Mempersempit Kesenjangan Pendidikan

Senin, 03 Mei 2021 - 06:22 WIB
loading...
A A A
Terbaginya kewenangan pengelolaan pendidikan antara pusat dan daerah menjadi masalah tersendiri, belum lagi dua kementerian setidaknya punya kewenangan dalam urusan pendidikan, yakni Kementerian Agama dan Kemendikbud Ristek. Hal tersebut membuat tata kelola terkotak-kotak sehingga penghargaan berupa tunjangan kepada daerah khusus masih belum dirasakan, misalnya bagi guru di daerah terpencil, pembangunan sekolah di daerah dengan kondisi masyarakat adat, perhatian pada daerah perbatasan, pulau terluar, serta daerah bencana dan daerah konflik. Kesulitannya pengimplementasian kebijakan selama ini dikarenakan desentralisasi pengelolaan pendidikan sehingga sangat bergantung pada kemampuan keuangan daerah dan kemauan politik kepala daerah.

Intervensi Pemerintah Pusat

Banyak masalah mengangkut tata kelola pendidikan terbentur kewenangan pusat dan daerah sehingga ketimpangan kian nampak antarprovinsi dengan sumber dana dan sumber daya yang berbeda. Karena itu, pemerintah pusat perlu gencar melakukan intervensi kebijakan, dari pemenuhan sarana pendidikan yang terstandarisasi, termasuk membangun sekolah berasrama serta pendidikan layanan khusus untuk beberapa daerah yang mengalami hambatan kultural. Intervensi penguatan guru, termasuk skema guru penggerak yang diterjunkan di daerah minim guru untuk mengatasi keterbatasan jumlah dan kualitas guru. Pemerintah pusat juga perlu menyiapkan guru lokal melalui penguatan perguruan tinggi denganoutputpendidik dan tenaga kependidikan. Intervensi lain adalah tata kelola, dengan penyusunan standardisasi kompetensi untuk pejabat yang mengatur masalah pendidikan dari mulai kepala dinas pendidikan hingga kepala sekolah karena banyak kasus yang menujukan penunjukan tidak sesuai kompetensi. Pemerintah pusat juga dapat menggunakan skemareward and punishmentmelalui dana BOS dan sertifikasi dalam menguatkan pengawasan pelaksanaan pelayanan pendidikan.

Kelas Sosial Pendidikan

Tidak hanya antardaerah, ketimpangan terjadi dalam satu daerah antarkelompok masyarakat. Hadirnya sekolah-sekolah premium yang diperuntukkan bagi anak orang kaya dengan harganya pendidikan yang fantastis membuat sekolah itu menjadi kumpulan anak dengan kelas sosial tinggi, di saat bersamaan sekolah negeri hanya dapat diisi anak-anak yang memenuhi syarat administrasi, di sisi lain masih banyak warga marginal yang belum mampu mendapatkan layanan pendidikan karena masalah administrasi kependudukan dan kondisi ekonomi.

Contoh itu ditemukan di Jakarta, sebagai kota yang terbuka dan menjadi tujuan usaha. Ibu Kota banyak dihuni warga non-DKI yang menempati lahan-lahan ilegal, tidak masuknya mereka dalam data kependudukan membuat anak-anak yang dilahirkan, tumbuh tanpa bisa mendapatkan sentuhan program-program yang hanya diperuntukkan bagi anak warga ber-KTP Jakarta. Secara administrasi hal itu bisa saja dianggap wajar, namun secara kemanusiaan tentu melukai hati nurani, anak jangan menjadi korban dari kemiskinan orang tuanya, mereka harus dipandang sebagai anak Indonesia yang punya hak yang sama. Pemerintah tidak boleh membiarkan ketimpangan ini menjadi kecemburuan yang akhirnya menjadikan terwujudnya kelas sosial pendidikan.

Jika berharap bangsa ini maju, pendidikan harus menjadi yang terdepan serta prioritas utama. Masalah kesenjangan harus di atasi. Bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara telah memberikan contoh bagaimana pendidikan bisa diakses warga miskin. Melalui Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara berharap pendidikan bisa dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang bulu.

Keteladanan itu harus diikuti dalam kebijakan pemerintah dalam pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, menyangkut persamaan kesempatan, aksesibilitas, dan keadilan. Kita tidak boleh membiarkan negara melanggar amanat konstitusi dalam memberikan hak pendidikan untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas menuju bangsa bahagia, adil, dan makmur.
(war)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1676 seconds (0.1#10.140)