijakan dunia terkait dengan penggunaan minyak dan gas bumi ini akan mulai tergantikan dengan energi baru terbarukan (EBT). Jadi kembali, topik di industri hulu migas ini memang selalu menarik dan selalu menjadi bahan diskusi yang menarik perhatian banyak pihak.
Dalam opini kali ini, kami mencoba untuk tidak masuk ke dalam ranah perdebatan mengenai apakah visi 1 juta barel per hari minyak di tahun 2030 ini merupakan bagian dari mimpi atau bukan, akan tetapi yang akan coba disampaikan adalah bagaimana persiapan yang harus dilakukan oleh para pelaku menghadapi tantangan mencapai visi tersebut. Menurut pendapat kami, secara garis besar ada 2 tantangan yang perlu diperhatikan secara lebih serius dan komprehensif, yaitu:
Deep water vs New Technology
Tantangan pertama yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah berkaitan dengan potensi cekungan yang belum dilakukan eksplorasi. Apabila kita perhatikan, nantinya ke depan kemungkinan besar letak cekungan tersebut akan semakin banyak di posisi laut dalam dibandingkan dengan daratan maupun di laut dangkal. Sehingga dalam melakukan proses eksplorasi dan eksploitasi dari cekungan tersebut, diyakini membutuhkan teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan teknologi-teknologi yang sudah diterapkan saat ini.
Di sini tantangan mulai muncul, dengan perlu mendatangkan teknologi baru ini, maka ada kemungkinan biaya untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dari cekungan ini membutuhkan biaya yang cukup besar sedangkan dari sisi harga minyak dunia, seperti yang sudah kita ketahui, tidak dapat ditentukan harganya oleh Indonesia karena memang diatur melalui mekanisme pasar dunia.
Sehingga ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar dimana seluruh pemangku kepentingan harus sudah mulai bersiap sejak sekarang, dimana apabila cekungan-cekungan di laut dalam ini ingin dikembangkan maka perlu dipikirkan mengenai insentif bagi investor, bagaimana konsep rantai suplai dibangun sehingga cocok dengan kebutuhan lapangan dan bagaimana para pemangku kepentingan juga menyeimbangkan konsep pengembangan lapangan ini dengan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri yang saat ini sedang gencar sekali diperjuangkan.
Ketersediaan Pasar
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, saat ini dunia sudah mulai melakukan konversi penggunaan bahan bakar dari hidrokarbon ke energi baru dan terbarukan. Dampak dari perubahan ini, mengakibatkan banyak pasar-pasar internasional seperti Jepang dan China yang mengurangi pengambilan pasokan LNG karena sudah mulai beralih kepada EBT tersebut.
Untuk itu, target produksi yang besar dan agresif ini juga perlu juga disertai dengan pertimbangan dan pemikiran mengenai ketersediaan pasar untuk menyerap produk yang dihasilkan oleh industri hulu migas tersebut.
Upaya untuk membangun konsep rantai suplai yang baik di Indonesia mengenai migas ini, mungkin perlu dilihat kembali lebih holistik dan jelas mengingat saat ini apabila kita membahas industri migas Indonesia masih terbagi menjadi 3 bagian yaitu hulu, midstream dan hilir. Dimana dengan pembagian tersebut, setiap bagian memiliki target masing-masing dan belum tentu dapat diserap oleh bagian lainnya.
Misalnya apabila memang produksi gas di tahun 2030 dapat mencapai 12 BSCFD, maka pertanyaan yang perlu diantisipasi adalah apakah jaringan pipa transmisi yang ada kapasitasnya tercukupi untuk menyalurkan produksi gas ini, apakah kapal-kapal LNG dapat siap untuk mengantarkan, ini salah satu contoh permasalahan yang mungkin akan muncul di level midstream.
Untuk hilirnya, misalnya apakah memang PLN masih membutuhkan gas-gas sebesar itu untuk membangkitkan listriknya, atau apakah pabrik petrochemical memiliki kapasitas yang cukup untuk menyerap produksi dari hulu migas.
