Prospek Industri Hijau Menyongsong Indonesia Emas 2045
loading...
A
A
A
Muh Jusrianto
Sekretaris Jenderal PB HMI
Mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad Bandung
PERKEMBANGAN industrialisasi telah mencapai fase yang kian kompleks. Gejala yang mengorbit dewasa ini hendak disertai dengan disrupsi terhadap tatanan sosial ekonomi masyarakat yang notabene merupakan landasan bagi proses akselerasi pembangunan. Kendati demikian, trayektori industrialisasi tampak masih menyisakan catatan, tidak hanya tentang kemajuan an-sich, melainkan pula destruksi pada lingkungan hidup.
Persoalan lingkungan hidup seperti deforestasi, perubahan iklim, polusi serta penipisan sumber daya alam merupakan konsekuensi logis dari industrialisasi yang cenderung mengesampingkan perhitungan ekologis dari kegiatan bisnis dan ekonomi. Besarnya orientasi pada akumulasi dan ekspansi kapital, pada akhirnya, mendiskreditkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal inilah yang selama dekade terakhir banyak ditentang.
Joseph Stiglitz, et.al., (2009), semisal, bahkan secara eksplisit menyampaikan keraguannya terhadap metode PDB sebagai tolak ukur kemajuan. Pemikiran yang mengalasi keraguan tersebut, salah satunya disebabkan adanya tendensi pengabaian ekologi di satu sisi dan memprioritaskan pertumbuhan pada sisi lainnya.
Karenanya, dalam diskursus ekonomi dan bisnis kontemporer, muncul aneka koreksi dengan mendorong variabel lingkungan sebagai faktor yang mestinya dihitung dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Jika mencermati dinamika yang muncul di sektor industri, pengarusutamaan terhadap teknologi hijau (green technology) sudah menjadi trend korporasi multinasional dalam mengambil keputusan bisnisnya.
Trend tersebut menunjukkan kalau sektor bisnis mempunyai komitmen yang positif dalam menjalankan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, pembangunan yang berorientasi pada masa depan harus mempunyai karakter dan kepedulian dengan lingkungan hidup, di mana upaya itu hendak diwujudkan melalui angkah-langkah strategis bisnis dan ekonomi.
Bangkitnya kesadaran mengenai pentingnya kelestarian lingkungan membuat isu ini semakin mendapat tempat dan relevansi untuk diadopsi dalam sebuah kebijakan, dimana secara substansial, kebijakan tersebut diletakkan ke dalam kerangka transisi energi. Faktanya, dalam Presidency G20 Indonesia, ekologi menjadi isu utama yang dibahas sembari menegaskan komitmen politik demi mendorong pengembangan industri hijau.
Indonesia sendiri memang telah menunjukkan komitmen pada industri hijau. Komitmen ini bukan hanya lip service, namun telah diterjemahkan ke dalam langkah strategis seperti menyusun Standar Industri Hijau, menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), penyelenggaraan nilai karbon berdasar Peraturan Presiden No 98/2021, dan menggelar penganugerahan Penghargaan Industri Hijau.
Setidaknya, berdasarkan data dari Kemenperin, dalam kurun waktu 2021 ada sebanyak 137 perusahaan industri, yang terdiri dari 88 industri di level lima dan 49 industri di level empat sudah mendapat penghargaan industri hijau. Sedangkan selama 2017-2021, sebanyak 44 perusahaan industri menerima sertifikat industri hijau (Kemenperin.go.id, 30/11/2021). Data tersebut merefleksikan langkah konkret sektor industri di dalam menjalankan prinsip industri hijau.
Apa Itu Industri Hijau?
Dalam dekade terakhir sistem industri berbasis lingkungan atau lebih dikenal dengan term industri hijau (green industry) menjadi fenomena yang semakin tidak terhindarkan (Handoko, et.al, 2016). Tidak sedikit perusahaan yang kini mulai menerapkan konsep green industry di dalam kegiatan bisnisnya, seperti terpotret dari data Kemenperin sebelumnya. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran sektor industri dalam melestarikan lingkungan.
