Mempersempit Kesenjangan Pendidikan

Senin, 03 Mei 2021 - 06:22 WIB
loading...
Mempersempit Kesenjangan...
Mempersempit Kesenjangan Pendidikan
A A A
Adjat Wiratma,

Jurnalis / Doktor Manajemen Pendidikan

Praktik pendidikan di era pandemi Covid-19 sudah berjalan lebih dari satu tahun diwarnai ketimpangan. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) hanya dimaknai sebagian besar sekolah dengan praktik belajar daring telah membuat satu anak dengan anak lain belajar dalam kondisi tidak sama. Tidak meratanya layanan pendidikan selama ini kian kasatmata. Selama belajar dari rumah, bagi anak keluarga mampu mereka dapat belajar dengan perangkaplaptopdan jaringanWi-Fimemadai, kondisi berbeda dirasakan anak lain harus belajar di lingkungan tidak kondusif, mengandalkanhandphoneyang bergantian pemakaian dengan kakak atau adiknya yang juga hendak belajar daring.

Sekalipun sempat mengeluarkan uang triliunan rupiah untuk subsidi kuota, pada akhirnya disadari bahwa PJJ bermasalah, hal itu membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang berganti nomenklatur menjadi Kemendikbud Ristek mendorong agar sekolah melalui izin Pemerintah Daerah dapat melakukan uji coba belajar tatap muka secara terbatas. Uji coba yang dipaksakan dan berisiko, mengingat angka kasus Covid-19 masih terbilang tinggi.

Bicara tidak meratanya kondisi pendidikan di Indonesia sebenarnya tidak hanya terjadi karena pandemi. Jomplangnya kondisi pendidikan antarwilayah merupakan pekerjaan rumah yang belum tuntas. Terlebih di wilayah-wilayah yang oleh pemerintah dimasukkan dalam kategori 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). Rendahnya akses dan mutu pendidikan di daerah tersebut telah menimbulkan ketimpangan. Indikator statistik telah banyak menunjukkan adanya kesenjangan partisipasi dan kualitas pendidikan antarprovinsi. Jika diselami lebih dalam, kondisi di lapangan jauh lebih memprihatinkan dibandingkan angka-angka statistik.

Tidak banyak yang tertarik untuk menyoal ketimpangan pendidikan, karena dianggap hanya berkutat pada masalah klasik yang tak berkesudahan. Pemerintah sendiri lebih ingin dinilai maju satu langkah, dengan menggaungkan program-program unggulan walau hanya diserap oleh sebagai pelaku pendidikan di sebagian wilayah. Namun, perlu diingat bahwa Indonesia secara kewilayahan, adat dan budaya, serta kondisi sosial-ekonomi tidak bisa disamaratakan. Ketimpangan pembangunan dalam berbagai bidang yang dijalankan bertahun-tahun menyisakan kemiskinan dan ketertinggalan. Sekalipun pemerintah hari ini mencoba untuk mengalihkan orientasi pembangunan, namun tidak bisa serta-merta menyuap daerah tertinggal menjadi maju, termasuk bidang pendidikan.

Akses dan Mutu

Pasal 31 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan bahwa warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Karena itu, pendidikan harus bisa diakses dan dijangkau oleh semua warga negara, melampaui berbagai kendala baik fisik, mental, jenis kelamin, ekonomi, geografis, dan sosial. Akses pendidikan adalah segala kemudahan yang diberikan kepada setiap warga untuk menggunakan kesempatannya dalam meraih pendidikan yang layak. Akses pendidikan juga dapat berupa sikap sosial serta kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak diskriminasi. Selain akses, aspek yang penting lainnya adalah mutu pendidikan, ini terkait dengan bagaimana proses pengajaran dijalankan secara efektif. Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan ajar, sarana belajar, serta kualitas guru. Untuk itu, pemerintah harus menjamin ketersediaan buku teks dan material pembelajaran, serta menyediakan sarana dan prasarana berstandar nasional. Terkait peningkatan kualitas guru itu mengakut pengetahuan guru atas materi, kemampuan pedagogi, serta motivasi guru dalam mengajar. Selain akses dan mutu, yang berhubungan langsung dengan proses belajar mengajar, terdapat aspek lain yang juga penting diperhatikan, yakni kesehatan dan nutrisi siswa, latar belakang keluarga dan komunitas, serta budaya akademik. Semua hal itu erat kaitannya dengan modal mewujudkan visi pembangunan sumber daya manusia.