Dua tantangan besar tersebut, seharusnya sudah mulai dipikirkan lebih komprehensif oleh para pemangku kepentingan di industri migas Indonesia, sehingga apabila waktunya tiba nanti, memang segala hal mendasar yang harus disiapkan jauh-jauh hari sudah disiapkan dan dibangun bersama seiring dengan niat dari Pemerintah dan SKK Migas untuk mencapai visi 1 juta barel per hari minyak dan 12 BSCFD gas di tahun 2030.
Mudah-mudahan momentum ini dimanfaatkan oleh para investor untuk mulai melirik pembangunan pabrik-pabrik petrochemical di Indonesia bagian timur sehingga pemerataan pembangunan serta dampak berganda yang ditimbulkan dengan ditemukan dan diproduksinya minyak dan gas bumi dapat dirasakan juga manfaatnya oleh masyarakat Indonesia dimanapun produksi ini ditemukan.
Siapkah kita untuk menjawab tantangan ini ? Kita tunggu dan tetap berharap industri hulu migas akan terus berkembang dan menjadi salah satu industri utama yang mendukung terjadinya pertumbuhan Negara, penyumbang devisa bagi negara serta menjadi enabler dari implementasi efek berganda (multiplier effects) bagi masyarakat Indonesia. Salam sehat dan semoga Indonesia segera dapat mengatasi pandemic Covid-19.
Praktisi perminyakan
INDUSTRI hulu migas Indonesia selalu memiliki bahasan yang cukup seksi untuk didiskusikan, dikomunikasikan bahkan diperdebatkan oleh para pelakunya. Dari bahasan terkait produksi, terkait cost recovery, terkait tingkat kandungan dalam negeri, terkait perizinan dan masih banyak sekali topik-topik yang bisa diangkat dan selalu memancing diskusi yang hangat dan interaktif.
Akan tetapi, dari segala topik-topik yang ada, saat ini Pemerintah melalui SKK Migas mulai mencoba meluruskan target diskusi yang beragam tersebut ke arah yang sama, yaitu bagaimana upaya seluruh pelaku di industri hulu migas mulai menyusun regulasi, investasi, pedoman tata kerja dan segala keputusan yang mengarah pada pencapaian visi 1 juta barrel minyak per hari dan 12 BSCF gas per hari di tahun 2030.
Dalam proses meluruskan target diskusi yang konstruktif ini, kembali banyak sekali tantangan dan diskusi-diskusi yang muncul dari para pelaku bisnis, akademisi dan para pengamat yang masih mempertanyakan mengenai kemunculan dari visi 1 juta barel perhari minyak ini.
Ada pihak yang optimis mengingat jumlah cekungan yang masih banyak belum dieksplorasi di Indonesia, ada juga pihak yang menganggap bahwa ini hanya mimpi mengingat kebijakan dunia terkait dengan penggunaan minyak dan gas bumi ini akan mulai tergantikan dengan energi baru terbarukan (EBT). Jadi kembali, topik di industri hulu migas ini memang selalu menarik dan selalu menjadi bahan diskusi yang menarik perhatian banyak pihak.
Dalam opini kali ini, kami mencoba untuk tidak masuk ke dalam ranah perdebatan mengenai apakah visi 1 juta barel per hari minyak di tahun 2030 ini merupakan bagian dari mimpi atau bukan, akan tetapi yang akan coba disampaikan adalah bagaimana persiapan yang harus dilakukan oleh para pelaku menghadapi tantangan mencapai visi tersebut. Menurut pendapat kami, secara garis besar ada 2 tantangan yang perlu diperhatikan secara lebih serius dan komprehensif, yaitu:
Deep water vs New Technology
Tantangan pertama yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah berkaitan dengan potensi cekungan yang belum dilakukan eksplorasi. Apabila kita perhatikan, nantinya ke depan kemungkinan besar letak cekungan tersebut akan semakin banyak di posisi laut dalam dibandingkan dengan daratan maupun di laut dangkal. Sehingga dalam melakukan proses eksplorasi dan eksploitasi dari cekungan tersebut, diyakini membutuhkan teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan teknologi-teknologi yang sudah diterapkan saat ini.
