Kepemimpinan Apimorvi: Manifesto HMI Reborn
loading...
A
A
A
Dengan demikian yang mesti dilakukan HMI adalah bagaimana mempersiapkan diri melalui revitalisasi sistem perkaderan yang sesuai dengan semangat zaman. Figur pemimpin memiliki peranan signifikan untuk itu. Tapi kepemimpinan semacam apa yang diperlukan HMI sekarang ini? Menurut hemat saya, HMI memerlukan pemimpin yang mudah beradaptasi cepat dengan perkembangan dan mampu membaca arah perubahan ke depan yang bertumpu pada prinsip organisasi! Itulah kepemimpinan Apimorvi.
Pertama, kepemimpinan di era disrupsi haruslah memiliki jiwa aktivisme, alih-alih teknokratis dan birokratis. Perkembangan sosial politik dan ekonomi yang berlangsung cepat dan dinamis mengharuskan seorang pemimpin untuk selalu aktif dalam menjawab situasi dan kondisi yang ada. Pemimpin yang aktif adalah mereka yang layak dijadikan sebagai teladan oleh setiap insan HMI. Kendati begitu, apakah dengan bermodal aktivisme saja sudah cukup? Tentu saja tidak!
Kedua, selain jiwa aktivisme, pemimpin harus memiliki kapasitas dalam penguasaan data dan informasi. Data-informasi merupakan dua variabel kunci yang mendeterminasi keberhasilan organisasi. Melalui penguasaan data-informasi, pemimpin akan dipermudah dalam mengambil keputusan-keputusan strategis berkenaan dengan masa depan organisasi. Pada titik ini terdapat pula variabel inovasi yang mesti tampak dalam diri pemimpin.
Ketiga, penguasaan data dan informasi menjadi tak berguna manakala tidak diimbangi dengan kemampuan seorang pemimpin dalam berinovasi. Ada banyak kasus dimana grup-grup bisnis jatuh bangun di tiap tikungan lantaran cenderung gagap berinovasi. Mustahil ada keberlanjutan atau kesinambungan jika seorang pemimpin gagal membuat inovasi dalam organisasi yang dipimpin. Tanpa inovasi HMI hanya dihadapkan pada dua pilihan: stagnasi atau dekadensi!
Keempat, pemimpin juga harus melek digital. Melek tidak bisa direduksi sebatas kemampuan memahami komputer semata. Apalagi fenomena digitalisasi dunia kehidupan telah menjadi kenormalan sekarang ini. Pemimpin di tuntut untuk selalu bisa memanfaatkan dan memahami setiap perkembangan teknologi digital. Melek digital merupakan satu langkah membuat HMI menjadi lebih kontekstual dengan perkembangan zaman yang teramat dinamis. Tentu ini harus ditopang oleh karakter open-mindedness.
Kelima, open-mindedness menegaskan bila pemimpin harus inklusif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi digital. Inklusifitas merupakan ciri dari seorang pembelajar. Hasrat untuk terus memahami, menggerakkan “pengikutnya”, mencari tahu segala sesuatu adalah cirinya. Ini senafas dengan prinsip responsivitas yang cenderung menitikberatkan pada dimensi praksis dari seorang pemimpin.
Keenam, menjadi pemimpin harus responsif dengan setiap perubahan dan persoalan yang ada, baik itu yang sifatnya internal organisasi maupun eksternal masyarakat. Pemimpin responsif lebih fleksibel, dinamis, gesit dan lebih menyatu dengan massa yang dipimpinnya. Karakter ini sangat penting, sebab, jiwa responsif akan mudah menggerakkan pemimpin bertindak cepat dan ditopang oleh “bawahannya”. Selain itu pemimpin responsif cenderung berorientasi pada aspek pencegahan. Mengapa demikian? Karena setiap masalah yang ada mendapat penanganan lebih cepat!
(Baca: Jawaban Artidjo ketika Mahfud MD Sampaikan Protes KAHMI soal Anas Urbaningrum)
Ketujuh, seorang pemimpin haruslah visioner. Visioner memiliki makna seseorang harus punya wawasan luas ke depan. Keputusan organisasi yang dibuatnya tidak hanya membawa dampak untuk hari ini saja, melainkan terus hingga masa mendatang. Mereka yang dapat membaca arah perkembangan zaman yang dapat membentangkan asa untuk organisasi dan insan di dalamnya. Dalam konteks tujuan HMI, menjadi seorang pemimpin harus mampu merumuskan roadmap berkenaan dengan orientasi besar organisasi.
