Melawan dengan Rebahan

Jum'at, 11 Juni 2021 - 05:50 WIB
loading...
Melawan dengan Rebahan
Tren rebahan hendaknya bukan dimaknai untuk berleha-leha, tetapi lebih kepada keseimbangan hidup setelah bekerja keras. FOTO/Dok KORAN SINDO
A A A
JAKARTA - Anak muda kerap diidentikkan dengan kerja keras dengan dalih demi masa depan. Namun, menjadikan pekerja keras tak selamanya membahagiakan. Tekanan psikologis , stres yang bisa berujung pada depresi , hingga kehilangan kebahagiaan sejati menjadikan risiko yang dihadapi para pekerja keras.

Di Barat, sudah lama didengungkan tentang work-life , suatu keseimbangan antara bekerja dan kehidupan normal seperti berkeluarga, aktivitas sosial, hingga menyenangkan diri sendiri. Dalam konsep ini, hidup semata-mata tidak hanya bekerja saja, masih banyak aktivitas lain di luar kerja yang bisa menyenangkan dan membahagiakan untuk jiwa dan raga.

Nah, tren terbaru di China justru muncul "tang ping", yang diartikan sebagai tiduran datar atau rebahan . Selama ini, anak muda di China diidentikkan dengan budaya kerja keras, tetapi gaji minim. Istilah "tang ping", dikenal sebagai penangkal tekanan di masyarakat untuk mencari kerja dan berkinerja baik walau harus bekerja dalam shift panjang. China kini memiliki pasar tenaga kerja yang menyusut dan kaum muda di sana sering kali memiliki jam kerja yang lebih lama.

Sebenarnya, istilah "tang ping" ini diyakini berasal dari suatu unggahan di suatu laman media sosial populer di China. Itu kemudian menular dan menjadi bahan diskusi di Sina Weibo, yang juga laman mikrobloging populer di China, dan akhirnya jadi kata kunci.



Gagasan di balik istilah "tang ping" itu -- tidak bekerja terlalu keras, puas dengan yang sudah diraih dan sempatkan waktu untuk bersantai -- langsung menuai pujian banyak warganet dan menginspirasi banyak orang.

Pendiri Merial Institute sekaligus aktivis milenial Muhammad Arief Rosyid Hasan melihat fenomena rebahan terjadi karena anak muda sekarang memang paling mengerti apa yang menjadi kebutuhan zaman. Apalagi, ketika semuanya memperoleh kemudahan dengan teknologi dan juga situasi pandemi yang intensitasi pertemuan langsung menjadi berkurang.

Menurut Arief, dalam konteks itulah anak muda sekarang memaknai kerja keras dengan kerja cerdas yang mampu menyeimbangkan hidup mereka dalam berbagai hal. Rebahan tentu tidak dimaknai sempit sekadar tiduran saja, tapi dengan teknologi banyak kemudahan yang bisa diperoleh dengan cerdas. Anak muda adalah pemilik masa kini dan masa depan, kerja cerdas mereka hari ini tentu menjadi hal positif," ungkap Arief saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Komisaris Independen Bank Syariah Indonesia (BSI) ini berpandangan, kerja keras harus berubah menjadi kerja cerdas. Kerja dengan visi yang melenting jauh ke depan, bisa bekerja sama atau kolaborasi, dan tentu saja berbagai inovasi dan diferensiasi dari kerja-kerja yang selama ini seperti business as usual.



Arief memandang, Indonesia sejak 2012 mengalami bonus demografi dengan surplus usia produktif dan mayoritas dari mereka adalah anak muda. "Situasi ini yang diperoleh oleh negara-negara yang kemajuannya pesat hari ini. Ini bisa menjadi peluang jika dimanfaatkan dengan baik, sebaliknya akan jadi musibah jika kita tidak lebih serius memberdayakan potensi ini dengan baik," ujarnya.

Bagi Arief, kerja cerdas memiliki output produktivitas. Kemajuan teknologi dan situasi pandemi hari ini, kata dia, semua mesti berpikir ulang dalam mengerjakan segala sesuatu. Anak-anak muda benar-benar melihat ini sebagai kesempatan untuk mengejar ketertinggalan mereka dari segi pengalaman dan lain-lain dari seniornya.

"Mereka bisa melakukan banyak hal dalam satu kesempatan waktu atau multitasking, berbeda dengan cara kerja lama yang satu kerjaan satu waktu," imbuhnya.

