Menggagas Desain Negara Kesejahteraan di Indonesia
loading...
A
A
A
Prof. Budi Setiyono, Ph.D
Guru Besar Pada Bidang Ilmu Pemerintahan
Wakil Rektor 1 Undip
SALAH satu pokok tujuan utama pendirian negara Republik Indonesia, menurut preambule UUD 45 , adalah “mewujudkan kesejahteraan umum” (social welfare). Terms “kesejahteraan umum” ini mengisyaratkan end goal kesejahteraan adalah “bersama secara kolektif kolegial” bukan sekedar “private welfare”. Pun cara mencapainya.
Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apa sebenarnya definisi kesejahteraan itu, apa tolok ukurnya? Dan bagaimana cara meraihnya?
Pandangan social welfare ini sejalan dengan konsep negara integralistik, sebagaimana diidealkan oleh Prof. Soepomo dalam pidato di sidang BPUPKI. Negara Pancasila digambarkan sebagai satu organ tubuh yang saling bergantung dan bekerja bersama untuk kesejahteraan bersama secara adil. (Baca juga: Menata SDM Pasca - Pandemi Menuju New Normal )
Tidak boleh ada oligarkhi dan eksploitasi antar anak bangsa, melainkan harus bergotong royong. Tentu, misalnya, tidak Pancasilais bila negara acuh membiarkan 5% populasi menguasai 80% aset kekayaan nasional. Tidaklah juga Pancasilais apabila negara abai terhadap anak bangsa yang mati sekedar akibat kelaparan atau tidak bisa berobat.
Dalam perspektif yang paling sederhana, welfare state dapat didefinisikan sebagai sIstem. Yang mana pemerintah menjalankan tanggung jawab utama untuk menyediakan keamanan sosial dan ekonomi penduduknya.
Rakyat harus diberi jaminan/perlindungan agar mereka dapat hidup dalam suatu garis/level kesejahteraan tertentu. Dalam praktiknya upaya tersebut biasanya dilakukan dengan memberikan subsidi pendapatan, asuransi pengangguran, pensiun hari tua, dan tindakan jaminan sosial lainnya.
Dalam kaitan tersebut, kita bisa belajar pada jalan bersejarah dimana Jerman, Inggris dan negara-negara lain mengembangkan sistem negara kesejahteraan mereka secara bertahap. Negara-negara Nordik, seperti Islandia, Swedia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia pada saat ini dikenal telah mempraktekkan sistem welfare paling modern yang dikenal sebagai “Nordics model”. Warga negara di negara-negara tersebut telah menikmati tingkat kesejaheraan hidup paling tinggi dibanding negara manapun di dunia ini.
Dalam tataran praktis, adalah Jerman yang pertama kali memperkenalkan konsep negara kesejahteraan modern. Jerman menggunakan istilah “Sozialstaat” (social state/negara sosial) sejak 1870 untuk menggambarkan berbagai program sosial yang dipelopori oleh para sozialpolitiker (politisi sosialis) dan dilaksanakan sebagai bagian dari reformasi konservatif Otto Van Bismarck.
Kanselir Jerman tersebut termotivasi untuk memperkenalkan sistem asuransi sosial baik untuk mempromosikan kesejahteraan pekerja, untuk menjaga ekonomi agar dapat beroperasi pada efisiensi maksimum, serta untuk mencegah gerakan sosialis yang lebih radikal. Inisatif Bismarck disebabkan karena munculnya solidaritas kaum buruh dalam menghadapi berbagai ekses industrialisasi yang mulai muncul sejak abad ke-17.
Guru Besar Pada Bidang Ilmu Pemerintahan
Wakil Rektor 1 Undip
SALAH satu pokok tujuan utama pendirian negara Republik Indonesia, menurut preambule UUD 45 , adalah “mewujudkan kesejahteraan umum” (social welfare). Terms “kesejahteraan umum” ini mengisyaratkan end goal kesejahteraan adalah “bersama secara kolektif kolegial” bukan sekedar “private welfare”. Pun cara mencapainya.
Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apa sebenarnya definisi kesejahteraan itu, apa tolok ukurnya? Dan bagaimana cara meraihnya?
Pandangan social welfare ini sejalan dengan konsep negara integralistik, sebagaimana diidealkan oleh Prof. Soepomo dalam pidato di sidang BPUPKI. Negara Pancasila digambarkan sebagai satu organ tubuh yang saling bergantung dan bekerja bersama untuk kesejahteraan bersama secara adil. (Baca juga: Menata SDM Pasca - Pandemi Menuju New Normal )
Tidak boleh ada oligarkhi dan eksploitasi antar anak bangsa, melainkan harus bergotong royong. Tentu, misalnya, tidak Pancasilais bila negara acuh membiarkan 5% populasi menguasai 80% aset kekayaan nasional. Tidaklah juga Pancasilais apabila negara abai terhadap anak bangsa yang mati sekedar akibat kelaparan atau tidak bisa berobat.
Dalam perspektif yang paling sederhana, welfare state dapat didefinisikan sebagai sIstem. Yang mana pemerintah menjalankan tanggung jawab utama untuk menyediakan keamanan sosial dan ekonomi penduduknya.
Rakyat harus diberi jaminan/perlindungan agar mereka dapat hidup dalam suatu garis/level kesejahteraan tertentu. Dalam praktiknya upaya tersebut biasanya dilakukan dengan memberikan subsidi pendapatan, asuransi pengangguran, pensiun hari tua, dan tindakan jaminan sosial lainnya.
Dalam kaitan tersebut, kita bisa belajar pada jalan bersejarah dimana Jerman, Inggris dan negara-negara lain mengembangkan sistem negara kesejahteraan mereka secara bertahap. Negara-negara Nordik, seperti Islandia, Swedia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia pada saat ini dikenal telah mempraktekkan sistem welfare paling modern yang dikenal sebagai “Nordics model”. Warga negara di negara-negara tersebut telah menikmati tingkat kesejaheraan hidup paling tinggi dibanding negara manapun di dunia ini.
Dalam tataran praktis, adalah Jerman yang pertama kali memperkenalkan konsep negara kesejahteraan modern. Jerman menggunakan istilah “Sozialstaat” (social state/negara sosial) sejak 1870 untuk menggambarkan berbagai program sosial yang dipelopori oleh para sozialpolitiker (politisi sosialis) dan dilaksanakan sebagai bagian dari reformasi konservatif Otto Van Bismarck.
Kanselir Jerman tersebut termotivasi untuk memperkenalkan sistem asuransi sosial baik untuk mempromosikan kesejahteraan pekerja, untuk menjaga ekonomi agar dapat beroperasi pada efisiensi maksimum, serta untuk mencegah gerakan sosialis yang lebih radikal. Inisatif Bismarck disebabkan karena munculnya solidaritas kaum buruh dalam menghadapi berbagai ekses industrialisasi yang mulai muncul sejak abad ke-17.