Indonesia Dinilai Belum Serius Menuju Ekonomi Hijau

Sabtu, 26 Juni 2021 - 09:55 WIB
loading...
Indonesia Dinilai Belum Serius Menuju Ekonomi Hijau
Ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR Ratna Juwita Sari menilai Indonesia belum serius menuju praktik ekonomi hijau atau green economy. Sebab, dia menilai belum ada regulasi yang jelas dan ekosistem usaha masyarakat yang masih nyaman di zona konvensional.

Bahkan, kata dia, paket stimulus seperti kebijakan fiskan belum cukup mendorong pengembangan proyek-proyek green economy. "Karena selama ini paket stimulus fiskal masih bersifat umum. Belum ada yang secara spesifik memberikan previllege kepada pegiat green economy," ujarnya, Jumat (25/6/2021).

Maka itu, perlu adanya regulasi yang jelas, misalnya mempercepat Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Selain itu, pemerintah juga diminta berani memberikan insentif untuk menstimulus para pengusaha agar mau berinvestasi di green economy.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun mengapresiasi langkah Kementerian ESDM menggandeng salah satu bank BUMN untuk mendukung pembiayaan pembangunan PLTS Atap. "Usaha yang patut diapresiasi dan seharusnya diikuti bank lainnya," pungkasnya.



Pemerintah diharapkan terus menggenjot kebijakan pro-lingkungan yang dinilai menjadi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan green economy. Program Manager di Perkumpulan Prakarsa Herni Ramdlaningrum berpendapat bahwa untuk mewujudkan green economy itu dibutuhkan kerja sama berbagai pihak.

Tak hanya pemerintah dan masyarakat sipil saja, tetapi juga butuh intervensi dari lembaga legislatif. Adapun Green economy adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan. "Bagaimanapun climate change is real dan Indonesia harus makin agresif untuk transisi dari brown ke green economy," kata Herni.

Herni menambahkan, paket stimulus kebijakan fiskal belum bisa mendorong pengembangan proyek-proyek green economy. Penganggaran yang tepat ke arah green dapat secara signifikan mendorong berjalannya proyek-proyek green economy.

Selain itu, dukungan dana dan gerakan yang serentak dari berbagai pihak juga sangat dibutuhkan. "Banyak ide-ide dan proyek green economy yang membutuhkan bensin untuk dijalankan," tutur Herni.



Herni melanjutkan, salah satu yang dapat pemerintah lakukan agar pengembangan proyek green economy di Indonesia bisa lebih cepat terwujud yaitu perlu adanya suatu kesepakan dan target ambisi yang sama antar kementerian atau lembaga dalam mencapai net zero emission (NZE). "KLHK, Kemenkeu, dan Bappenas sudah bergerak menuju ekonomi hijau, dan ini harus selalu kita dorong supaya semakin ambisius target NZE-nya," kata Herni.

Kerja sama Kementerian ESDM dengan salah satu bank BUMN untuk mendukung pembiayaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap menjadi langkah baik untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan berkontribusi dalam penyelesaian masalah lingkungan.

"Ini baik dan cukup strategis. Investasi ke arah pembangunan rendah karbon saat ini sangat dibutuhkan karena inovasi-inovasi ke arah ekonomi hijau perlu didorong sehingga ekonomi kedepan makin kuat dan meningkatkan decent work dan kesejahteraan bagi masyarakat luas," jelasnya.

Selain itu, kerja sama tersebut bisa menjadi fondasi awal agar bank BUMN lainnya ikut andil dalam proyek pembangunan PLTS Atap.

Research & Knowledge Manager Perkumpulan Prakarsa Cut Nurul Aidha berpendapat bahwa sudah ada langkah-langkah signifikan yang diambil pemerintah untuk menerapkan green economy. Misalnya, adanya program Indonesia Green Growth milik Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Kendati demikian, masih membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkan green economy tersebut. "Green economi bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan akan tetapi juga harus inklusif secara sosial," kata Nurul.

Nurul mengatakan, perubahan dari praktik konvensional ke praktik green economy butuh waktu tergantung kesiapan sumber daya manusianya, infrastruktur pendukung, dan sebagainya. Apalagi, lanjutnya, stimulus fiskal untuk green project masih sangat kurang.

Memang, fondasi pelaksanaan ekonomi hijau sudah ada, dan program penanganan perubahan iklim juga sudah dimasukkan ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024. Akan tetapi, perlu didukung juga reformasi kebijakan fiskal yang lebih adil dan berpijak ke implementasi green economy.

"Misalnya untuk revitalasi pertanian atau perkebunan, jangan hanya sawit karena banyak jenis tanaman yang perlu diremajakan. Kalau digabung volumenya lebih besar dari hanya sawit saja (kopi, kakao, karet, dan kelapa kalau digabung sekitar 90.000 hektare)," ujar Nurul.

Dengan adanya reformasi fiskal atau ekspansi fiskal, Indonesia bisa mendapat dana dari sumber baru untuk membantu pembiayaan peremajaan semua tanaman perkebunan yang punya nilai komoditas tinggi.

Nurul mengakui, untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, lingkungan dan inklusivitas tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu, perlu komitmen yang selaras dan memiliki road map atau peta jalannya untuk menuju green economy.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2521 seconds (0.1#10.140)