Revisi UU ITE Tak Perlu Perppu, Pengamat: Ketidakadilan Itu Bersumber dari Aparat Penegak Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat hukum Universitas Al Azhar Suparji Ahmad menilai apa yang disampaikan Politikus Partai Gerindra Fadli Zon terkait revisi Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus ada Perppu, merupakan salah besar. Menurut dia, dikeluarkannya Perppu itu harus dilandasi kondisi darurat.
"Belum ada alasan darurat dan mendesak untuk lahirnya sebuah perppu. Jadi perlu ditangguhkan gagasan mengelurkan perppu itu," kata Suparji saat dihubungi, Rabu (24/2/2021) malam.
(Baca: Undang-Undang ITE Mau Direvisi, Fahri Hamzah Malah Minta Dicabut)
Menurut Suparji, saat ini UU ITE yang dianggap sebagai biang kerok kegaduhan karena terjadinya ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dalam penanganan kasus.
"Orang menggangap tidak adil karena ada perlakuan yang dianggap lagi-lagi diskriminatif. Yang ini dikencengin, yang ini ditahan," jelasnya.
Kendati demikian, dia menilai bahwa ketidakadilan itu bersumber lebih kepada aparat penegak hukum itu sendiri yang menangani berbagai kasus.
"Kalau itukan bukan persoalan normanya, tapi persoalan aparatnya. Oleh karena itu, yang didorong adalah aparat penegak hukum agar berlaku secara objektif, tidak diskriminatif. Semua harus berdasarkan alat bukti dan tidak menimbulkan kecurigaan," ungkapnya.
Dengan digulirkannya revisu UU ITE maka para pemangku kebijakan harus lebih berhati-hati lagi dalam mengambil keputusan. Sebab, kata dia, jika dikerjakan secara terburu-buru dikhawatirkan revisi tersebut tidak akan berjalan baik ke depannya.
" UU ITE ini kan juga konteksnya adalah transaksi elektronik. Jadi jangan kemudian digabungkan dengan informasi elektronik. Oleh karena itu, penyusunan revisi ini tidak perlu buru. Tetapi harus mendasar," pungkasnya.
"Belum ada alasan darurat dan mendesak untuk lahirnya sebuah perppu. Jadi perlu ditangguhkan gagasan mengelurkan perppu itu," kata Suparji saat dihubungi, Rabu (24/2/2021) malam.
(Baca: Undang-Undang ITE Mau Direvisi, Fahri Hamzah Malah Minta Dicabut)
Menurut Suparji, saat ini UU ITE yang dianggap sebagai biang kerok kegaduhan karena terjadinya ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dalam penanganan kasus.
"Orang menggangap tidak adil karena ada perlakuan yang dianggap lagi-lagi diskriminatif. Yang ini dikencengin, yang ini ditahan," jelasnya.
Kendati demikian, dia menilai bahwa ketidakadilan itu bersumber lebih kepada aparat penegak hukum itu sendiri yang menangani berbagai kasus.
"Kalau itukan bukan persoalan normanya, tapi persoalan aparatnya. Oleh karena itu, yang didorong adalah aparat penegak hukum agar berlaku secara objektif, tidak diskriminatif. Semua harus berdasarkan alat bukti dan tidak menimbulkan kecurigaan," ungkapnya.
Dengan digulirkannya revisu UU ITE maka para pemangku kebijakan harus lebih berhati-hati lagi dalam mengambil keputusan. Sebab, kata dia, jika dikerjakan secara terburu-buru dikhawatirkan revisi tersebut tidak akan berjalan baik ke depannya.
" UU ITE ini kan juga konteksnya adalah transaksi elektronik. Jadi jangan kemudian digabungkan dengan informasi elektronik. Oleh karena itu, penyusunan revisi ini tidak perlu buru. Tetapi harus mendasar," pungkasnya.
(thm)