Negara Safe Haven Bikin Koruptor Anteng

Jum'at, 23 April 2021 - 06:23 WIB
loading...
Negara Safe Haven Bikin Koruptor Anteng
Memburu pelaku korupsi hingga keluar negeri menjadi keharusan meski penuh tantangan. FOTO/DOK SINDO
A A A
JAKARTA - Upaya perburuan koruptor Indonesia dan aset-asetnya seringkali tak berjalan mulus. Para koruptor lebih cerdik dengan berlindung di negara-negara yang memberikan pengamanan atas keberadaan dan aset mereka atau dikenal dengan safe haven .

Singapura dikenal menjadi salah satu safe haven bagi para pelaku kejahatan ekonomi dunia. Banyak koruptor Indonesia pun ngumpet di Singapura. Padahal, Indonesia dan Singapura telah mendiskusikan perjanjian ekstradisi.

Namun langkah ini masih mentok. Pemicunya, Singapura mengajukannya bersamaan perjanjian pertahanan (defense cooperation agreement/DCA). Dalam rancangan perjanjian ini, Singapura meminta Indonesia memberi tempat untuk melakukan latihan militer. Hal ini pun mendapat penolakan keras dari DPR.



Sebenarnya negara-negara di dunia melalui G20 pada 2012 sudah menyatakan prinsip bersama menentang safe haven ketika konferensi di Meksiko. Dalam pernyataan bersama, para pemimpin G20 berkomitmen mencegah korupsi.

"Negara anggota G20 juga menolak menjadi safe haven dan mendukung perilaku seperti itu," demikian pernyataan G20.

Selain itu, negara-negara anggota APEC juga sudah memiliki kesepakatan untuk tidak menjadi safe haven dalam konferensi di Bangkok, pada 2018 lalu. Negara-negara APEC membangun komitmen politik untuk tidak menjadi safe haven menampung hasil korupsi. "Anggota APEC juga memberikan kerja sama dan bantuan teknis untuk memerangi korupsi dan perampasan aset atas dasar saling menghormati dan membangun kepercayaan," demikian keterangan APEC.



Selain Singapura, surga safe haven para koruptor dunia adalah Swiss, Panama, the Seychelles, Palau. Cayman Islands dan Amerika Serikat. Cayman Islands menduduki peringkat pertama sebagai negara yang berkontribusi terhadap penyembunyiaan finansial. Itu dikaitkan dengan negara yang digunakan untuk menyimpan hasil kejahatan dan investor yang ingin menyembunyikan kekayaannya.

Cayman Islands, yang dekat dengan Kuba menjadi pusat kerahasiaan keuangan karena memiliki lebih dari 100.000 perusahaan yang sangat kontras dengan jumlah penduduknya. Cayman Islands memang menarik perhatian dari pemilik uang haram di seluruh dunia. Negara itu tidak memberlakukan pajak bagi korporasi.

Bahkan, warga atau wisatawan pun tidak diberlakukan pajak. “Cayman merupakan pusat keuangan internasional,” bela Perdana Menteri Cayman Islands, Alden McLaughlin. Dia mengatakan, Cayman Islands terus berusaha memperbaiki citranya bersaing dengan pusat keuangan lainnya seperti Swiss, Hong Kong, Luxembourg, Delaware, hingga London.

Peningkatan AS sebagai safe haven karena beberapa negara bagian seperti New Hampshire mengizinkan mendirikan yayasan pribadi tanpa perlu mengumumkan laporan keuangan. “Kerahasiaan keuangan menjadi masalah besar di AS karena mengizinkan kejahatan dan perdagangan manusia hingga korupsi baik di dalam negeri dan luar,” kata Clark Gascoigne, diretur eksekutif koalisi Financial Accountability and Corporate Transparency (FACT).

Sedangkan Tax Justice Network menempatkan Swiss pada posisi ketiga karena memiliki reformasi kerahasiaan bank hanya diterapkan ke negara kaya dibandingkan negara miskin. Citra Swiss memang terus membaik karena berusaha membuat kebijakan untuk mendukung transparansi. "Serangkaian reformasi yang dilakukan banyak negara membuat kerahasiaan keuangan semakin menurun," kata Liz Nelson, direktur Tax Justice Network.

Selain isu ekstradisi, upaya perampasan aset juga menjadi agenda penting pemerintah Indonesia. Selama ini, ketika proses ekstradisi terhalang, maka perburuan aset di luar negeri pun akan mengalami banyak tantangan.

Khusus dengan Singapura, Indonesia sebenarnya telah merintis perjanjian ekstradisi sejak 1972. Namun, pembahasannya baru dimulai pada 2004 lalu. Pembahasan rancangan perjanjian ekstradisi pun cukup alot baik di dalam negeri atau pun saat pertemuan bilateral, sehingga kedua negara baru menandatanganinya pada 27 April 2007 di Bali.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Eddy Pratomo mengatakan perundingan perjanjian ekstradisi dengan Singapura dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri. Sedangkan untuk Defense Cooperation Agreement (DCA) dilakukan oleh Kementerian Pertahanan. Antara ektradisi dan isu pertahanan merupakan dua isu berbeda.