Kedelapan, pemimpin ideologis. Pemimpin ideologis adalah mereka yang punya pendirian dan konsistensi terhadap nilai-nilai, cita-cita dan tujuan kolektif. Pemimpin ideologis dituntut untluk mengerahkan sumber daya kekuatan para pengikutnya demi mendobrak kebuntuan. Pemimpin ideologis adalah ia yang anti terhadap kemapanan. Dan, HMI bukanlah organisasi pro status-quo.
Pertama, kepemimpinan di era disrupsi haruslah memiliki jiwa aktivisme, alih-alih teknokratis dan birokratis. Perkembangan sosial politik dan ekonomi yang berlangsung cepat dan dinamis mengharuskan seorang pemimpin untuk selalu aktif dalam menjawab situasi dan kondisi yang ada. Pemimpin yang aktif adalah mereka yang layak dijadikan sebagai teladan oleh setiap insan HMI. Kendati begitu, apakah dengan bermodal aktivisme saja sudah cukup? Tentu saja tidak!
Kedua, selain jiwa aktivisme, pemimpin harus memiliki kapasitas dalam penguasaan data dan informasi. Data-informasi merupakan dua variabel kunci yang mendeterminasi keberhasilan organisasi. Melalui penguasaan data-informasi, pemimpin akan dipermudah dalam mengambil keputusan-keputusan strategis berkenaan dengan masa depan organisasi. Pada titik ini terdapat pula variabel inovasi yang mesti tampak dalam diri pemimpin.
Ketiga, penguasaan data dan informasi menjadi tak berguna manakala tidak diimbangi dengan kemampuan seorang pemimpin dalam berinovasi. Ada banyak kasus dimana grup-grup bisnis jatuh bangun di tiap tikungan lantaran cenderung gagap berinovasi. Mustahil ada keberlanjutan atau kesinambungan jika seorang pemimpin gagal membuat inovasi dalam organisasi yang dipimpin. Tanpa inovasi HMI hanya dihadapkan pada dua pilihan: stagnasi atau dekadensi!
Keempat, pemimpin juga harus melek digital. Melek tidak bisa direduksi sebatas kemampuan memahami komputer semata. Apalagi fenomena digitalisasi dunia kehidupan telah menjadi kenormalan sekarang ini. Pemimpin di tuntut untuk selalu bisa memanfaatkan dan memahami setiap perkembangan teknologi digital. Melek digital merupakan satu langkah membuat HMI menjadi lebih kontekstual dengan perkembangan zaman yang teramat dinamis. Tentu ini harus ditopang oleh karakter open-mindedness.
Kelima, open-mindedness menegaskan bila pemimpin harus inklusif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi digital. Inklusifitas merupakan ciri dari seorang pembelajar. Hasrat untuk terus memahami, menggerakkan “pengikutnya”, mencari tahu segala sesuatu adalah cirinya. Ini senafas dengan prinsip responsivitas yang cenderung menitikberatkan pada dimensi praksis dari seorang pemimpin.
Keenam, menjadi pemimpin harus responsif dengan setiap perubahan dan persoalan yang ada, baik itu yang sifatnya internal organisasi maupun eksternal masyarakat. Pemimpin responsif lebih fleksibel, dinamis, gesit dan lebih menyatu dengan massa yang dipimpinnya. Karakter ini sangat penting, sebab, jiwa responsif akan mudah menggerakkan pemimpin bertindak cepat dan ditopang oleh “bawahannya”. Selain itu pemimpin responsif cenderung berorientasi pada aspek pencegahan. Mengapa demikian? Karena setiap masalah yang ada mendapat penanganan lebih cepat!
(Baca: Jawaban Artidjo ketika Mahfud MD Sampaikan Protes KAHMI soal Anas Urbaningrum)
Ketujuh, seorang pemimpin haruslah visioner. Visioner memiliki makna seseorang harus punya wawasan luas ke depan. Keputusan organisasi yang dibuatnya tidak hanya membawa dampak untuk hari ini saja, melainkan terus hingga masa mendatang. Mereka yang dapat membaca arah perkembangan zaman yang dapat membentangkan asa untuk organisasi dan insan di dalamnya. Dalam konteks tujuan HMI, menjadi seorang pemimpin harus mampu merumuskan roadmap berkenaan dengan orientasi besar organisasi.
Kedelapan, pemimpin ideologis. Pemimpin ideologis adalah mereka yang punya pendirian dan konsistensi terhadap nilai-nilai, cita-cita dan tujuan kolektif. Pemimpin ideologis dituntut untluk mengerahkan sumber daya kekuatan para pengikutnya demi mendobrak kebuntuan. Pemimpin ideologis adalah ia yang anti terhadap kemapanan. Dan, HMI bukanlah organisasi pro status-quo.