Penguatan Ombudsman RI Yang Berwibawa, Efektif dan Adil
loading...
A
A
A
Dr. Mokhammad Najih, S.H., M.Hum
Ketua Ombudsman Republik Indonesia periode 2021-2026
SEBAGAI anak kandung Reformasi kelembagaan Ombudsman RI, telah di rekomendasikan melalui ketetapan MPR No VIII/MPR/Tahun 2001, kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan dilengkapi dengan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ini menunjukkan bahwa kehadiran lembaga ini sangat penting dan memiliki relevansi dengan tujuan pembangunan nasional, sama halnya keberadaan lembaga-lembaga lainnya, seperti; Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemilihan Umum, sebagai upaya perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan negara.
Namun problem yang dihadapi, lembaga-lembaga baru ini, seolah berhadapan dengan budaya birokrasi lama, yang masih bekerja secara parsial dan egosektoral. Hal ini, nampak hiruk-pikuk budaya birokrasi dan pelayanan puplik yang masih timpang, antar lembaga negara, antar pemerintahan pusat dan daerah. Gejala yang memprihatinkan adalah lemahnya, kepatuhan pada aturan bersama antar instiusi yang diberi kewenangan melakukan pelayan publik, kecenderungan gejala yang terjadi adalah institusi itu lebih mendahulukan atau percaya pada aturan internalnya, dibanding memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, apabila kembali kepada Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945, didalamnya termaktub tujuan bernegara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, maka founding fathers/mothers sesuai dengan amanat konstitusi pembentukan Negara disertai dengan membentuk alat kelengkapannya penyelenggaraan negara. Bahwa alat kelengkapan Negara, meliputi kekuasaan bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Penyelenggaraan negara diberikan amanat untukmewujudkan cita negara adil makmur, dengan cara melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan segenap kehidupan bangsa, serta turut serta mewujudkan perdamaian dunia.
Inti dari pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia hakekatnya untuk melayani “rakyat Indonesia”, yaitu menyelenggarakan pelayanan kepada semua warga negara dan penduduk, agar terpenuhi kesejahterannaya (welfare state) baik lahir maupun batin.
Untuk mewujudkan dan melaksanakan tugas dan fungsi Pemerintahan Republik Indonesia tersebut, agar selalu berada pada rambu yang benar maka dibentuklah berbagai peraturan perundang- undangan, sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan badan-badan atau lembaga yang diberi tugas dan kewenangan sebagai pelaksana, pengawas, kontrol, dan pemberi saran/masukan, tujuannya agar Instansi pelayanan publik setia pada cita-cita luhurnya.
Dalam posisi inilah, kehadiran lembaga bernama Ombudsman Republik Indonesia (selanjutnya disebut Ombudsman RI) menjadi sangat krusial dalam sebuah Negara yang mengusung paradigma Negara Kesejahteraan (Welfare State) dan Demokrasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman RI dipahami sebagai sebuah lembaga negara baru yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan penyelenggara negara, termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga swata maupun perorangan yang sebagian maupun seluruhnya dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (BUMN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (BUMD).
Dalam konteks Indonesia sebagai Negara yang besar secara teritori dan beragam (heterogen) secara kultural, maka Ombudsman RI sebagai sebuah lembaga pengawasan terhadap semua institusi penyelenggara pelayanan publik juga memiliki cakupan pengawasan yang luas dan besar, baik dari sisi jumlah daerah yang diawasi, jumlah penduduk, jumlah institusi dan jumlah pelaksana pelayanan publik, selain itu masalah kerumitan persoalan yang dihadapi juga menjadi tantangan tersendiri.
Kondisi obyektif tersebut berkonsekuensi kepada tanggung jawab Ombudsman RI yang cukup berat dengan kompleksitas permasalahan yang tinggi dan beragam. Belum lagi bila ditambahkan dengan situasi global yang perubahannya cukup drastis, sehingga akan memaksa penyelenggara pelayanan publik untuk menyesuaikan standar pelayanan dengan tuntutan masyarakat yang bergerak begitu cepat menuju masyarakat milenial.
Meningkatnya pengaduan masyarakat karena kinerja para pelaksana pelayanan publik yang belum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan pelayanan prima,menjadi indikator bahwa tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan berkembang sangat dinamis bahkan drastis.
