67 Tahun GMNI: Nasionalisme Kita dan Lanscape Tata Dunia Baru
loading...
A
A
A
Arjuna Putra Aldino
Ketua Umum GMNI
23 MARET yang lalu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) genap berusia 67 tahun. Usia yang cukup tua, dengannya sejarah telah menempa wadah para pejuang-pemikir dengan segala kontribusi dan capaiannya di setiap bilik momentual perjalanan bangsa Indonesia. Tentu, ia hadir bukan hanya dengan segala prestasi yang gilang-gemilang, namun juga dengan problematika yang melingkupinya.
Pasti, kita bisa berkata setiap era atau periodik sejarah GMNI masing-masing memiliki cara meresponnya sendiri sesuai konteks situasi yang dialaminya. Namun kita perlu menengok atau mungkin merefleksikan bagaimana respon tersebut bertaut dengan pemaknaan atas ideologi ditengah perubahan yang sedang berjalan.
Pertautan dengan pemaknaan atas ideologi inilah yang perlu menjadi diskusi panjang, sehingga kita dapat menjawab kerumitan yang muncul selama ini dan dianggap sulit dipecahkan yakni, pertama, bagaimana kita mempunyai rumusan ideologis yang memiliki koherensi dengan realitas aktual dan diturunkan dalam praksis gerakan kongkrit serta efektif.
Kedua, bagaimana praksis tersebut dapat dijaga konsistensinya dengan rumusan ideologis tanpa menjauhkan diri dari realitas aktual. Tanpa menjawab pertanyaan itu semua, kegagalan demi kegagalan akan terjadi dalam menjelaskan, menafsirkan hingga memecahkan berbagai persoalan bangsa, sehingga status pengetahuannya tak ubahnya seperti kepercayaan (belief).
Merethinking kembali makna nasionalisme penting untuk dilakukan, mengingat akhir-akhir ini konsep nasionalisme banyak terdistorsi oleh sejumlah narasi-narasi populis akibat dari gelombang populisme dan politik identitasyang sedang berlangsung saat ini. Untuk itu, tulisan ini bukan hanya sekedar mencari rumusan ideologis yang kontekstual melainkan juga memilah konsep nasionalisme kita dengan narasi-narasi populis yang berkembang.
Tata Dunia Baru,Tribal Nationalism, dan Post-Nation State
Pasar yang terglobalisasi dan dibiarkan begitu bebas bukan tak memiliki risiko dan dampak terhadap kehidupan sosial. Ia menyebabkan ketimpangan masyarakat antara mereka yang memperoleh keuntungan dan mereka yangterabaikan.
Krisis ekonomi dan keuangan global pada tahun 2008 telah mengakibatkan krisis politik dimana demokrasi liberal telah kehilangan legitimasi dan dianggap gagal dalam mewakili kepentingan warga negara. Tindakan proteksionis yang berlebihan, kebangkitan supremasi kulit putih dan menguatnya kekuatan politik primordial salah satu reaksi atas perkembangan pasar bebas yang semakin menghasilkan ketidakadilan.
Fenomena lain, yang dapat diamati dibanyak negara di seluruh dunia, adalah mengambinghitamkan mereka, yang dituduh bukanmerupakan bagian dari identitas kelompok. Di Eropa maupun di Amerika Serikat kelompokpopulis sayap kanan menyalahkan “kelompok migran” karena telah menyebabkan pengabaiansosial “warga negara asli”.
Di beberapa negara di Asia, baik kelompok Kristen, Islam, atau etnisTiongkok dijadikan kambing hitam karena berbagai alasan yang berbeda. Populisme telah menawarkan pengakuan, identitas moral, dan identitas kelompok kepada mereka yang merasa terabaikan. Mereka juga cenderunglebih jauh mengembangkan kebencian melalui hoaks/berita palsu melalui “media sosial”.
Ketua Umum GMNI
23 MARET yang lalu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) genap berusia 67 tahun. Usia yang cukup tua, dengannya sejarah telah menempa wadah para pejuang-pemikir dengan segala kontribusi dan capaiannya di setiap bilik momentual perjalanan bangsa Indonesia. Tentu, ia hadir bukan hanya dengan segala prestasi yang gilang-gemilang, namun juga dengan problematika yang melingkupinya.
Pasti, kita bisa berkata setiap era atau periodik sejarah GMNI masing-masing memiliki cara meresponnya sendiri sesuai konteks situasi yang dialaminya. Namun kita perlu menengok atau mungkin merefleksikan bagaimana respon tersebut bertaut dengan pemaknaan atas ideologi ditengah perubahan yang sedang berjalan.
Pertautan dengan pemaknaan atas ideologi inilah yang perlu menjadi diskusi panjang, sehingga kita dapat menjawab kerumitan yang muncul selama ini dan dianggap sulit dipecahkan yakni, pertama, bagaimana kita mempunyai rumusan ideologis yang memiliki koherensi dengan realitas aktual dan diturunkan dalam praksis gerakan kongkrit serta efektif.
Kedua, bagaimana praksis tersebut dapat dijaga konsistensinya dengan rumusan ideologis tanpa menjauhkan diri dari realitas aktual. Tanpa menjawab pertanyaan itu semua, kegagalan demi kegagalan akan terjadi dalam menjelaskan, menafsirkan hingga memecahkan berbagai persoalan bangsa, sehingga status pengetahuannya tak ubahnya seperti kepercayaan (belief).
Merethinking kembali makna nasionalisme penting untuk dilakukan, mengingat akhir-akhir ini konsep nasionalisme banyak terdistorsi oleh sejumlah narasi-narasi populis akibat dari gelombang populisme dan politik identitasyang sedang berlangsung saat ini. Untuk itu, tulisan ini bukan hanya sekedar mencari rumusan ideologis yang kontekstual melainkan juga memilah konsep nasionalisme kita dengan narasi-narasi populis yang berkembang.
Tata Dunia Baru,Tribal Nationalism, dan Post-Nation State
Pasar yang terglobalisasi dan dibiarkan begitu bebas bukan tak memiliki risiko dan dampak terhadap kehidupan sosial. Ia menyebabkan ketimpangan masyarakat antara mereka yang memperoleh keuntungan dan mereka yangterabaikan.
Krisis ekonomi dan keuangan global pada tahun 2008 telah mengakibatkan krisis politik dimana demokrasi liberal telah kehilangan legitimasi dan dianggap gagal dalam mewakili kepentingan warga negara. Tindakan proteksionis yang berlebihan, kebangkitan supremasi kulit putih dan menguatnya kekuatan politik primordial salah satu reaksi atas perkembangan pasar bebas yang semakin menghasilkan ketidakadilan.
Fenomena lain, yang dapat diamati dibanyak negara di seluruh dunia, adalah mengambinghitamkan mereka, yang dituduh bukanmerupakan bagian dari identitas kelompok. Di Eropa maupun di Amerika Serikat kelompokpopulis sayap kanan menyalahkan “kelompok migran” karena telah menyebabkan pengabaiansosial “warga negara asli”.
Di beberapa negara di Asia, baik kelompok Kristen, Islam, atau etnisTiongkok dijadikan kambing hitam karena berbagai alasan yang berbeda. Populisme telah menawarkan pengakuan, identitas moral, dan identitas kelompok kepada mereka yang merasa terabaikan. Mereka juga cenderunglebih jauh mengembangkan kebencian melalui hoaks/berita palsu melalui “media sosial”.