Langkah Strategis

Diperlukan seperangkat strategi yang diambil pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mempersempit kesenjangan yang klasik ini. Selain melahirkan kebijakan publik menyangkut penyediaan sarana dan prasarana, juga langkah nyata untuk memastikan program berjalan sesuai dengan target yang diinginkan. Peningkatan kualifikasi guru menjadi sangat strategis, yakni mengurai kesenjangan pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, antarjenis pendidikan, antarkabupaten/kota, dan antarprovinsi yang masih tinggi. Contohnya saja di sejumlah tempat tidak jarang ditemukan sekolah dengan jumlah guru PNS satu atau dua orang dan ditambah seorang kepala sekolah, atau sekolah dengan jumlah honorer yang lebih banyak dari pada guru PNS.

Terbaginya kewenangan pengelolaan pendidikan antara pusat dan daerah menjadi masalah tersendiri, belum lagi dua kementerian setidaknya punya kewenangan dalam urusan pendidikan, yakni Kementerian Agama dan Kemendikbud Ristek. Hal tersebut membuat tata kelola terkotak-kotak sehingga penghargaan berupa tunjangan kepada daerah khusus masih belum dirasakan, misalnya bagi guru di daerah terpencil, pembangunan sekolah di daerah dengan kondisi masyarakat adat, perhatian pada daerah perbatasan, pulau terluar, serta daerah bencana dan daerah konflik. Kesulitannya pengimplementasian kebijakan selama ini dikarenakan desentralisasi pengelolaan pendidikan sehingga sangat bergantung pada kemampuan keuangan daerah dan kemauan politik kepala daerah.

Intervensi Pemerintah Pusat

Banyak masalah mengangkut tata kelola pendidikan terbentur kewenangan pusat dan daerah sehingga ketimpangan kian nampak antarprovinsi dengan sumber dana dan sumber daya yang berbeda. Karena itu, pemerintah pusat perlu gencar melakukan intervensi kebijakan, dari pemenuhan sarana pendidikan yang terstandarisasi, termasuk membangun sekolah berasrama serta pendidikan layanan khusus untuk beberapa daerah yang mengalami hambatan kultural. Intervensi penguatan guru, termasuk skema guru penggerak yang diterjunkan di daerah minim guru untuk mengatasi keterbatasan jumlah dan kualitas guru. Pemerintah pusat juga perlu menyiapkan guru lokal melalui penguatan perguruan tinggi denganoutputpendidik dan tenaga kependidikan. Intervensi lain adalah tata kelola, dengan penyusunan standardisasi kompetensi untuk pejabat yang mengatur masalah pendidikan dari mulai kepala dinas pendidikan hingga kepala sekolah karena banyak kasus yang menujukan penunjukan tidak sesuai kompetensi. Pemerintah pusat juga dapat menggunakan skemareward and punishmentmelalui dana BOS dan sertifikasi dalam menguatkan pengawasan pelaksanaan pelayanan pendidikan.

Kelas Sosial Pendidikan

Tidak hanya antardaerah, ketimpangan terjadi dalam satu daerah antarkelompok masyarakat. Hadirnya sekolah-sekolah premium yang diperuntukkan bagi anak orang kaya dengan harganya pendidikan yang fantastis membuat sekolah itu menjadi kumpulan anak dengan kelas sosial tinggi, di saat bersamaan sekolah negeri hanya dapat diisi anak-anak yang memenuhi syarat administrasi, di sisi lain masih banyak warga marginal yang belum mampu mendapatkan layanan pendidikan karena masalah administrasi kependudukan dan kondisi ekonomi.

Contoh itu ditemukan di Jakarta, sebagai kota yang terbuka dan menjadi tujuan usaha. Ibu Kota banyak dihuni warga non-DKI yang menempati lahan-lahan ilegal, tidak masuknya mereka dalam data kependudukan membuat anak-anak yang dilahirkan, tumbuh tanpa bisa mendapatkan sentuhan program-program yang hanya diperuntukkan bagi anak warga ber-KTP Jakarta. Secara administrasi hal itu bisa saja dianggap wajar, namun secara kemanusiaan tentu melukai hati nurani, anak jangan menjadi korban dari kemiskinan orang tuanya, mereka harus dipandang sebagai anak Indonesia yang punya hak yang sama. Pemerintah tidak boleh membiarkan ketimpangan ini menjadi kecemburuan yang akhirnya menjadikan terwujudnya kelas sosial pendidikan.

Jika berharap bangsa ini maju, pendidikan harus menjadi yang terdepan serta prioritas utama. Masalah kesenjangan harus di atasi. Bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara telah memberikan contoh bagaimana pendidikan bisa diakses warga miskin. Melalui Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara berharap pendidikan bisa dinikmati seluruh rakyat tanpa pandang bulu.

Keteladanan itu harus diikuti dalam kebijakan pemerintah dalam pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, menyangkut persamaan kesempatan, aksesibilitas, dan keadilan. Kita tidak boleh membiarkan negara melanggar amanat konstitusi dalam memberikan hak pendidikan untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas menuju bangsa bahagia, adil, dan makmur.
(war)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1618 seconds (0.1#10.140)