Karena itu Ombudsman RI juga harus responsif dengan keadaan tersebut, dengan selalu bersikap terbuka terhadap perubahan baik perubahan internal kelembagaan maupun kinerja lembaga. Dalam konteks itu dapat digambarkan kondisi obyek Ombudsman saat ini, meliputi: kelembagaa ORI, akses publik terhadap fungsi dan layanan ORI, aspek pengawasan terhadap ORI, penguatan sistem tindak lanjut rekomendasi ORI untuk perbaikan pelayanan publik dan maladministrasi.
Kondisi Obyektif Ombudsman
Tantangan yang dihadapi Ombudsman RI secara kelembagaan adalah masalah kuantitas sumber daya manusia (SDM) dibandingkan dengan jumlah pengaduan yang selalu mengalami kenaikan signifikan, penguatan tindak lanjut rekomendasi Ombudsman RI, struktur kelembagaan dan keterbatasan anggaran.
Selama tahun 2019 Ombudsman RI menerima laporan/pengaduan masyarakat atas dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik sebanyak 7.903 laporan. Dari jumlah laporan tersebut, sebesar 5.464 laporan telah di-registrasi dan ditindaklanjuti sedangkan sisanya sedang dalam proses pemeriksaan materiil sebagaimana diatur dalam Undang Undang. Dari jumlah laporan yang masuk, sebesar 7.737 laporan merupakan laporan langsung dari masyarakat dan sebesar 166 laporan adalah Insiatif Strategis berdasarkan tren isu/permasalahan pelayanan Public selama tahun 2019 yang diangkat oleh Ombudsman RI.
Sebagai perbandingan jumlah laporan/pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia tahun-tahun sebelumnya adalah sebagai berikut:
Sementara jumlah laporan/pengaduan tahun 2014 sampai dengan tahun 2019 adalah sebagai berikut:
Untuk lebih memahami data laporan/pengaduan masyarakat yang ter-register pada aplikasi SIMPel dan ditindaklanjuti, disampaikan klasifikasi laporan berdasarkan hasil pemeriksaan (Riksa) dengan jumlah 5.464 laporan.
Jumlah pengaduan yang masuk ke Ombudsman RI tidak berbanding lurus dengan jumlah SDM yang dimiliki oleh Ombudsman RI karena itu harus selalu ada penambahan.
Tantangan
Salah satu tantangan Ombudsman RI adalah penyempurnaan peraturan perundang-undangan terutama 2 (dua) hal, yaitu penguatan pelaksanaan rekomendasi Ombudsman RI dan pembentukan Perpres tentang ajudikasi khusus sebagaimana amanat dari UU Pelayanan Publik.
Berikutnya, penguatan akses publik terhadap tugas dan fungsi Ombudsman RI. Berbicara tentang akses Publik tidak lepas dari pemanfaat teknologi Informasi, karena Indonesia tidak dapat lagi bertumpu dengan pelayanan konvensional yang mempersyarakatkan kehadiran secara fisik.
Hal ini sejalan pula dengan program Presiden Jokowi sejak tahun 2008 yang telah menetapkan revolusi industri 4.0 menjadi agenda nasional dengan tema "Making Indonesia 4.0". Industri 4.0 adalah optimalisasi penggunaan teknologi digital pada semua lini kegiatan publik (Internet of Thing).
Sementara itu ketika covid-19 mewabah dunia termasuk Indonesia maka kita dipaksa untuk beralih dari industri 4.0 ke society 5.0. Pada dasarnya, inti dari industri 4.0 dan society 5.0 tidak jauh berbeda. Jika industri 4.0 memudahkan untuk mengakses juga membagikan informasi di internet, maka society 5.0 menjadikan teknologi menyatu dengan manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi melainkan telah menjadi roda kehidupan publik.
Digitalisasi Pelayanan Publik
Saat ini keberadaan internet menjadi vital sebagai satu pendekatan inovasi akses pelayanan public. Selain untuk bekerja, publik juga menggunakan internet sebagai sarana komunikasi dan interaksi sosial. Terlebih saat ini internet mudah diakses melalui smartphone yang bisa dibawa ke manapun. Konsep lain dari society 5.0 adalah menjadikan akses internet sebagai media untuk memindahkan apa yang ada di dunia maya ke dunia nyata.
Sebetulnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik telah meletakkan dasar yuridis dalam Penggunaan Teknologi Informasi dalam pelayanan public, Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa: “Dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan Sistem Informasi yang bersifat nasional”.
Sementara itu, pada Pasal 23 ayat (4) UU a quo dinyatakan bahwa: “Penyelenggara berkewajiban mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas Sistem Informasi Elektronik atau Non Elektronik yang sekurang- kurangnya meliputi; profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelola pengaduan dan penilaian kinerja”.
Upaya digitalisasi pelayanan publik, memberikan afirmasi pada implementasi prinsip-prinsip pelayanan publik, yang antara lain; transparansi, kecepatan partisipasi, aksesibilitas, non diskriminasi, anti KKN, dan sebagainya akan mudah diwujudkan. Selain itu, bagi sektor swasta yang sudah lebih dahulu memulai penggunaan program digitalisasi ini, justru akan banyak mendukung pemanfaatan akses teknologi informasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Apalagi dengan adanya Pandemi Covid-19 ini, pemanfaatan teknologi digital dengan didukung infrastruktur dan sumber daya manusia yang handal akan dapat menjembatani akses pelayanan publik ditengah pandemic, yang semakin membatasi interaski secara verbal atau langsung.
Data Ombudsman RI menunjukkan bahwa akses pengaduan kepada Ombudsman RI melalui digital masih sangat minim, sebagaimana data berikut :
Pemanfaatan teknologi dalam pengaduan kepada Ombudsman RI masih sangat minim, karena itu kedepan Ombudsman RI harus menciptakan sistem/aplikasi pengaduan yang dapat dinstal di smart phone, dan sewaktu-waktu masyarakat dapat dengan sangat mudah mengajukan pengaduan kepada Ombudsman RI. Selain itu juga dilengkapi dengan progrest tindak lanjut dari Ombudsman RI atas pengaduan tersebut. dengan begitu penguatan akses public terhadap tugas dan fungsi Ombudsman RI dapat terwujud.
Penguatan Pengawasan terhadap Birokrasi
Sesungguhnya kehadiran Ombudsman merupakan penunjang DPR dalam memperkuat fungsi pengawasan terhadap eksekutif (birokrasi pemerintahan), karena itu kemitraan Ombudsman dan DPR harus diperkuat dan lebih sinergis. DPR dan dan dan Ombudsman RI harus memiliki prioritas pengawasan yang sinergis dan efektif. Kelemahan Ombudsman RI soal lemahnya tindaklanjut rekomendasi dapat diperkuat dengan peran DPR untuk mendorong eksekutif melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI.
Pengawasan Ombudsman RI selain diwujudkan dengan penerimaan laporan dan investigasi atas prakarsa sendiri juga diwujudkan dengan mendorong refornasi birokrasi secara tuntas. Peran ini dapat dilakukan oleh Ombudsman RI dengan bersinergi dengan lembaga lainnya, baik DPR, Kementerian PAN-RB maupun Kementerian Keuangan, dan lain-lain. Rule module reformasi birokrasi dengan pelayanan prima dan anti-KKN harus diciptkan oleh Ombudsman RI sehingga strategi perubahan struktrural lebih mudah diwujudkan.
Ombudsman RI tidak dapat dilepaskan dari masyarakat, sehingga sinergisitas antara Ombudsman RI dengan kekuatan civil society harus terus dibangun dan dikembangkan, dengan berbagai model pendekatan, dengan cara klarifikasi, konsiliasi dan mediasi sesuai mandate yang ditetapkan dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Ombudsman RI telah mengeluarkan sebanyak 34 rekomendasi kepada Kementerian/Lembaga dan kepala daerah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2008. Namun setelah dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan rekomendasi tersebut, diketahui kepatuhan lembaga penyelenggara negara terhadap rekomendasi Ombudsman masih belum optimal.
Karena itu perlu strategi penguatan terhadap tindaklanjut “Rekomendasi”, selain terus berupaya bersinergi dengan lembaga negara antara lain seperti lembaga mitra kerja, Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN-RB, Kementerian Keuangan, untuk penguatan kelembagaa, tupoksi, program, dan juga penguatan legislasi dalam jangka panjang.
