Menggagas Desain Negara Kesejahteraan di Indonesia

Selasa, 26 Mei 2020 - 12:09 WIB
loading...
A A A
Pada saat itu, kaum buruh betul-betul mengalami ekses negatif dari industrialisasi yang kejam. Pada saat itu, Jerman berambisi menjadi negara pusat produsen mesin dunia dengan mendirikan beberapa pusat kawasan industri.

Kaum pekerja banyak berdatangan dari desa ke kota pusata kawasan tersebut tanpa ada tempat tinggal layak, perlindungan dan fasilitas memadai, dan secara umum diperlakukan dengan buruk oleh industriawan. Banyak di antara mereka diupah dengan sangat rendah sehingga tidak mencukupi untuk membiayai hidup secara layak, dipecat semena-mena, tidak mendapat hari libur, dan tidak mendapatkan uang pensiun. Mereka juga tidak diberikan asuransi kesehatan sehingga tidak bisa berobat dan banyak diantara mereka meninggal ketika sakit atau mengalami kecelakaan kerja.

Untuk menanggulangi hal tersebut, kaum buruh mengorganisir skema santunan diantara mereka sendiri, berdasarkan iuran keanggotaan. Santunan tersebut pada awalnya terbatas pada pemberian bantuan kepada anggota yang sakit dan atau meninggal dunia.

Jenis-jenis santunan kemudian berkembang lebih banyak, seperti santunan terhadap anggota yang mendapatkan pemberhentian kerja, atau juga bantuan untuk membeli rumah tinggal. Gerakan kaum buruh ini kemudian didukung secara politik oleh partai buruh sehingga dari hari ke hari jumlah pemilih partai buruh cepat berkembang dan mengancam dominasi partai konservatif.

Untuk memotong dukungan terhadap partai buruh, pada 1883, pemerintah konservatif mulai mengambil alih gagasan serikat pekerja dengan membuat asuransi kesehatan (sickness insurance) yang diikuti oleh program kompensasi pekerja yang didirikan pada tahun 1884. Hal ini memberi Jerman sistem jaminan penghasilan yang komprehensif berdasarkan prinsip asuransi sosial yang ditanggung negara.

Pada saat ini, program jaminan sosial pemerintah di Indonesia, masih dilaksanakan secara parsial, belum terstruktur dalam suatu sistem yang integratif. Terdapat pula beberapa mekanisme perlindungan sosial yang secara informal berkembang di beberapa daerah dan kelompok masyarakat.

Keduanya pada umumnya masih dikelola secara segmentatif dan segregatif, serta hanya menjangkau sebagian kecil penduduk, khususnya pekerja pada sektor formal saja. Sedangkan kelompok miskin dan pekerja informal hanya menerima manfaat karitatif yang tidak permanen.

Padahal, secara demografis pengembangan sistem perlindungan dan jaminan sosial sudah sangat mendesak, terutama mengingat adanya bonus demografi pada tahun 2030 dan masih banyaknya penduduk miskin dan rentan miskin (baik secara absolut maupun relatif). Sementara di sisi lain dukungan kerangka kebijakan dan kelembagaan yang ada masih masih lemah.

Sistem jaminan sosial akan dapat dikembangkan secara lebih sistemik dan permanen bila berbasis pada desain integratif dengan mekanisme check and balance (antara hak dan kewajiban rakyat) dan didukung oleh kemampuan ekonomis dari penduduk usia produktif atau penduduk usia kerja. Karena penduduk usia kerja itulah yang berperan besar dalam memberikan kontribusi pada sistem perlindungan dan jaminan sosial.

Untuk itu, perlu dilakukan analisis tentang bagaimana kondisi penduduk usia ekonomis melalui dinamika ketenagakerjaan yang terjadi. Untuk bisa mengimplementasikan konsep sistem jaminan yang integralistik, perlu dibuat kerangka (logframe) sistem yang holistik dan integral, yang menghubungkan antara kewajiban dan hak.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1316 seconds (0.1#10.140)