Vaksin Massal dan Sebar Pengetahuan lewat Digital Literacy Talks
loading...
A
A
A
Diskusi ini mengungkapkan bahwa penolakan sebagian masyarakat untuk divaksin disebabkan sedikitnya tiga alasan, yaitu keamanan, efektifitas vaksin, disusul alasan kultural seperti keyakinan tertentu. Untuk itu dibutuhkan strategi komunikasi yang sistematis dan efektif seperti pilihan produksi materi komunikasi, sebaiknya dapat diterima dan dipahami oleh penerima sasaran program komunikasi.
Bila diperlukan, informasi dapat diberikan dalam bahasa daerah. Saluran komunikasi yang digunakan juga harus disesuaikan dengan medium yang menjadi media utama yang digunakan oleh masyarakat. Tidak promosi Kesehatan misalnya menggunakan sosial media secara masif. Sebagian justru akan efektif ketika menggunakan suara dari para tokoh yang dipercaya oleh publik, salah satunya para dokter.
Itulah mengapa, dokter dan tenaga Kesehatan menjadi salah satu target dari sosialisasi kebijakan vaksin. Karena penelitian menunjukkan bahwa keyakinan dan keinginan untuk vaksin di kalangan nakes, tidak 100%.
Berita hoaks memang menjadi tantangan besar, mengingat studi menunjukkan dalam waktu 5 menit, berita hoaks dapat menyebar hingga 10 lapisan lingkaran pertemanan. Sedangkan, verifikasi sebuah berita, yang misalnya dilakukan dalam dua jam proses komunikasi, belum tentu menyentuh hingga 10 lapisan. Berita hoaks untuk isu vaksin saja jumlah sekitar 1.300 informasi hoaks, dimana setiap hari diperkirakan muncul 5 hoaks.
Oleh karenanya, strategi tangkal hoaks ini yang pertama ialah dengan melakukan proses inokulasi (vaksinasi) publik dari infodemik (sebutan untuk hoaks). Yang kedua ialah dengan terus menurunkan kredibilitas berita-berita hoaks tersebut.
Diskusi juga mengungkapkan, antara pengetahuan dan perilaku publik tidak selalu berbanding lurus. Publik yang tahu, belum tentu dapat dipastikan bahwa perilakunya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh mereka.
Terdapat tiga upaya dalam upaya memastikan sebuah kebijakan publik dapat diserap oleh publik yaitu enforcement, engineering, dan education. Pendekatan pertama (enforcement) memang menyandarkan pada kekuatan aturan. Dampaknya, publik berpeluang mengikuti kebijakan ketika aturan tersebut berlaku atau adanya penegak aturan di sekitar publik.
Sedangkan pendekatan rekayasa (engineering) dilakukan dengan menyiapkan situasi dan kondisi secara sistematis sesuai dengan keinginan pengambil kebijakan. Contohnya ialah bagaimana hadirnya tempat – tempat cuci tangan; tanda silang di kursi-kursi yang tidak diperkenankan untuk ditempati sebagai implementasi imbauan menjaga jarak.
Pendekatan terakhir dengan pendidikan (education), memang pendekatan yang membutuhkan waktu paling lama dalam proses pelaksanaannya. Namun, sekali berhasil, maka dampak nya terhadap perilaku publik akan lebih Panjang. Hal ini menyangkut telah terpatrinya kebijakan di dalam benak dan mental publik.
Diskusi ini mengingatkan publik bahwa vaksin telah banyak menuai keberhasilan selama puluhan tahun terhadap penyakit yang menyerang manusia, sebut saja polio, yang sudah membebaskan penduduk dunia dari pandemi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk meragukan keampuhan virus dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Bila diperlukan, informasi dapat diberikan dalam bahasa daerah. Saluran komunikasi yang digunakan juga harus disesuaikan dengan medium yang menjadi media utama yang digunakan oleh masyarakat. Tidak promosi Kesehatan misalnya menggunakan sosial media secara masif. Sebagian justru akan efektif ketika menggunakan suara dari para tokoh yang dipercaya oleh publik, salah satunya para dokter.
Itulah mengapa, dokter dan tenaga Kesehatan menjadi salah satu target dari sosialisasi kebijakan vaksin. Karena penelitian menunjukkan bahwa keyakinan dan keinginan untuk vaksin di kalangan nakes, tidak 100%.
Berita hoaks memang menjadi tantangan besar, mengingat studi menunjukkan dalam waktu 5 menit, berita hoaks dapat menyebar hingga 10 lapisan lingkaran pertemanan. Sedangkan, verifikasi sebuah berita, yang misalnya dilakukan dalam dua jam proses komunikasi, belum tentu menyentuh hingga 10 lapisan. Berita hoaks untuk isu vaksin saja jumlah sekitar 1.300 informasi hoaks, dimana setiap hari diperkirakan muncul 5 hoaks.
Oleh karenanya, strategi tangkal hoaks ini yang pertama ialah dengan melakukan proses inokulasi (vaksinasi) publik dari infodemik (sebutan untuk hoaks). Yang kedua ialah dengan terus menurunkan kredibilitas berita-berita hoaks tersebut.
Diskusi juga mengungkapkan, antara pengetahuan dan perilaku publik tidak selalu berbanding lurus. Publik yang tahu, belum tentu dapat dipastikan bahwa perilakunya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh mereka.
Terdapat tiga upaya dalam upaya memastikan sebuah kebijakan publik dapat diserap oleh publik yaitu enforcement, engineering, dan education. Pendekatan pertama (enforcement) memang menyandarkan pada kekuatan aturan. Dampaknya, publik berpeluang mengikuti kebijakan ketika aturan tersebut berlaku atau adanya penegak aturan di sekitar publik.
Sedangkan pendekatan rekayasa (engineering) dilakukan dengan menyiapkan situasi dan kondisi secara sistematis sesuai dengan keinginan pengambil kebijakan. Contohnya ialah bagaimana hadirnya tempat – tempat cuci tangan; tanda silang di kursi-kursi yang tidak diperkenankan untuk ditempati sebagai implementasi imbauan menjaga jarak.
Pendekatan terakhir dengan pendidikan (education), memang pendekatan yang membutuhkan waktu paling lama dalam proses pelaksanaannya. Namun, sekali berhasil, maka dampak nya terhadap perilaku publik akan lebih Panjang. Hal ini menyangkut telah terpatrinya kebijakan di dalam benak dan mental publik.
Diskusi ini mengingatkan publik bahwa vaksin telah banyak menuai keberhasilan selama puluhan tahun terhadap penyakit yang menyerang manusia, sebut saja polio, yang sudah membebaskan penduduk dunia dari pandemi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk meragukan keampuhan virus dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
(dam)