Ketua Ombudsman Republik Indonesia periode 2021-2026
SEBAGAI anak kandung Reformasi kelembagaan Ombudsman RI, telah di rekomendasikan melalui ketetapan MPR No VIII/MPR/Tahun 2001, kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan dilengkapi dengan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ini menunjukkan bahwa kehadiran lembaga ini sangat penting dan memiliki relevansi dengan tujuan pembangunan nasional, sama halnya keberadaan lembaga-lembaga lainnya, seperti; Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemilihan Umum, sebagai upaya perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan negara.
Namun problem yang dihadapi, lembaga-lembaga baru ini, seolah berhadapan dengan budaya birokrasi lama, yang masih bekerja secara parsial dan egosektoral. Hal ini, nampak hiruk-pikuk budaya birokrasi dan pelayanan puplik yang masih timpang, antar lembaga negara, antar pemerintahan pusat dan daerah. Gejala yang memprihatinkan adalah lemahnya, kepatuhan pada aturan bersama antar instiusi yang diberi kewenangan melakukan pelayan publik, kecenderungan gejala yang terjadi adalah institusi itu lebih mendahulukan atau percaya pada aturan internalnya, dibanding memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, apabila kembali kepada Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945, didalamnya termaktub tujuan bernegara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, maka founding fathers/mothers sesuai dengan amanat konstitusi pembentukan Negara disertai dengan membentuk alat kelengkapannya penyelenggaraan negara. Bahwa alat kelengkapan Negara, meliputi kekuasaan bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Penyelenggaraan negara diberikan amanat untukmewujudkan cita negara adil makmur, dengan cara melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan segenap kehidupan bangsa, serta turut serta mewujudkan perdamaian dunia.
Inti dari pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia hakekatnya untuk melayani “rakyat Indonesia”, yaitu menyelenggarakan pelayanan kepada semua warga negara dan penduduk, agar terpenuhi kesejahterannaya (welfare state) baik lahir maupun batin.
Untuk mewujudkan dan melaksanakan tugas dan fungsi Pemerintahan Republik Indonesia tersebut, agar selalu berada pada rambu yang benar maka dibentuklah berbagai peraturan perundang- undangan, sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan badan-badan atau lembaga yang diberi tugas dan kewenangan sebagai pelaksana, pengawas, kontrol, dan pemberi saran/masukan, tujuannya agar Instansi pelayanan publik setia pada cita-cita luhurnya.
Dalam posisi inilah, kehadiran lembaga bernama Ombudsman Republik Indonesia (selanjutnya disebut Ombudsman RI) menjadi sangat krusial dalam sebuah Negara yang mengusung paradigma Negara Kesejahteraan (Welfare State) dan Demokrasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman RI dipahami sebagai sebuah lembaga negara baru yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan penyelenggara negara, termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga swata maupun perorangan yang sebagian maupun seluruhnya dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (BUMN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (BUMD).
Dalam konteks Indonesia sebagai Negara yang besar secara teritori dan beragam (heterogen) secara kultural, maka Ombudsman RI sebagai sebuah lembaga pengawasan terhadap semua institusi penyelenggara pelayanan publik juga memiliki cakupan pengawasan yang luas dan besar, baik dari sisi jumlah daerah yang diawasi, jumlah penduduk, jumlah institusi dan jumlah pelaksana pelayanan publik, selain itu masalah kerumitan persoalan yang dihadapi juga menjadi tantangan tersendiri.
Kondisi obyektif tersebut berkonsekuensi kepada tanggung jawab Ombudsman RI yang cukup berat dengan kompleksitas permasalahan yang tinggi dan beragam. Belum lagi bila ditambahkan dengan situasi global yang perubahannya cukup drastis, sehingga akan memaksa penyelenggara pelayanan publik untuk menyesuaikan standar pelayanan dengan tuntutan masyarakat yang bergerak begitu cepat menuju masyarakat milenial.
Meningkatnya pengaduan masyarakat karena kinerja para pelaksana pelayanan publik yang belum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan pelayanan prima,menjadi indikator bahwa tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan berkembang sangat dinamis bahkan drastis.
