Melawan dengan Rebahan
loading...
A
A
A
Dia mencontohkan, pada masa generasi X, loyalitas adalah hal utama dalam bekerja. Para generasi X bekerja dalam waktu yang cukup lama dan bahkan hampir seluruh usia kerja dihabiskan di satu tempat. Sedangkan untuk generasi Y atau milenial, bukan loyalitas yang paling penting namun kesempatan mendapatkan karir yang lebih tinggi dan kesempatan mengaktualisasikan diri, itulah kenapa berpindah kerja adalah hal yang lumrah terjadi pada generasi milenial.
Sedangkan pada generasi Z yang saat ini juga sudah memasuki dunia kerja, buat mereka yang menjadi prioritas adalah apakah perusahaan menawarkan lingkungan kerja yang mendukung keseimbanganwork life dan apakah nilai-nilai perusahaan selaras dengan nilai-nilai pribadi.
“Perkembangan teknologi, memberikan kita banyak sekali alternatif dalam mengerjakan sesuatu,” katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, ada ungkapan yang mengatakan ‘jangan hanya bekerja keras, tapi perlu bekerja cerdas’ atau ‘Don’t Work Hard, Work Smart”. Pada perkembangannya, bagi generasi Z tidak cukup hanya ‘Work Hard or Work Smart’ tetapi mulai muncul kebutuhan ‘Work Happy’. Landasan berpikirnya adalah, percuma saja bekerja apabila tidak bahagia denga apa yang kita kerjakan.
Menurut dia, hal ini masih selaras dengan ide work-life balance yang diusung oleh generasi Z. Pemikiran di atas juga yang akhirnya memicu istilah seperti “Tang-Ping” di Cina, yaitu sikap tidak bekerja terlalu keras, dan merasa puas dengan yang sudah diraih sehingga bisa memiliki waktu untuk bersantai. Terutama pada negara-negara Asia yang masih mengedepankan kerja keras, dimana semakin lembur dianggap semakin rajin dan berdedikasi.
“Lambat laun generasi Z dan mungkin generasi – generasi berikutnya tidak lagi selaras dengan ide tersebut. Disinilah biasanya benturan-benturan mulai terjadi, baik dengan generasi Y maupun X dalam dunia kerja,” bebernya.
Putri lebih jauh menandaskan, anekdot Work Hard, Work Smart, Work Happy bukanlah sesuatu yang sangat bertentangan dan perlu untuk terus diperdebatkan. Ketiga istilah di atas hanyalah masalah perspektif dari bagaimana tiap generasi memaknai pekerjaan. Pada dasarnya setiap orang dewasa butuh bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengaktualisasikan diri. Namun, dia menandaskan, tiap generasi belajar dari generasi sebelumnya dan berusaha melakukan perbaikan.
‘’Kita jangan terjebak dalam istilah, juga tidak perlu kembali pada romantisme masa lalu, dan tidak harus kaku dalam idealisme bekerja harus membuat bahagia, karena sebetulnya kebahagian bergantung pada pilihan kita dalam memaknai peristiwa. Akan sangat bahaya menggantungkan kebahagiaan dengan pekerjaan,’’ paparnya.
Lebih jauh dikatakannya, generasi saat ini tentunya perlu memikirkan bagaimana agar pekerjaan tidak menghabiskan waktu dan energi, karena itu perlu memanfaatkan teknologi atau berkolaborasi dengan professional lainnya, hal ini berarti cerdas dalam bekerja. Kebahagiaan perlu terus terjaga dalam bekerja sehingga kita tidak kehilangan motivasi dan energi.
“Kita butuh menjaga keseimbangan antara merawat pekerjaan dan merawat kehidupan pribadi. Makna sukses juga perlu di redefinisi, sehingga sukses tidak harus selalu berada di paling atas, tidak selalu berarti memiliki uang banyak, tidak harus selalu tentang kekuasaan. Namun bisa menjalin kerjasama dengan pihak lain pun sudah layak dianggap sukses. Kesuksesan sederhana yang dapat menjaga level bahagia kita,’’ katanya.
Sedangkan pada generasi Z yang saat ini juga sudah memasuki dunia kerja, buat mereka yang menjadi prioritas adalah apakah perusahaan menawarkan lingkungan kerja yang mendukung keseimbanganwork life dan apakah nilai-nilai perusahaan selaras dengan nilai-nilai pribadi.
“Perkembangan teknologi, memberikan kita banyak sekali alternatif dalam mengerjakan sesuatu,” katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, ada ungkapan yang mengatakan ‘jangan hanya bekerja keras, tapi perlu bekerja cerdas’ atau ‘Don’t Work Hard, Work Smart”. Pada perkembangannya, bagi generasi Z tidak cukup hanya ‘Work Hard or Work Smart’ tetapi mulai muncul kebutuhan ‘Work Happy’. Landasan berpikirnya adalah, percuma saja bekerja apabila tidak bahagia denga apa yang kita kerjakan.
Menurut dia, hal ini masih selaras dengan ide work-life balance yang diusung oleh generasi Z. Pemikiran di atas juga yang akhirnya memicu istilah seperti “Tang-Ping” di Cina, yaitu sikap tidak bekerja terlalu keras, dan merasa puas dengan yang sudah diraih sehingga bisa memiliki waktu untuk bersantai. Terutama pada negara-negara Asia yang masih mengedepankan kerja keras, dimana semakin lembur dianggap semakin rajin dan berdedikasi.
“Lambat laun generasi Z dan mungkin generasi – generasi berikutnya tidak lagi selaras dengan ide tersebut. Disinilah biasanya benturan-benturan mulai terjadi, baik dengan generasi Y maupun X dalam dunia kerja,” bebernya.
Putri lebih jauh menandaskan, anekdot Work Hard, Work Smart, Work Happy bukanlah sesuatu yang sangat bertentangan dan perlu untuk terus diperdebatkan. Ketiga istilah di atas hanyalah masalah perspektif dari bagaimana tiap generasi memaknai pekerjaan. Pada dasarnya setiap orang dewasa butuh bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengaktualisasikan diri. Namun, dia menandaskan, tiap generasi belajar dari generasi sebelumnya dan berusaha melakukan perbaikan.
‘’Kita jangan terjebak dalam istilah, juga tidak perlu kembali pada romantisme masa lalu, dan tidak harus kaku dalam idealisme bekerja harus membuat bahagia, karena sebetulnya kebahagian bergantung pada pilihan kita dalam memaknai peristiwa. Akan sangat bahaya menggantungkan kebahagiaan dengan pekerjaan,’’ paparnya.
Lebih jauh dikatakannya, generasi saat ini tentunya perlu memikirkan bagaimana agar pekerjaan tidak menghabiskan waktu dan energi, karena itu perlu memanfaatkan teknologi atau berkolaborasi dengan professional lainnya, hal ini berarti cerdas dalam bekerja. Kebahagiaan perlu terus terjaga dalam bekerja sehingga kita tidak kehilangan motivasi dan energi.
“Kita butuh menjaga keseimbangan antara merawat pekerjaan dan merawat kehidupan pribadi. Makna sukses juga perlu di redefinisi, sehingga sukses tidak harus selalu berada di paling atas, tidak selalu berarti memiliki uang banyak, tidak harus selalu tentang kekuasaan. Namun bisa menjalin kerjasama dengan pihak lain pun sudah layak dianggap sukses. Kesuksesan sederhana yang dapat menjaga level bahagia kita,’’ katanya.