67 Tahun GMNI: Nasionalisme Kita dan Lanscape Tata Dunia Baru
loading...
A
A
A
Patriot Rasional dan Skema Transisional
“Tanpa teori yang revolusioner tidak akan ada praktik yang revolusioner”, mungkin ini hanya kata-kata klasik Bung Karno namun tetap terus relevan. Pertanyaannya, bagaimana ukuran revolusioner itu? Tentu semua orang bisa mendefinisikan sejumlah ukuran revolusioner berdasarkan kehendak dan preferensi subjektif.
Namun kita perlu menemukan ukuran objektif untuk mendefinisikan apa yang disebut revolusioner tersebut. Mungkin sekilas nampak positivistik. Namun hal ini diperlukan agar gerakan kita tak terombang-ambingkan oleh preferensi subjektif dan asumsi-asumsi politis.
Mungkin ukuran objektif yang dapat diajukan ialah pertama, kongruensi atas ideologi. Tentu arti kongruensi terhadap ideologi berdasarkan perspektif GMNI yakni kongruensi atas Marhaenisme, yaitu kesesuaian dengan politik keberpihakan pada selamatnya hidup kaum Marhaen.
Kedua, kongruensi atas realitas. Kongruensi atas realitas berarti kesesuaian atas realitas yang terjadi ditengah masyarakat kita, termasuk dinamika perubahan di masyarakat kita. Dua ukuran objektif ini penting untuk menjembatani patologi yang umum dialami oleh gerakan yaitu “keretakan antara teori dan praksis”.
Keretakan ini menciptakan dua hal yang sering menjadi problem umum di dalam tubuh gerakan yakni ketidakmampuan merumuskan langkah-langkah praksis gerakan karena ideologi hanya berhenti sebagai keyakinan dan tak mampu menjawab tantangan realitas yang tengah berubah. Di sini kita terjebak pada konservatisme, di mana gerakan hanya berhenti pada pengulangan dalil-dalil ideologi, sekadar mengintrodusir pidato-pidato lama atau mereproduksi slogan-slogan masa lampau.
Kedua, ideologi sudah dianggap tidak relevan karena dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan-tuntutan pragmatis atau memenuhi preferensi subjektif. Hal ini memunculkan sikap anti-intelektual bahkan cenderung brutalitas berfikir. Yang berlaku hanya cara berfikir yang bertumpu pada rasio-instrumental dimana rumusan ideologis dianggap benar jika dapat memenuhi preferensi subjektif.
Keretakan ini perlu dijembatani. Salah satu proposal yang bisa diajukan untuk menjembatani problem keretakan ini yakni adanya skema transisional. Skema transisional ini berfungsi untuk menjembatani antara tuntutan-tuntutan hari ini dengan program gerakan jangka panjang (terbebasnya kaum marhaen dari penindasan).
Skema transisional ini terdiri dari program minimun dan program maksimum. Program minimum ini terbatas pada upaya reforma-reforma di dalam kerangka masyarakat kapitalis hari ini atau dalam kerangka demokrasi liberal yang berlaku hari ini. Sebagai contoh, bagaimana memanfaatkan perkembangan teknologi dan globalisasi untuk meningkatkan taraf hidup kaum marhaen, memperjuangkan akses pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan) yang berkualitas untuk kaum marhaen. Posisi program minimum menjadi penting sebagai tahapan untuk menuju perubahan yang lebih matang.
Namun untuk mengerjakan semua ini, kita membutuhkan kader-kader “patriot-rasional”, yakni kader-kader yang memiliki penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi, mempunyai kemampuan dan kapasitas yang relevan sebagai syarat untuk mewujudkan skema transisional. Artinya, kita perlu terus menerus melakukan upgrade kemampuan dan kapasitas kader. Sehingga mampu menerjemahkan skema transisional ke dalam praksis gerakan.
“Tanpa teori yang revolusioner tidak akan ada praktik yang revolusioner”, mungkin ini hanya kata-kata klasik Bung Karno namun tetap terus relevan. Pertanyaannya, bagaimana ukuran revolusioner itu? Tentu semua orang bisa mendefinisikan sejumlah ukuran revolusioner berdasarkan kehendak dan preferensi subjektif.
Namun kita perlu menemukan ukuran objektif untuk mendefinisikan apa yang disebut revolusioner tersebut. Mungkin sekilas nampak positivistik. Namun hal ini diperlukan agar gerakan kita tak terombang-ambingkan oleh preferensi subjektif dan asumsi-asumsi politis.
Mungkin ukuran objektif yang dapat diajukan ialah pertama, kongruensi atas ideologi. Tentu arti kongruensi terhadap ideologi berdasarkan perspektif GMNI yakni kongruensi atas Marhaenisme, yaitu kesesuaian dengan politik keberpihakan pada selamatnya hidup kaum Marhaen.
Kedua, kongruensi atas realitas. Kongruensi atas realitas berarti kesesuaian atas realitas yang terjadi ditengah masyarakat kita, termasuk dinamika perubahan di masyarakat kita. Dua ukuran objektif ini penting untuk menjembatani patologi yang umum dialami oleh gerakan yaitu “keretakan antara teori dan praksis”.
Keretakan ini menciptakan dua hal yang sering menjadi problem umum di dalam tubuh gerakan yakni ketidakmampuan merumuskan langkah-langkah praksis gerakan karena ideologi hanya berhenti sebagai keyakinan dan tak mampu menjawab tantangan realitas yang tengah berubah. Di sini kita terjebak pada konservatisme, di mana gerakan hanya berhenti pada pengulangan dalil-dalil ideologi, sekadar mengintrodusir pidato-pidato lama atau mereproduksi slogan-slogan masa lampau.
Kedua, ideologi sudah dianggap tidak relevan karena dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan-tuntutan pragmatis atau memenuhi preferensi subjektif. Hal ini memunculkan sikap anti-intelektual bahkan cenderung brutalitas berfikir. Yang berlaku hanya cara berfikir yang bertumpu pada rasio-instrumental dimana rumusan ideologis dianggap benar jika dapat memenuhi preferensi subjektif.
Keretakan ini perlu dijembatani. Salah satu proposal yang bisa diajukan untuk menjembatani problem keretakan ini yakni adanya skema transisional. Skema transisional ini berfungsi untuk menjembatani antara tuntutan-tuntutan hari ini dengan program gerakan jangka panjang (terbebasnya kaum marhaen dari penindasan).
Skema transisional ini terdiri dari program minimun dan program maksimum. Program minimum ini terbatas pada upaya reforma-reforma di dalam kerangka masyarakat kapitalis hari ini atau dalam kerangka demokrasi liberal yang berlaku hari ini. Sebagai contoh, bagaimana memanfaatkan perkembangan teknologi dan globalisasi untuk meningkatkan taraf hidup kaum marhaen, memperjuangkan akses pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan) yang berkualitas untuk kaum marhaen. Posisi program minimum menjadi penting sebagai tahapan untuk menuju perubahan yang lebih matang.
Namun untuk mengerjakan semua ini, kita membutuhkan kader-kader “patriot-rasional”, yakni kader-kader yang memiliki penguasaan atas ilmu pengetahuan dan teknologi, mempunyai kemampuan dan kapasitas yang relevan sebagai syarat untuk mewujudkan skema transisional. Artinya, kita perlu terus menerus melakukan upgrade kemampuan dan kapasitas kader. Sehingga mampu menerjemahkan skema transisional ke dalam praksis gerakan.
(poe)