Karena itu Ombudsman RI juga harus responsif dengan keadaan tersebut, dengan selalu bersikap terbuka terhadap perubahan baik perubahan internal kelembagaan maupun kinerja lembaga. Dalam konteks itu dapat digambarkan kondisi obyek Ombudsman saat ini, meliputi: kelembagaa ORI, akses publik terhadap fungsi dan layanan ORI, aspek pengawasan terhadap ORI, penguatan sistem tindak lanjut rekomendasi ORI untuk perbaikan pelayanan publik dan maladministrasi.
Kondisi Obyektif Ombudsman
Tantangan yang dihadapi Ombudsman RI secara kelembagaan adalah masalah kuantitas sumber daya manusia (SDM) dibandingkan dengan jumlah pengaduan yang selalu mengalami kenaikan signifikan, penguatan tindak lanjut rekomendasi Ombudsman RI, struktur kelembagaan dan keterbatasan anggaran.
Selama tahun 2019 Ombudsman RI menerima laporan/pengaduan masyarakat atas dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik sebanyak 7.903 laporan. Dari jumlah laporan tersebut, sebesar 5.464 laporan telah di-registrasi dan ditindaklanjuti sedangkan sisanya sedang dalam proses pemeriksaan materiil sebagaimana diatur dalam Undang Undang. Dari jumlah laporan yang masuk, sebesar 7.737 laporan merupakan laporan langsung dari masyarakat dan sebesar 166 laporan adalah Insiatif Strategis berdasarkan tren isu/permasalahan pelayanan Public selama tahun 2019 yang diangkat oleh Ombudsman RI.
Sebagai perbandingan jumlah laporan/pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia tahun-tahun sebelumnya adalah sebagai berikut:
Sementara jumlah laporan/pengaduan tahun 2014 sampai dengan tahun 2019 adalah sebagai berikut:
Untuk lebih memahami data laporan/pengaduan masyarakat yang ter-register pada aplikasi SIMPel dan ditindaklanjuti, disampaikan klasifikasi laporan berdasarkan hasil pemeriksaan (Riksa) dengan jumlah 5.464 laporan.
Jumlah pengaduan yang masuk ke Ombudsman RI tidak berbanding lurus dengan jumlah SDM yang dimiliki oleh Ombudsman RI karena itu harus selalu ada penambahan.
Tantangan
Salah satu tantangan Ombudsman RI adalah penyempurnaan peraturan perundang-undangan terutama 2 (dua) hal, yaitu penguatan pelaksanaan rekomendasi Ombudsman RI dan pembentukan Perpres tentang ajudikasi khusus sebagaimana amanat dari UU Pelayanan Publik.
Berikutnya, penguatan akses publik terhadap tugas dan fungsi Ombudsman RI. Berbicara tentang akses Publik tidak lepas dari pemanfaat teknologi Informasi, karena Indonesia tidak dapat lagi bertumpu dengan pelayanan konvensional yang mempersyarakatkan kehadiran secara fisik.
Hal ini sejalan pula dengan program Presiden Jokowi sejak tahun 2008 yang telah menetapkan revolusi industri 4.0 menjadi agenda nasional dengan tema "Making Indonesia 4.0". Industri 4.0 adalah optimalisasi penggunaan teknologi digital pada semua lini kegiatan publik (Internet of Thing).
Sementara itu ketika covid-19 mewabah dunia termasuk Indonesia maka kita dipaksa untuk beralih dari industri 4.0 ke society 5.0. Pada dasarnya, inti dari industri 4.0 dan society 5.0 tidak jauh berbeda. Jika industri 4.0 memudahkan untuk mengakses juga membagikan informasi di internet, maka society 5.0 menjadikan teknologi menyatu dengan manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi melainkan telah menjadi roda kehidupan publik.
Digitalisasi Pelayanan Publik
Saat ini keberadaan internet menjadi vital sebagai satu pendekatan inovasi akses pelayanan public. Selain untuk bekerja, publik juga menggunakan internet sebagai sarana komunikasi dan interaksi sosial. Terlebih saat ini internet mudah diakses melalui smartphone yang bisa dibawa ke manapun. Konsep lain dari society 5.0 adalah menjadikan akses internet sebagai media untuk memindahkan apa yang ada di dunia maya ke dunia nyata.
Sebetulnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik telah meletakkan dasar yuridis dalam Penggunaan Teknologi Informasi dalam pelayanan public, Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa: “Dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan Sistem Informasi yang bersifat nasional”.
Sementara itu, pada Pasal 23 ayat (4) UU a quo dinyatakan bahwa: “Penyelenggara berkewajiban mengelola Sistem Informasi yang terdiri atas Sistem Informasi Elektronik atau Non Elektronik yang sekurang- kurangnya meliputi; profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelola pengaduan dan penilaian kinerja”.
Upaya digitalisasi pelayanan publik, memberikan afirmasi pada implementasi prinsip-prinsip pelayanan publik, yang antara lain; transparansi, kecepatan partisipasi, aksesibilitas, non diskriminasi, anti KKN, dan sebagainya akan mudah diwujudkan. Selain itu, bagi sektor swasta yang sudah lebih dahulu memulai penggunaan program digitalisasi ini, justru akan banyak mendukung pemanfaatan akses teknologi informasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Apalagi dengan adanya Pandemi Covid-19 ini, pemanfaatan teknologi digital dengan didukung infrastruktur dan sumber daya manusia yang handal akan dapat menjembatani akses pelayanan publik ditengah pandemic, yang semakin membatasi interaski secara verbal atau langsung.
Data Ombudsman RI menunjukkan bahwa akses pengaduan kepada Ombudsman RI melalui digital masih sangat minim, sebagaimana data berikut :
Pemanfaatan teknologi dalam pengaduan kepada Ombudsman RI masih sangat minim, karena itu kedepan Ombudsman RI harus menciptakan sistem/aplikasi pengaduan yang dapat dinstal di smart phone, dan sewaktu-waktu masyarakat dapat dengan sangat mudah mengajukan pengaduan kepada Ombudsman RI. Selain itu juga dilengkapi dengan progrest tindak lanjut dari Ombudsman RI atas pengaduan tersebut. dengan begitu penguatan akses public terhadap tugas dan fungsi Ombudsman RI dapat terwujud.
Penguatan Pengawasan terhadap Birokrasi
Sesungguhnya kehadiran Ombudsman merupakan penunjang DPR dalam memperkuat fungsi pengawasan terhadap eksekutif (birokrasi pemerintahan), karena itu kemitraan Ombudsman dan DPR harus diperkuat dan lebih sinergis. DPR dan dan dan Ombudsman RI harus memiliki prioritas pengawasan yang sinergis dan efektif. Kelemahan Ombudsman RI soal lemahnya tindaklanjut rekomendasi dapat diperkuat dengan peran DPR untuk mendorong eksekutif melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI.
Pengawasan Ombudsman RI selain diwujudkan dengan penerimaan laporan dan investigasi atas prakarsa sendiri juga diwujudkan dengan mendorong refornasi birokrasi secara tuntas. Peran ini dapat dilakukan oleh Ombudsman RI dengan bersinergi dengan lembaga lainnya, baik DPR, Kementerian PAN-RB maupun Kementerian Keuangan, dan lain-lain. Rule module reformasi birokrasi dengan pelayanan prima dan anti-KKN harus diciptkan oleh Ombudsman RI sehingga strategi perubahan struktrural lebih mudah diwujudkan.
Ombudsman RI tidak dapat dilepaskan dari masyarakat, sehingga sinergisitas antara Ombudsman RI dengan kekuatan civil society harus terus dibangun dan dikembangkan, dengan berbagai model pendekatan, dengan cara klarifikasi, konsiliasi dan mediasi sesuai mandate yang ditetapkan dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Ombudsman RI telah mengeluarkan sebanyak 34 rekomendasi kepada Kementerian/Lembaga dan kepala daerah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2008. Namun setelah dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan rekomendasi tersebut, diketahui kepatuhan lembaga penyelenggara negara terhadap rekomendasi Ombudsman masih belum optimal.
Karena itu perlu strategi penguatan terhadap tindaklanjut “Rekomendasi”, selain terus berupaya bersinergi dengan lembaga negara antara lain seperti lembaga mitra kerja, Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN-RB, Kementerian Keuangan, untuk penguatan kelembagaa, tupoksi, program, dan juga penguatan legislasi dalam jangka panjang.
(kri)