Ketua Departemen Kaderisasi Pemuda Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini membeberkan, ada dua hal yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi kerja keras pada anak muda, yakni kepercayaan dan bimbingan generasi sebelumnya. Kedua hal ini menurut Arief, menjadi hal yang fundamental.

Musababnya, tanpa kepercayaan dari generasi sebelumnya tentu akan mustahil anak muda memperoleh kesempatan untuk berkarya dan mengambil berbagai peluang di depan mereka.Berikutnya juga tanpa bimbingan dari generasi sebelumnya, anak muda akan bisa tercerabut dari akar budaya yang dimiliki oleh bangsa kita sebagai bangsa besar yang kaya budaya dan sejarah.

"Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kerja keras hari ini harus dimaknai dengan kerja cerdas. Dan budaya ini sudah nampak dari banyak negara maju, digerakkan oleh anak mudanya. Indonesia mustahil akan menjadi negara maju tanpa orkestrasi kerja cerdas dari anak mudanya, di situlah peran para stakeholder khususnya pemerintah," tegasnya.

Dia lantas menuturkan, masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah adalah kesenjangan antar anak muda. Arief menyaksikan langsung ketika berkesempatan keliling ke 300-an lebih kabupaten/kota dan berkolaborasi dengan ratusan komunitas dan jutaan anak muda dari berbagai latar belakang di seluruh Indonesia hingga teman-teman anak muda diaspora di seluruh dunia.

Presiden Joko Widodo, lanjut dia, sebenarnya sudah melihat masalah ini makanya dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan. Sayangnya, Perpres itu belum terimplementasi dengan baik.

"Kesadaran berbagai stakeholder yang belum melihat bahwa pemuda adalah bahan bakar utama untuk mengungkit negara kita menjadi Indonesia Maju. Visi Indonesia Maju inilah yang harus terus dikumandangkan dan tak bosan disampaikan hingga diimplementasikan oleh semua stakeholder dari pusat hingga keseluruh Indonesia," ucap Arief.

Adapun Psikolog Universitas Pancasila (UP) Putri Langka melihat generasi mencoba mempelajari dan memahami generasi sebelumnya atau generasi orang tua mereka. Penghayatan atas perlakuan yang didapatkan dari generasi sebelumnya mendorong mereka mengevaluasi kembali apa yang dianggap penting dalam hidup. Itulah sebabnya setiap generasi bisa memiliki prioritas yang berbeda dan bisa jadi bertolak belakang dengan generasi sebelumnya. “Nilai dan sikap yang bertolak belakang ini seakan menjadi sebuah pernyataan atau simbol ketidaksetujuan tentang apa yang sebelumnya dianggap baik,” katanya.

Dia mencontohkan, pada masa generasi X, loyalitas adalah hal utama dalam bekerja. Para generasi X bekerja dalam waktu yang cukup lama dan bahkan hampir seluruh usia kerja dihabiskan di satu tempat. Sedangkan untuk generasi Y atau milenial, bukan loyalitas yang paling penting namun kesempatan mendapatkan karir yang lebih tinggi dan kesempatan mengaktualisasikan diri, itulah kenapa berpindah kerja adalah hal yang lumrah terjadi pada generasi milenial.

Sedangkan pada generasi Z yang saat ini juga sudah memasuki dunia kerja, buat mereka yang menjadi prioritas adalah apakah perusahaan menawarkan lingkungan kerja yang mendukung keseimbanganwork life dan apakah nilai-nilai perusahaan selaras dengan nilai-nilai pribadi.

“Perkembangan teknologi, memberikan kita banyak sekali alternatif dalam mengerjakan sesuatu,” katanya.

Oleh karena itu, lanjutnya, ada ungkapan yang mengatakan ‘jangan hanya bekerja keras, tapi perlu bekerja cerdas’ atau ‘Don’t Work Hard, Work Smart”. Pada perkembangannya, bagi generasi Z tidak cukup hanya ‘Work Hard or Work Smart’ tetapi mulai muncul kebutuhan ‘Work Happy’. Landasan berpikirnya adalah, percuma saja bekerja apabila tidak bahagia denga apa yang kita kerjakan.

