Strategi Pembudayaan Pancasila
loading...
A
A
A
Budaya Pancasila
Hasil pembudayaan Islamisme nyata. Survei Alvara Research Center pada 2017 menemukan 16,8% mahasiswa kita pro-Khilafah dan anti-Pancasila. Riset Setara Institute pada 2019 juga menemukan dominasi wacana Islamisme di sepuluh perguruan tinggi negeri (PTN). Meskipun jumlahnya masih jauh dibandingkan mahasiswa pro-Pancasila, namun militansi pro-Islamisme tentu lebih kuat.
Dari sini program nasional pembudayaan ideologi Pancasila perlu berbenah diri. Memang berbagai upaya konvensional pembudayaan Pancasila, seperti sosialisasi wawasan kebangsaan, penviralan Pancasila di media sosial, inovasi artistik, hingga pendidikan formal Pancasila, tetap harus dilanjutkan. Akan tetapi tanpa pembudayaan ideologi, sebagaimana pembudayaan Islamisme tersebut; maka berbagai upaya pembudayaan yang ada, akan tetap kurang maksimal.
Hal ini disebabkan oleh sifat dasar Pancasila itu sendiri yang merupakan ideologi. Sebagaimana pemikiran Soekarno di atas, ideologi ialah penggunakan filsafat sebagai paradigma untuk memaknai hidup. Orang disebut berideologi, ketika ia mampu menggunakan prinsip-prinsip filosofis untuk memaknai hidup, dan oleh karenanya, ingin mengubah kehidupan itu. Sebagaimana kaum Islamis memaknai dunia melalui Islamisme, sehingga ingin mengubah dunia menjadi sistem Islami.
Kebutuhan reorientasi pembudayaan ideologi Pancasila juga berangkat dari strategi ideal pembudayaan itu sendiri. Sebagaimana penulis rumuskan dalam buku Falsafah Kebudayaan Pancasila, Nilai dan Kontradiksi Sosialnya (2016). Bahwa pembudayaan memiliki tiga dimensi budaya, yakni budaya tinggi adiluhung (high culture), budaya rendah rakyat (low culture) dan budaya massa (pop culture).
Budaya adiluhung ialah hakikat kebudayaan yang bersifat filosofis. Ia menjadi inti dari semua budaya yang dipraktikkan secara antropologis, maupun artistik. Pancasila berada di ranah budaya adiluhung ini. Sementara budaya rakyat ialah karya budaya di masyarakat, yang tidak selalu memiliki dimensi filosofis, namun mengakar dalam keseharian. Sedangkan budaya pop merupakan produk industri kapitalisme, yang minim makna. Pembudayaan yang sejati ialah pembudayaan high culture ke dalam, baik low culture maupun mass culture. Di sini, high culture berperan mengembalikan dua budaya lainnya ke dalam kebudayaan yang ideal sesuai dengan nilai-nilai luhur.
Pembudayaan Pancasila juga mestinya seperti itu. Ia tidak boleh terjebak dalam low culture, apalagi mass culture. Ia harus meninggikan kembali budaya masyarakat bangsa, agar sesuai dengan keluhuran Pancasila. Untuk kebutuhan inilah, pembudayaan ideologi sebagaimana dilakukan gerakan Islamis patut dicontoh, sebab Pancasila juga merupakan ideologi yang bersifat religius (ketuhanan). Pembudayaan ideologi Pancasila secara tepat, akan mampu menetralisir efek negatif dari ideologisasi gerakan ekstremis tersebut.
Hasil pembudayaan Islamisme nyata. Survei Alvara Research Center pada 2017 menemukan 16,8% mahasiswa kita pro-Khilafah dan anti-Pancasila. Riset Setara Institute pada 2019 juga menemukan dominasi wacana Islamisme di sepuluh perguruan tinggi negeri (PTN). Meskipun jumlahnya masih jauh dibandingkan mahasiswa pro-Pancasila, namun militansi pro-Islamisme tentu lebih kuat.
Dari sini program nasional pembudayaan ideologi Pancasila perlu berbenah diri. Memang berbagai upaya konvensional pembudayaan Pancasila, seperti sosialisasi wawasan kebangsaan, penviralan Pancasila di media sosial, inovasi artistik, hingga pendidikan formal Pancasila, tetap harus dilanjutkan. Akan tetapi tanpa pembudayaan ideologi, sebagaimana pembudayaan Islamisme tersebut; maka berbagai upaya pembudayaan yang ada, akan tetap kurang maksimal.
Hal ini disebabkan oleh sifat dasar Pancasila itu sendiri yang merupakan ideologi. Sebagaimana pemikiran Soekarno di atas, ideologi ialah penggunakan filsafat sebagai paradigma untuk memaknai hidup. Orang disebut berideologi, ketika ia mampu menggunakan prinsip-prinsip filosofis untuk memaknai hidup, dan oleh karenanya, ingin mengubah kehidupan itu. Sebagaimana kaum Islamis memaknai dunia melalui Islamisme, sehingga ingin mengubah dunia menjadi sistem Islami.
Kebutuhan reorientasi pembudayaan ideologi Pancasila juga berangkat dari strategi ideal pembudayaan itu sendiri. Sebagaimana penulis rumuskan dalam buku Falsafah Kebudayaan Pancasila, Nilai dan Kontradiksi Sosialnya (2016). Bahwa pembudayaan memiliki tiga dimensi budaya, yakni budaya tinggi adiluhung (high culture), budaya rendah rakyat (low culture) dan budaya massa (pop culture).
Budaya adiluhung ialah hakikat kebudayaan yang bersifat filosofis. Ia menjadi inti dari semua budaya yang dipraktikkan secara antropologis, maupun artistik. Pancasila berada di ranah budaya adiluhung ini. Sementara budaya rakyat ialah karya budaya di masyarakat, yang tidak selalu memiliki dimensi filosofis, namun mengakar dalam keseharian. Sedangkan budaya pop merupakan produk industri kapitalisme, yang minim makna. Pembudayaan yang sejati ialah pembudayaan high culture ke dalam, baik low culture maupun mass culture. Di sini, high culture berperan mengembalikan dua budaya lainnya ke dalam kebudayaan yang ideal sesuai dengan nilai-nilai luhur.
Pembudayaan Pancasila juga mestinya seperti itu. Ia tidak boleh terjebak dalam low culture, apalagi mass culture. Ia harus meninggikan kembali budaya masyarakat bangsa, agar sesuai dengan keluhuran Pancasila. Untuk kebutuhan inilah, pembudayaan ideologi sebagaimana dilakukan gerakan Islamis patut dicontoh, sebab Pancasila juga merupakan ideologi yang bersifat religius (ketuhanan). Pembudayaan ideologi Pancasila secara tepat, akan mampu menetralisir efek negatif dari ideologisasi gerakan ekstremis tersebut.
(bmm)