Penguatan Ombudsman RI Yang Berwibawa, Efektif dan Adil
loading...
A
A
A
Digitalisasi Pelayanan Publik
Saat ini keberadaan internet menjadi vital sebagai satu pendekatan inovasi akses pelayanan public. Selain untuk bekerja, publik juga menggunakan internet sebagai sarana komunikasi dan interaksi sosial. Terlebih saat ini internet mudah diakses melalui smartphone yang bisa dibawa ke manapun. Konsep lain dari society 5.0 adalah menjadikan akses internet sebagai media untuk memindahkan apa yang ada di dunia maya ke dunia nyata.
Sebetulnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik telah meletakkan dasar yuridis dalam Penggunaan Teknologi Informasi dalam pelayanan public, Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa: “Dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan Sistem Informasi yang bersifat nasional”.
Sementara itu, pada Pasal 23 ayat (4) UU a quo dinyatakan bahwa: “Penyelenggara berkewajiban mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas Sistem Informasi Elektronik atau Non Elektronik yang sekurang- kurangnya meliputi; profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelola pengaduan dan penilaian kinerja”.
Upaya digitalisasi pelayanan publik, memberikan afirmasi pada implementasi prinsip-prinsip pelayanan publik, yang antara lain; transparansi, kecepatan partisipasi, aksesibilitas, non diskriminasi, anti KKN, dan sebagainya akan mudah diwujudkan. Selain itu, bagi sektor swasta yang sudah lebih dahulu memulai penggunaan program digitalisasi ini, justru akan banyak mendukung pemanfaatan akses teknologi informasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Apalagi dengan adanya Pandemi Covid-19 ini, pemanfaatan teknologi digital dengan didukung infrastruktur dan sumber daya manusia yang handal akan dapat menjembatani akses pelayanan publik ditengah pandemic, yang semakin membatasi interaski secara verbal atau langsung.
Data Ombudsman RI menunjukkan bahwa akses pengaduan kepada Ombudsman RI melalui digital masih sangat minim, sebagaimana data berikut :
Pemanfaatan teknologi dalam pengaduan kepada Ombudsman RI masih sangat minim, karena itu kedepan Ombudsman RI harus menciptakan sistem/aplikasi pengaduan yang dapat dinstal di smart phone, dan sewaktu-waktu masyarakat dapat dengan sangat mudah mengajukan pengaduan kepada Ombudsman RI. Selain itu juga dilengkapi dengan progrest tindak lanjut dari Ombudsman RI atas pengaduan tersebut. dengan begitu penguatan akses public terhadap tugas dan fungsi Ombudsman RI dapat terwujud.
Penguatan Pengawasan terhadap Birokrasi
Sesungguhnya kehadiran Ombudsman merupakan penunjang DPR dalam memperkuat fungsi pengawasan terhadap eksekutif (birokrasi pemerintahan), karena itu kemitraan Ombudsman dan DPR harus diperkuat dan lebih sinergis. DPR dan dan dan Ombudsman RI harus memiliki prioritas pengawasan yang sinergis dan efektif. Kelemahan Ombudsman RI soal lemahnya tindaklanjut rekomendasi dapat diperkuat dengan peran DPR untuk mendorong eksekutif melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI.
Pengawasan Ombudsman RI selain diwujudkan dengan penerimaan laporan dan investigasi atas prakarsa sendiri juga diwujudkan dengan mendorong refornasi birokrasi secara tuntas. Peran ini dapat dilakukan oleh Ombudsman RI dengan bersinergi dengan lembaga lainnya, baik DPR, Kementerian PAN-RB maupun Kementerian Keuangan, dan lain-lain. Rule module reformasi birokrasi dengan pelayanan prima dan anti-KKN harus diciptkan oleh Ombudsman RI sehingga strategi perubahan struktrural lebih mudah diwujudkan.
Ombudsman RI tidak dapat dilepaskan dari masyarakat, sehingga sinergisitas antara Ombudsman RI dengan kekuatan civil society harus terus dibangun dan dikembangkan, dengan berbagai model pendekatan, dengan cara klarifikasi, konsiliasi dan mediasi sesuai mandate yang ditetapkan dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Ombudsman RI telah mengeluarkan sebanyak 34 rekomendasi kepada Kementerian/Lembaga dan kepala daerah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2008. Namun setelah dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan rekomendasi tersebut, diketahui kepatuhan lembaga penyelenggara negara terhadap rekomendasi Ombudsman masih belum optimal.
