Normal Baru dalam Bisnis dan Aktivitas Masyarakat

Selasa, 26 Mei 2020 - 17:17 WIB
loading...
Normal Baru dalam Bisnis dan Aktivitas Masyarakat
Muhamad Ali, Pemerhati Human Capital. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital

Normal Baru (New Normal) menjadi kata-kata yang mengalami inflasi belakangan ini. Tapi juga membuat orang sedikit berdebar-debar. Semua orang bicara tentang normal yang baru. Apakah ada normal yang lama? Itulah yang disebut baru normal. Artinya, sesuatu yang pulih seperti sediakala sebelum terjadi sesuatu.

Situasi yang dilahirkan setelah hampir 4 bulan pandemi Covid-19 memang lebih relevan disebut Normal Baru. Bukan kembali kepada kondisi yang sama sebelum pandemi.

Ada banyak faktor yang membuat kondisi normal tersebut sama sekali baru. Berbeda dengan kondisi normal sebelumnya. Apa yang membuatnya jadi baru? Apa yang berbeda dari kondisi normal sebelumnya?

Faktor Ketidakpastian
Pandemi ini membawa karakter spesifik yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dalam bisnis, ketidakpastian memang merupakan faktor penting. Ketidakpastian dalam bisnis adalah kelaziman. Tetapi ketidakpastian yang menyertai pandemi Covid-19 bukanlah ketidakpastian yang biasa-biasa saja. (Baca juga: Menata SDM Pasca - Pandemi Menuju New Normal )

Ketidakpastian dalam bisnis yang biasa atau normal, biasanya menyangkut perubahan pada rantai pasokan mulai dari produksi, distribusi, sampai dengan konsumsi. Ketiganya saling tergantung dan saling mempengaruhi.

Di sisi hulu atau produksi, faktor penentunya ada dua: kondisi alam (natural) dan kondisi sosial (terkonstruksi). Perubahan kondisi alam seperti cuaca atau bencana alam pada umumnya langsung mempengaruhi rantai ekonomi di sisi distribusi dan berujung pada konsumsi. Di sisi tengah atau distribusi, kedua faktor yang natural dan terkonstruksi juga mempengaruhi hilir di sisi konsumsi.

Ketidakpastian yang dibawa oleh pandemi Covid-19, sudah langsung berdampak pada sisi produksi dan distribusi. Akibatnya, konsumen yang berada pada rantai akhir langsung tertimpa pada dua tekanan sekaligus. Akibatnya, merekalah yang paling menanggung beban atau paling menderita dari seluruh proses tersebut.

Repotnya, pandemi Covid-19 ini tidak pasti akan berakhir kapan. Jika menunggu virus dapat dijinakkan, mungkin kita harus menunggu satu sampai dua tahun sampai antivirus atau vaksin ditemukan dan diterapkan sebagai tameng kekebalan. Apabila durasinya sampai selama itu, seberapa daya tahan masyarakat atau konsumen menghadapi tekanan tersebut?

Banyak negara melaporkan kondisi penularan dan korban terpapar setiap hari. Data itu dimunculkan harian, lalu dibuatkan simulasi apakah kurvanya masih terus naik atau sudah melandai menuju turun. Tetapi laporan itu sendiri juga tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya, karena tidak ada satupun negara yang mampu melakukan pengujian dan pemeriksaan secara masif untuk memotret sejauh mana data-data yang tercatat itu akurat.

Dalam kurun waktu lebih dari 3 bulan, kita menyaksikan bahwa upaya pengendalian penyebaran virus cenderung makin longgar atau dilonggarkan. Hal itu sesungguhnya mengirimkan pesan lain bahwa pelonggaran tersebut merupakan respons para pengambil kebijakan, baik di dalam pemerintahan atau bisnis, bahwa setelah 3 bulan situasi pandemi masih belum dapat dikendalikan 100%, tetapi kehidupan harus tetap berjalan terus.

Keputusan yang membuat sebagian warga berdebar tersebut juga merupakan respons psikologi normal masyarakat bahwa mereka juga semakin tertekan berada dalam situasi penuh keterbatasan. Ya keterbatasan gerak, maupun keterbatasan akibat makin menipisnya logisitik maupun finansial.

Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) mengirimkan pesan yang masih sama. Negara-negara harus melanjutkan tindakan berbasis bukti-bukti di lapangan dan melakukan berbagai assessment yang menyangkut kesehatan dan kondisi sosial masyarakatnya.

Fokus harus diarahkan pada epidemiologi lokal dari Covid-19 untuk terus mengidentifikasi titik-titik panas baru penyebaran dan klaster-klaster baru yang muncul, dan meningkatkan kapasitas sistem perlindungan untuk menemukan, mengisolasi, sampai dengan mengarantina kontak-kontak yang muncul dari titik dan klaster baru tersebut. Demikian WHO mengingatkan.

Ketika negara-negara –termasuk Indonesia—mulai mendorong kondisi menuju “Normal Baru” yang menekankan pada aspek ekonomi dan sosial, para pengambil keputusan bisnis dan pemerintahan yang paling berpengaruh dalam menciptakan kondisi “Normal Baru” seharusnya telah memastikan bahwa protokol kesehatan tetap terpenuhi dan sekaligus memberikan dukungan terhadap anggota masyarakat dan para pekerjanya untuk kembali dapat bekerja secara normal. Yaitu dalam Normal Baru.

Pandemi Covid-19, dengan demikian, merupakan upaya dari setiap pengambil kebijakan untuk menata suatu ekosistem bekerja yang sama sekali baru, dalam upaya mereka untuk menggerakkan aktivitas ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, sampai dengan konsumsi. Contoh yang paling nyata dari pandemi adalah perubahan pola kerja yang semula bersifat sentralistik dalam klaster-klaster bisnis dan pemerintahan di satu kawasan, menjadi terdesentralisasi dalam kantong-kantong hunian baik kawasan perumahan biasa maupun kawasan hunian vertikal.

Pola koordinasi dan komunikasi antara pegawai dengan pegawai lainnya, antara pegawai dengan atasan, atau produsen dengan distributor dan konsumen, sekarang telah berubah sama sekali sejak pandemi ini terjadi. Penggunaan perangkat komunikasi virtual seperti Zoom, Google Meet, Google Hangout, Slack, Lark, dan semacamnya, telah menggantikan koordinasi dan komunikasi fisik dalam bentuk rapat, seminar, diskusi, atau layanan konsumen.

Oleh karena itu, proses koordinasi dan komunikasi yang dilakukan secara virtual sepanjang masa pandemi ini harus menjadi bagian dari restrukturisasi bisnis proses di level organisasi bisnis maupun pemerintahan. Mengabaikan perubahan ini pada kondisi Normal Baru dan memaksakan proses koordinasi dan komunikasi menggunakan pola lama akan membuat setiap entitas organisasi kehilangan relevansi, karena koordinasi dan komunikasi virtual sudah menjadi bagian dari proses bekerja.

Justru banyak orang merasakan efektivitas dan produktivitas bekerja secara virtual ini. Mereka dapat bekerja tanpa harus kehilangan waktu menempuh perjalanan dari rumah ke kantor.

Dalam konteks Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, itu berarti mereka bisa menghemat 2-5 jam sehari, tergantung jarak dan kemacetan di jalanan. Yang lebih penting lagi, mereka dapat melakukan pekerjaan secara paralel dalam satu waktu, sehingga tidak perlu menumpuk pekerjaan yang pada akhirnya sering tidak dapat diselesaikan dan terus menggunung dari waktu ke waktu.

Maka, setiap organisasi perlu mengantisipasi perubahan pola kerja ini yang dapat berpengaruh pada hubungan antarpekerja dan hubungan antara pekerja dengan atasan, dan yang lebih luas lagi, hubungan antara pekerja dengan organisasi tempatnya bekerja. Perjumpaan-perjumpaan yang sifatnya fisik diyakini memperkuat hubungan emosional antarmanusia.

Dengan demikian, perjumpaan nonfisik juga tidak dapat menggantikan seratus persen perjumpaan fisik. Itulah yang harus dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya, sehingga orang tetap merasa memiliki ikatan emosional yang kuat di antara sesama kolega, dengan atasan, maupun dengan organisasi tempatnya bekerja.

Itulah Normal Baru yang sudah ada di depan mata kita. Normal baru yang siap atau tidak siap, akan kita saksikan dan rasakan sehari-hari.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.1078 seconds (0.1#10.140)