Mantan diplomat di New York, Jenewa, London dan Berlin itu berpendapat bahwa perjanjian ekstradisi dibuat sedemikian rupa sehingga isinya mengatur beberapa klausul elemen-elemen yang bisa menjangkau dana-dana BLBI di Singapura saat itu. Bahkan sampai sekarang perjanjian tersebut berlaku mundur (retroaktif) sekitar 10 tahun. Dia mengakui pelaksanaan perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura terkendala karena Singapura juga meminta soal DCA.

Dia menuturkan, DPR mungkin akan meratifikasi perjanjian ekstradisi jika hal itu berdiri sendiri. Namun karena dibarengi dengan perjanjian pertahanan, maka DPR melihat kekhawatiran dari aspek yuridis. “Karena khawatir diajukan bersama (dengan DCA) sehingga DPR memiliki analisis yuridis politis yang agak berbeda,” ungkapnya.

Kendati demikian, Eddy melihat hubungan bilateral Indonesia-Singapura tidak terganggu dengan kendala tersebut. Dia juga menegaskan bahwa prinsip dasar dalam perundingan ekstradisi telah disepakati oleh kedua negara pada tingkat eksekutif.

Eddy juga melihat kalau untuk saat ini perjanjian tersebut sudah lewat masanya. Di sisi lain, isu BLBI saat ini muncul kembali. Sehingga jika ingin menggunakan perjanjian tersebut maka harus melalui proses negosiasi ulang. “Itu pun kalau kedua negara mau, itu pun dengan klausul baru karena perkembangan sudah baru,” katanya.

Kerja Sama 13 Negara
Saat ini Indonesia telah menjalin kerjasam ekstradisi dengan sekitar 13 negara baik di kawasan Asean hingga Timur Tengah. Antara lain Korsel, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Australia, Cina, India, Papua New Ghini, Persatuan Uni Emirat Arab dan Iran. “Kecuali dengan Singapura karena belum diratifikasi,” tambahnya.

Terkait dengan pengejaran aset yang ada di luar negeri, Eddy berpendapat hal itu tidaklah mudah. Terlebih saat ini RUU Perampasan Aset masih dalam proses penggodokan. Untuk dapat menarik aset yang ada di luar negeri tentunya pemerintah harus memiliki dasar hukumnya.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengakui belum disetujuinya ratifikasi karena Singapura meminta wilayah Indonesia dijadikan sebagai tempat latihan pesawat udaranya. “Harapan dari rakyat Indonesia agar legal assistance atau bantuan hukum yang diberikan hendaknya lebih luas lagi, termasuk ke depannya soal ekstradisi," tegasnya.

Menurut dia, masalah ekstradisi ini memang harus segera dituntaskan, pasalnya hal tersebut sangat penting guna mengakhiri kasus-kasus kriminal yang selama ini terjadi. Dia berpendapat, banyaknya orang Indonesia yang membawa hasil korupsinya ke Singapura dikhawatirkan dapat mengganggu hubungan hubungan kedua belah negara.

Oleh karena itu pembicaraan soal ekstradisi harus didorong, agar pada 2024 datang bisa dirasakan kebersamaannya. Dia juga meminta keseriusan dari pemerintah dan Parlemen Singapura dalam menyelesaikan masalah ekstradisi tersebut.

Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik menegaskan, DPR terus berupaya meratifikasi perjanjian ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Di antaranya yang terakhir dengan Iran pada 14 Desember 2016.

"Kami yakin ini akan mendukung penegakan hukum di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kejahatan lintas negara," terang politikus partai Demokrat ini.

Erma menegaskan kesepakatan ini harus memperhatikan prinsip umum hukum internasional yang menitikberatkan pada asas penghormatan kedaulatan negara, kedaulatan hukum, kesetaraan, serta mengacu pada asas tindak pidana ganda. Dia menambahkan isi perjanjian tersebut telah mengatur segala komponen yang dibutuhkan.

Sementara itu, Gabriel Zucman, profesor ekonomi Universitas California di Berkeley, mengatakan, keterbukaan dan transparansi sistem finansial suatu negara akan menyulitkan pergerakan uang haram.

“Melalui Indeks Kerahasiaan Keuangan sebenarnya menjadi teleskop Hubble untuk melacak regulasi yang mengganggu dunia yang semakin transparan,” katanya. Upaya untuk mendukung transparansi finansial, menurut Zucman, juga berkiatan dengan tingkat ketimpangan sosial yang terus melebar di berbagai belahan dunia.

Kemudian, Jose Antonio Ocampo, profesor Universitas Columbia mengatakan, perlunya pengadaan langkah untuk memperkuat upaya transparansi sehingga menghalau kerahasiaan finansial karena menimbulkan dampak buruk. “Sebenarnya negara berpendapatan rendah sangat rentan terhadap kerahasiaan keuangan,” paparnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2123 seconds (0.1#10.140)