Sekretaris Jenderal PB HMI
Mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad Bandung
PERKEMBANGAN industrialisasi telah mencapai fase yang kian kompleks. Gejala yang mengorbit dewasa ini hendak disertai dengan disrupsi terhadap tatanan sosial ekonomi masyarakat yang notabene merupakan landasan bagi proses akselerasi pembangunan. Kendati demikian, trayektori industrialisasi tampak masih menyisakan catatan, tidak hanya tentang kemajuan an-sich, melainkan pula destruksi pada lingkungan hidup.
Persoalan lingkungan hidup seperti deforestasi, perubahan iklim, polusi serta penipisan sumber daya alam merupakan konsekuensi logis dari industrialisasi yang cenderung mengesampingkan perhitungan ekologis dari kegiatan bisnis dan ekonomi. Besarnya orientasi pada akumulasi dan ekspansi kapital, pada akhirnya, mendiskreditkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal inilah yang selama dekade terakhir banyak ditentang.
Joseph Stiglitz, et.al., (2009), semisal, bahkan secara eksplisit menyampaikan keraguannya terhadap metode PDB sebagai tolak ukur kemajuan. Pemikiran yang mengalasi keraguan tersebut, salah satunya disebabkan adanya tendensi pengabaian ekologi di satu sisi dan memprioritaskan pertumbuhan pada sisi lainnya.
Karenanya, dalam diskursus ekonomi dan bisnis kontemporer, muncul aneka koreksi dengan mendorong variabel lingkungan sebagai faktor yang mestinya dihitung dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Jika mencermati dinamika yang muncul di sektor industri, pengarusutamaan terhadap teknologi hijau (green technology) sudah menjadi trend korporasi multinasional dalam mengambil keputusan bisnisnya.
Trend tersebut menunjukkan kalau sektor bisnis mempunyai komitmen yang positif dalam menjalankan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, pembangunan yang berorientasi pada masa depan harus mempunyai karakter dan kepedulian dengan lingkungan hidup, di mana upaya itu hendak diwujudkan melalui angkah-langkah strategis bisnis dan ekonomi.
Bangkitnya kesadaran mengenai pentingnya kelestarian lingkungan membuat isu ini semakin mendapat tempat dan relevansi untuk diadopsi dalam sebuah kebijakan, dimana secara substansial, kebijakan tersebut diletakkan ke dalam kerangka transisi energi. Faktanya, dalam Presidency G20 Indonesia, ekologi menjadi isu utama yang dibahas sembari menegaskan komitmen politik demi mendorong pengembangan industri hijau.
Indonesia sendiri memang telah menunjukkan komitmen pada industri hijau. Komitmen ini bukan hanya lip service, namun telah diterjemahkan ke dalam langkah strategis seperti menyusun Standar Industri Hijau, menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), penyelenggaraan nilai karbon berdasar Peraturan Presiden No 98/2021, dan menggelar penganugerahan Penghargaan Industri Hijau.
Setidaknya, berdasarkan data dari Kemenperin, dalam kurun waktu 2021 ada sebanyak 137 perusahaan industri, yang terdiri dari 88 industri di level lima dan 49 industri di level empat sudah mendapat penghargaan industri hijau. Sedangkan selama 2017-2021, sebanyak 44 perusahaan industri menerima sertifikat industri hijau (Kemenperin.go.id, 30/11/2021). Data tersebut merefleksikan langkah konkret sektor industri di dalam menjalankan prinsip industri hijau.
Apa Itu Industri Hijau?
Dalam dekade terakhir sistem industri berbasis lingkungan atau lebih dikenal dengan term industri hijau (green industry) menjadi fenomena yang semakin tidak terhindarkan (Handoko, et.al, 2016). Tidak sedikit perusahaan yang kini mulai menerapkan konsep green industry di dalam kegiatan bisnisnya, seperti terpotret dari data Kemenperin sebelumnya. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran sektor industri dalam melestarikan lingkungan.