Di sini tantangan mulai muncul, dengan perlu mendatangkan teknologi baru ini, maka ada kemungkinan biaya untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dari cekungan ini membutuhkan biaya yang cukup besar sedangkan dari sisi harga minyak dunia, seperti yang sudah kita ketahui, tidak dapat ditentukan harganya oleh Indonesia karena memang diatur melalui mekanisme pasar dunia.
Sehingga ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar dimana seluruh pemangku kepentingan harus sudah mulai bersiap sejak sekarang, dimana apabila cekungan-cekungan di laut dalam ini ingin dikembangkan maka perlu dipikirkan mengenai insentif bagi investor, bagaimana konsep rantai suplai dibangun sehingga cocok dengan kebutuhan lapangan dan bagaimana para pemangku kepentingan juga menyeimbangkan konsep pengembangan lapangan ini dengan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri yang saat ini sedang gencar sekali diperjuangkan.
Ketersediaan Pasar
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, saat ini dunia sudah mulai melakukan konversi penggunaan bahan bakar dari hidrokarbon ke energi baru dan terbarukan. Dampak dari perubahan ini, mengakibatkan banyak pasar-pasar internasional seperti Jepang dan China yang mengurangi pengambilan pasokan LNG karena sudah mulai beralih kepada EBT tersebut.
Untuk itu, target produksi yang besar dan agresif ini juga perlu juga disertai dengan pertimbangan dan pemikiran mengenai ketersediaan pasar untuk menyerap produk yang dihasilkan oleh industri hulu migas tersebut.
Upaya untuk membangun konsep rantai suplai yang baik di Indonesia mengenai migas ini, mungkin perlu dilihat kembali lebih holistik dan jelas mengingat saat ini apabila kita membahas industri migas Indonesia masih terbagi menjadi 3 bagian yaitu hulu, midstream dan hilir. Dimana dengan pembagian tersebut, setiap bagian memiliki target masing-masing dan belum tentu dapat diserap oleh bagian lainnya.
Misalnya apabila memang produksi gas di tahun 2030 dapat mencapai 12 BSCFD, maka pertanyaan yang perlu diantisipasi adalah apakah jaringan pipa transmisi yang ada kapasitasnya tercukupi untuk menyalurkan produksi gas ini, apakah kapal-kapal LNG dapat siap untuk mengantarkan, ini salah satu contoh permasalahan yang mungkin akan muncul di level midstream.
Untuk hilirnya, misalnya apakah memang PLN masih membutuhkan gas-gas sebesar itu untuk membangkitkan listriknya, atau apakah pabrik petrochemical memiliki kapasitas yang cukup untuk menyerap produksi dari hulu migas.
Dua tantangan besar tersebut, seharusnya sudah mulai dipikirkan lebih komprehensif oleh para pemangku kepentingan di industri migas Indonesia, sehingga apabila waktunya tiba nanti, memang segala hal mendasar yang harus disiapkan jauh-jauh hari sudah disiapkan dan dibangun bersama seiring dengan niat dari Pemerintah dan SKK Migas untuk mencapai visi 1 juta barel per hari minyak dan 12 BSCFD gas di tahun 2030.
Mudah-mudahan momentum ini dimanfaatkan oleh para investor untuk mulai melirik pembangunan pabrik-pabrik petrochemical di Indonesia bagian timur sehingga pemerataan pembangunan serta dampak berganda yang ditimbulkan dengan ditemukan dan diproduksinya minyak dan gas bumi dapat dirasakan juga manfaatnya oleh masyarakat Indonesia dimanapun produksi ini ditemukan.
Siapkah kita untuk menjawab tantangan ini ? Kita tunggu dan tetap berharap industri hulu migas akan terus berkembang dan menjadi salah satu industri utama yang mendukung terjadinya pertumbuhan Negara, penyumbang devisa bagi negara serta menjadi enabler dari implementasi efek berganda (multiplier effects) bagi masyarakat Indonesia. Salam sehat dan semoga Indonesia segera dapat mengatasi pandemic Covid-19.
(maf)