Saat ini keberadaan internet menjadi vital sebagai satu pendekatan inovasi akses pelayanan public. Selain untuk bekerja, publik juga menggunakan internet sebagai sarana komunikasi dan interaksi sosial. Terlebih saat ini internet mudah diakses melalui smartphone yang bisa dibawa ke manapun. Konsep lain dari society 5.0 adalah menjadikan akses internet sebagai media untuk memindahkan apa yang ada di dunia maya ke dunia nyata.
Sebetulnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik telah meletakkan dasar yuridis dalam Penggunaan Teknologi Informasi dalam pelayanan public, Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa: “Dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan Sistem Informasi yang bersifat nasional”.
Sementara itu, pada Pasal 23 ayat (4) UU a quo dinyatakan bahwa: “Penyelenggara berkewajiban mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas Sistem Informasi Elektronik atau Non Elektronik yang sekurang- kurangnya meliputi; profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelola pengaduan dan penilaian kinerja”.
Upaya digitalisasi pelayanan publik, memberikan afirmasi pada implementasi prinsip-prinsip pelayanan publik, yang antara lain; transparansi, kecepatan partisipasi, aksesibilitas, non diskriminasi, anti KKN, dan sebagainya akan mudah diwujudkan. Selain itu, bagi sektor swasta yang sudah lebih dahulu memulai penggunaan program digitalisasi ini, justru akan banyak mendukung pemanfaatan akses teknologi informasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Apalagi dengan adanya Pandemi Covid-19 ini, pemanfaatan teknologi digital dengan didukung infrastruktur dan sumber daya manusia yang handal akan dapat menjembatani akses pelayanan publik ditengah pandemic, yang semakin membatasi interaski secara verbal atau langsung.
Data Ombudsman RI menunjukkan bahwa akses pengaduan kepada Ombudsman RI melalui digital masih sangat minim, sebagaimana data berikut :
Pemanfaatan teknologi dalam pengaduan kepada Ombudsman RI masih sangat minim, karena itu kedepan Ombudsman RI harus menciptakan sistem/aplikasi pengaduan yang dapat dinstal di smart phone, dan sewaktu-waktu masyarakat dapat dengan sangat mudah mengajukan pengaduan kepada Ombudsman RI. Selain itu juga dilengkapi dengan progrest tindak lanjut dari Ombudsman RI atas pengaduan tersebut. dengan begitu penguatan akses public terhadap tugas dan fungsi Ombudsman RI dapat terwujud.
Penguatan Pengawasan terhadap Birokrasi
Sesungguhnya kehadiran Ombudsman merupakan penunjang DPR dalam memperkuat fungsi pengawasan terhadap eksekutif (birokrasi pemerintahan), karena itu kemitraan Ombudsman dan DPR harus diperkuat dan lebih sinergis. DPR dan dan dan Ombudsman RI harus memiliki prioritas pengawasan yang sinergis dan efektif. Kelemahan Ombudsman RI soal lemahnya tindaklanjut rekomendasi dapat diperkuat dengan peran DPR untuk mendorong eksekutif melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI.
Pengawasan Ombudsman RI selain diwujudkan dengan penerimaan laporan dan investigasi atas prakarsa sendiri juga diwujudkan dengan mendorong refornasi birokrasi secara tuntas. Peran ini dapat dilakukan oleh Ombudsman RI dengan bersinergi dengan lembaga lainnya, baik DPR, Kementerian PAN-RB maupun Kementerian Keuangan, dan lain-lain. Rule module reformasi birokrasi dengan pelayanan prima dan anti-KKN harus diciptkan oleh Ombudsman RI sehingga strategi perubahan struktrural lebih mudah diwujudkan.
Ombudsman RI tidak dapat dilepaskan dari masyarakat, sehingga sinergisitas antara Ombudsman RI dengan kekuatan civil society harus terus dibangun dan dikembangkan, dengan berbagai model pendekatan, dengan cara klarifikasi, konsiliasi dan mediasi sesuai mandate yang ditetapkan dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Ombudsman RI telah mengeluarkan sebanyak 34 rekomendasi kepada Kementerian/Lembaga dan kepala daerah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2008. Namun setelah dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan rekomendasi tersebut, diketahui kepatuhan lembaga penyelenggara negara terhadap rekomendasi Ombudsman masih belum optimal.