Strategi Pembudayaan Pancasila

Kamis, 25 Februari 2021 - 15:27 WIB
loading...
Strategi Pembudayaan Pancasila
Syaiful Arif (Foto: Istimewa)
A A A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Penulis Buku Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016)

SALAH satu agenda dari program nasional pembinaan ideologi Pancasila yang dicanangkan Presiden Joko Widodo ialah pembudayaan ideologi Pancasila. Bagaimanakah agenda ini harus dilakukan agar membuahkan hasil maksimal? Apa strategi pembudayaan Pancasila yang tepat di tengah gempuran ideologi trans-nasional?

Jika berangkat dari Peraturan Presiden No 7/2018, maka nomenklatur yang digunakan ialah pembinaan ideologi Pancasila. Artinya, yang dibina mengacu pada Pancasila sebagai ideologi. Hal ini berpijak pada status Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

Dalam kaitan ini, ideologi merupakan praksis dari dasar negara. Meminjam bahasa Soekarno pada pidato 1 Juni 1945, Pancasila merupakan dasar filsafat negara (philosophische grondslag) yang digunakan sebagai pandangan dunia (Weltanschauung). Pandangan dunia ini sepadan makna dengan ideologi. Hal ini ditegaskan Soekarno pada pidato di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1960, bahwa Pancasila ialah ideologi yang diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya, bagaimanakah pembudayaan ideologi Pancasila harus dilakukan?

Islamisme
Program pembudayaan ideologi Pancasila perlu belajar dari ideologisasi yang dikembangkan oleh lawan Pancasila, yakni Islamisme. Yang dimaksud Islamisme di sini, bukan Islam sebagai agama (din), melainkan Islam sebagai ideologi (mabda’). Sebagai ideologi, Islamisme bisa mereduksi keluasan nilai-nilai agama Islam.

Dalam gerakan Islamisme, baik yang tergabung dalam Hizbut Tahrir maupun Ikhwanul Muslimin, terdapat tiga tahapan gerakan. Pertama, tahapan pembudayaan (marhalah tasqif). Kedua, tahapan sosialisasi (marhalah tafa’ul ma’al ummah). Ketiga, tahapan penegakan hukum (marhalahah istilamul hukmi). Tiga tahapan ini mereka klaim mengikuti gerakan dakwah Nabi Muhammad SAW, sejak di Mekkah hingga Madinah.

Yang menarik ialah tahapan pertama, yakni pembudayaan. Mereka sengaja menggunakan istilah pembudayaan, karena yang dilakukan ialah pembudayaan ideologi. Pembudayaan ini dilakukan melalui pengenalan ide, internalisasi ide, dan akhirnya ideologisasi. Ketiga proses ini disebut sebagai pembudayaan. Metodenya sangat sederhana, yakni melalui kajian rutin terhadap pemikiran para ideolog Islamisme dalam lingkaran kajian kecil (halaqah) yang intesif.

Misalnya, kajian rutin terhadap kitab pendiri Hizut Tahrir, yakni Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Syahshiyyah al-Islamiyyah (Kepribadian Islam) (2003). Dalam kitab ini, al-Nabhani menegaskan bahwa umat Islam harus memiliki kepribadian Islami, baik dalam hal ibadah, maupun sosial-politik. Oleh karenanya, seorang Muslim yang beriman namun menerima sistem politik selain Islam, disebut mengalami kepribadian terbelah, sehingga keluar dari Islam (murtad).

Mengkaji buku ini secara intesif, akan membuahkan pembudayaan ideologi Khilafah, karena ia ditanamkan, baik secara rasional, psikologis dan doktrinal. Sebab Muslim mana yang tidak takut murtad; sebuah dosa yang tidak diampuni oleh Allah SWT. Dalam kaitan ini, ideologi Khilafah, juga Daulah Islamiyyah (Negara Islam Nasional) mampu “menyuntikkan idenya”, karena bagi mereka ideologi ialah pemikiran dan akidah (al-fikrah wal ‘aqidah). Ideologi bukan hanya sistem pemikiran rasional, tetapi keimanan pada Tuhan.

Dari sini pembudayaan ideologi Islamisme dilakukan bukan melalui indoktrinasi, bukan pula pagelaran budaya pop, melainkan melalui intelektualisasi. Artinya, ideologi yang memang merupakan intelektualitas, dikenalkan melalui proses intelektual yang intensif. Hasilnya bukan ketaatan atau sebatas hiburan kesenian, melainkan kesadaran rasional yang dihayati secara religius. Proses penyadaran secara intelektual dan religius ini melahirkan praktik ideologis dalam kehidupan, sehingga konsep dan nilai, lalu menjadi budaya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1475 seconds (0.1#10.140)