Menurut dia, hal ini masih selaras dengan ide work-life balance yang diusung oleh generasi Z. Pemikiran di atas juga yang akhirnya memicu istilah seperti “Tang-Ping” di Cina, yaitu sikap tidak bekerja terlalu keras, dan merasa puas dengan yang sudah diraih sehingga bisa memiliki waktu untuk bersantai. Terutama pada negara-negara Asia yang masih mengedepankan kerja keras, dimana semakin lembur dianggap semakin rajin dan berdedikasi.

“Lambat laun generasi Z dan mungkin generasi – generasi berikutnya tidak lagi selaras dengan ide tersebut. Disinilah biasanya benturan-benturan mulai terjadi, baik dengan generasi Y maupun X dalam dunia kerja,” bebernya.

Putri lebih jauh menandaskan, anekdot Work Hard, Work Smart, Work Happy bukanlah sesuatu yang sangat bertentangan dan perlu untuk terus diperdebatkan. Ketiga istilah di atas hanyalah masalah perspektif dari bagaimana tiap generasi memaknai pekerjaan. Pada dasarnya setiap orang dewasa butuh bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengaktualisasikan diri. Namun, dia menandaskan, tiap generasi belajar dari generasi sebelumnya dan berusaha melakukan perbaikan.

‘’Kita jangan terjebak dalam istilah, juga tidak perlu kembali pada romantisme masa lalu, dan tidak harus kaku dalam idealisme bekerja harus membuat bahagia, karena sebetulnya kebahagian bergantung pada pilihan kita dalam memaknai peristiwa. Akan sangat bahaya menggantungkan kebahagiaan dengan pekerjaan,’’ paparnya.

Lebih jauh dikatakannya, generasi saat ini tentunya perlu memikirkan bagaimana agar pekerjaan tidak menghabiskan waktu dan energi, karena itu perlu memanfaatkan teknologi atau berkolaborasi dengan professional lainnya, hal ini berarti cerdas dalam bekerja. Kebahagiaan perlu terus terjaga dalam bekerja sehingga kita tidak kehilangan motivasi dan energi.

“Kita butuh menjaga keseimbangan antara merawat pekerjaan dan merawat kehidupan pribadi. Makna sukses juga perlu di redefinisi, sehingga sukses tidak harus selalu berada di paling atas, tidak selalu berarti memiliki uang banyak, tidak harus selalu tentang kekuasaan. Namun bisa menjalin kerjasama dengan pihak lain pun sudah layak dianggap sukses. Kesuksesan sederhana yang dapat menjaga level bahagia kita,’’ katanya.

Dunia pekerjaan dan dunia pribadi, papar Putri, juga tidak harus selalu terpisah. Namun jangan sampai terlalu kabur batasannya, karena kita perlu sekat yang mencegah masalah pekerjaan terbawa dalam kehidupan pribadi dan sebaliknya. Apabila harus memilih ketiga istilah Work Hard, Work Smart, Work Happy, atau “Work Happy”, pilihan terakhir mungkin lebih tepat karena kebahagiaan adalah sesuatu yang diusahakan dalam diri, dan dengan bekerja bahagia serta tidak keberatan untuk bekerja dengan keras.

‘’Kita juga akan lebih kreatif dalam menyelesaikkan tugas, sehingga bisa dikatakan kita bekerja dengan cerdas. “Tang-Ping” ataupun istilah rebahan, hanyalah salah satu bentuk protes untuk membangun awareness masyarakat bahwa ada sesuatu yang perlu berubah. Perilaku kerja keras memang jangan sampai hilang, namun perlu fleksibel sehingga dapat berubah mengikuti perkembangan zaman,” katanya.

Putri memberikan tips untuk bekerja dengan bahagia. Mulai dari mengingatkan diri bahwa Bahagia adalah tanggung jawab pribadi, sehingga mencari kebahagiaan adalah kedalam diri sendiri dan bukan keluar. Kemudian membuat sistem dalam bekerja, sehingga anda dapat memonitor pekerjaan dengan mudah. Tak kalah penting juga untuk selalu bersyukur dan sesekali rayakan kesuksesan sederhana atau kecil, sehingga motivasi terjaga. “Berkolaborasilah dengan orang lain, sehingga tidak merasa sendiri. Jangan terlalu menuntut kesempurnaan tapi tuntutlah profesionalitas, sehingga kita tidak hanya terpaku pada hasil, namun proses perkembangannya,” tandasnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3954 seconds (0.1#10.140)