Melawan dengan Rebahan
loading...
A
A
A
Arief memandang, Indonesia sejak 2012 mengalami bonus demografi dengan surplus usia produktif dan mayoritas dari mereka adalah anak muda. "Situasi ini yang diperoleh oleh negara-negara yang kemajuannya pesat hari ini. Ini bisa menjadi peluang jika dimanfaatkan dengan baik, sebaliknya akan jadi musibah jika kita tidak lebih serius memberdayakan potensi ini dengan baik," ujarnya.
Bagi Arief, kerja cerdas memiliki output produktivitas. Kemajuan teknologi dan situasi pandemi hari ini, kata dia, semua mesti berpikir ulang dalam mengerjakan segala sesuatu. Anak-anak muda benar-benar melihat ini sebagai kesempatan untuk mengejar ketertinggalan mereka dari segi pengalaman dan lain-lain dari seniornya.
"Mereka bisa melakukan banyak hal dalam satu kesempatan waktu atau multitasking, berbeda dengan cara kerja lama yang satu kerjaan satu waktu," imbuhnya.
Ketua Departemen Kaderisasi Pemuda Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini membeberkan, ada dua hal yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi kerja keras pada anak muda, yakni kepercayaan dan bimbingan generasi sebelumnya. Kedua hal ini menurut Arief, menjadi hal yang fundamental.
Musababnya, tanpa kepercayaan dari generasi sebelumnya tentu akan mustahil anak muda memperoleh kesempatan untuk berkarya dan mengambil berbagai peluang di depan mereka.Berikutnya juga tanpa bimbingan dari generasi sebelumnya, anak muda akan bisa tercerabut dari akar budaya yang dimiliki oleh bangsa kita sebagai bangsa besar yang kaya budaya dan sejarah.
"Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kerja keras hari ini harus dimaknai dengan kerja cerdas. Dan budaya ini sudah nampak dari banyak negara maju, digerakkan oleh anak mudanya. Indonesia mustahil akan menjadi negara maju tanpa orkestrasi kerja cerdas dari anak mudanya, di situlah peran para stakeholder khususnya pemerintah," tegasnya.
Dia lantas menuturkan, masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah adalah kesenjangan antar anak muda. Arief menyaksikan langsung ketika berkesempatan keliling ke 300-an lebih kabupaten/kota dan berkolaborasi dengan ratusan komunitas dan jutaan anak muda dari berbagai latar belakang di seluruh Indonesia hingga teman-teman anak muda diaspora di seluruh dunia.
Presiden Joko Widodo, lanjut dia, sebenarnya sudah melihat masalah ini makanya dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan. Sayangnya, Perpres itu belum terimplementasi dengan baik.
"Kesadaran berbagai stakeholder yang belum melihat bahwa pemuda adalah bahan bakar utama untuk mengungkit negara kita menjadi Indonesia Maju. Visi Indonesia Maju inilah yang harus terus dikumandangkan dan tak bosan disampaikan hingga diimplementasikan oleh semua stakeholder dari pusat hingga keseluruh Indonesia," ucap Arief.
Adapun Psikolog Universitas Pancasila (UP) Putri Langka melihat generasi mencoba mempelajari dan memahami generasi sebelumnya atau generasi orang tua mereka. Penghayatan atas perlakuan yang didapatkan dari generasi sebelumnya mendorong mereka mengevaluasi kembali apa yang dianggap penting dalam hidup. Itulah sebabnya setiap generasi bisa memiliki prioritas yang berbeda dan bisa jadi bertolak belakang dengan generasi sebelumnya. “Nilai dan sikap yang bertolak belakang ini seakan menjadi sebuah pernyataan atau simbol ketidaksetujuan tentang apa yang sebelumnya dianggap baik,” katanya.
Bagi Arief, kerja cerdas memiliki output produktivitas. Kemajuan teknologi dan situasi pandemi hari ini, kata dia, semua mesti berpikir ulang dalam mengerjakan segala sesuatu. Anak-anak muda benar-benar melihat ini sebagai kesempatan untuk mengejar ketertinggalan mereka dari segi pengalaman dan lain-lain dari seniornya.
"Mereka bisa melakukan banyak hal dalam satu kesempatan waktu atau multitasking, berbeda dengan cara kerja lama yang satu kerjaan satu waktu," imbuhnya.
Ketua Departemen Kaderisasi Pemuda Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini membeberkan, ada dua hal yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi kerja keras pada anak muda, yakni kepercayaan dan bimbingan generasi sebelumnya. Kedua hal ini menurut Arief, menjadi hal yang fundamental.
Musababnya, tanpa kepercayaan dari generasi sebelumnya tentu akan mustahil anak muda memperoleh kesempatan untuk berkarya dan mengambil berbagai peluang di depan mereka.Berikutnya juga tanpa bimbingan dari generasi sebelumnya, anak muda akan bisa tercerabut dari akar budaya yang dimiliki oleh bangsa kita sebagai bangsa besar yang kaya budaya dan sejarah.
"Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kerja keras hari ini harus dimaknai dengan kerja cerdas. Dan budaya ini sudah nampak dari banyak negara maju, digerakkan oleh anak mudanya. Indonesia mustahil akan menjadi negara maju tanpa orkestrasi kerja cerdas dari anak mudanya, di situlah peran para stakeholder khususnya pemerintah," tegasnya.
Dia lantas menuturkan, masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah adalah kesenjangan antar anak muda. Arief menyaksikan langsung ketika berkesempatan keliling ke 300-an lebih kabupaten/kota dan berkolaborasi dengan ratusan komunitas dan jutaan anak muda dari berbagai latar belakang di seluruh Indonesia hingga teman-teman anak muda diaspora di seluruh dunia.
Presiden Joko Widodo, lanjut dia, sebenarnya sudah melihat masalah ini makanya dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan. Sayangnya, Perpres itu belum terimplementasi dengan baik.
"Kesadaran berbagai stakeholder yang belum melihat bahwa pemuda adalah bahan bakar utama untuk mengungkit negara kita menjadi Indonesia Maju. Visi Indonesia Maju inilah yang harus terus dikumandangkan dan tak bosan disampaikan hingga diimplementasikan oleh semua stakeholder dari pusat hingga keseluruh Indonesia," ucap Arief.
Adapun Psikolog Universitas Pancasila (UP) Putri Langka melihat generasi mencoba mempelajari dan memahami generasi sebelumnya atau generasi orang tua mereka. Penghayatan atas perlakuan yang didapatkan dari generasi sebelumnya mendorong mereka mengevaluasi kembali apa yang dianggap penting dalam hidup. Itulah sebabnya setiap generasi bisa memiliki prioritas yang berbeda dan bisa jadi bertolak belakang dengan generasi sebelumnya. “Nilai dan sikap yang bertolak belakang ini seakan menjadi sebuah pernyataan atau simbol ketidaksetujuan tentang apa yang sebelumnya dianggap baik,” katanya.